MENCARI sumber informasi alternatif di Lahad Datu bukan perkara mudah. Masyarakat Malaysia tidak sebebas rakyat Indonesia dalam mengomentari sebuah perkara. Apalagi, ini soal genting, isu nasional, yang menjadi headline setiap hari di media Malaysia, baik koran maupun televisi.
Jawa Pos baru bisa mendapat akses untuk menemui seorang tokoh penting di Lahad Datu pada 10 Maret lalu setelah tujuh hari berada di kota yang namanya diambil dari bahasa Suluk itu. Lahad berarti negeri atau tempat. Datu berarti keturunan bangsawan atau raja.
"Kota ini memang persinggahan para datuk sejak zaman masih dikuasai British North Company," kata tokoh yang namanya hanya mau ditulis sebagai "Pakcik" itu.
Untuk menuju tempat pertemuan dengan Pakcik, Jawa Pos harus diputar-putar dengan berganti mobil. Perlu 48 jam sebelumnya untuk benar-benar meyakinkan Pakcik bahwa koran ini benar-benar ingin mewawancarai dan bukan bagian dari intelijen Malaysia.
"Kamu boleh rekam pembicaraan kita ini, tapi baru boleh tulis setelah kamu di Indonesia. Jika kamu masih di sini, kami tak bisa menjamin keselamatan kamu," katanya.
Pakcik menolak identitasnya dijabarkan secara lengkap. "Tulis saja, saya orang asli Malaysia yang lahir dan besar di Lahad Datu ini," tambahnya.
Tentu, Pakcik bukan sembarang orang yang bisa ditemui di kedai kopi. Saking rawannya, kelompoknya melindungi aktivitas Pakcik sehingga tak jauh-jauh dari rumah. "Saya di sini saja. Saya tak bisa temui kamu di kedai kopi, within 24 hours you pasti ditangkap polis," tegasnya.
Lalu, dengan direkam, Pakcik mulai menceritakan kondisi Lahad Datu sebelum ada insiden masuknya gerilyawan Sulu. "Di daerah Kampung Tanduo, Tanjung Batu, sudah marak sejak 1980-an aktivitas ilegal," ungkapnya.
Dia menjelaskan, Tanduo adalah pintu masuk segala hal ilegal ke Sabah. "Mulai orang tanpa permit (dokumen), minyak petrol (bensin), rokok, bahkan senjata," ujarnya.
Tangannya lalu membentuk simbol angka empat. "You sekarang pikir ya, di lautan itu ada polis marine (polisi air), ada custom (bea cukai), ada PGA (pasukan gerak am, semacam Brimob di Indonesia, Red), ada tentara laut, ke mana mereka kalau tidak karena ini?" katanya sambil menunjukkan lembaran uang ringgit.
Pakcik menyebut nama seorang imam yang sangat disegani di Kampung Tanduo. Imam itu kini tewas oleh Polis Diraja Malaysia. "Padahal dari imam itu barang apa saja bisa didapatkan. Tak kurang penghasilan dia RM 400 ribu sebulan," ungkapnya.
Pakcik menjelaskan, komunitas Sulu dan aparat keamanan di Lahad Datu sebenarnya sudah saling memahami. "Ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Pasti ada sebab lain kenapa ada pengganas itu," ujarnya.
Dia juga tidak yakin penyerangan di Kampung Simunul, Semporna, adalah bagian dari pasukan di Kampung Tanduo. "Itu bisa karena dendam kesumat. Ada masalah antara mereka dan polis," katanya.
Komunitas Sulu di Lahad Datu, sambung dia, selama ini punya identitas pengenal dari kerajaan masing-masing. "Saya pun tidak yakin yang menyerbu itu sultan yang asli. Pasal (sebab), ada tiga orang yang mengaku sultan Sulu," ungkapnya.
Pakcik juga heran atas operasi Daulat yang melibatkan bom jet tempur dan ribuan prajurit, tapi tidak bisa menaklukkan hanya 200 gerilyawan. "Ibarat hutan itu sudah jadi padang jarak padang tekukur (musnah, Red), mereka tak kalah juga," tegasnya.
Dia menyebutkan, itu terjadi karena ilmu kebal dan ilmu menghilang yang memang dikuasai etnis Sulu. "Ini teman kami yang pernah berhadapan langsung," katanya menunjuk seorang pria berbadan tegap yang juga ikut dalam wawancara itu. Pria tersebut hanya mengangguk.
Ilmu itulah yang juga membuat pria Sulu sangat pemberani. "Pedang pun kebal. Peluru tak bisa tembus. Pada 1985, pernah itu lanun (perampok) menyerang. Jumlahnya ratusan, yang mati kena tembak 25 saja," ujarnya.
Dalam berbagai kesempatan sidang media (jumpa pers), Kepala Polisi Sabah Datuk Hamza Thaib sudah membantah mitos tersebut. Dia bahkan menunjukkan foto-foto seragam gerilyawan yang ditemukan. Hamza juga membantah mereka telah memakai ilmu hitam untuk melawan. "Tidak benar informasi bahwa penceroboh bisa menghilang," tegasnya.
Namun, di lapangan, para tentara pun percaya mitos tersebut. Karena itu, sebagian besar tentara juga "membekali" diri dengan berbagai cara. Misalnya, salat Duha dan salat Hajat sebelum berangkat ke medan operasi.
Jawa Pos pernah melihat satu unit (sekitar 6 orang) tentara yang salat bersama-sama di ruang operasi Felda Sahabat sekitar pukul 10.00. "Kami ini melawan pengganas yang kejam. Jadi, doa itu wajib," ujar salah seorang di antara mereka seusai salat.
Di berbagai masjid dan surau, tentara-tentara itu didoakan jamaah. Dewan Fatwa Nasional Malaysia sudah memfatwakan delapan polisi dan dua tentara Malaysia yang gugur sebagai mati syahid. (rdl/c5/nw)
syerem....
Follow @wisbenbae