KECURIGAAN bahwa Lion Air merupakan perusahaan penerbangan milik Singapura, nampaknya agak sulit dibantah ataupun terbantahkan. Tetapi jangan pula berharap akan ada pihak ketiga dari negara tetangga terdekat kita melakukan klarifikasi tentang posisi kepemilikan Lion Air.
Sebab siapapun yanng muncul untuk memberi klarifikasi, isu kepemilikan itu sudah tidak terlalu relevan lagi.
Bahkan aspek bisnis dari eksistensi Lion Air, menjadi urutan yang kesekian.
Isu Lion Air sudah bergeser ke masalah spionase. Yaitu penetrasi Singapura ke kantong pertahanan militer Indonesia melalui bisnis penerbangan.
Jadi manajemen puncak Lion Air harus memeras otak. Mencari alasan yang kuat untuk membantah digunakannya Lion Air bagi kepentingan penetrasi dan spionase.
Jadi isu soal Rusdi Kirana sebagai CEO sekaligus pemilik, tak lagi terlalu penting.
Kalau isu disatukan dengan tema spionase dan penetrasi, maka yang perlu dipersoalkan, mengapa Rusdi Kirana yang belum setahun menjadi salah seorang pimpinan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), bisa terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Kalau mau diperdalam, mengapa Rusdi Kirana yang selama ini dikenal tak pernah bersentuhan dengan dunia politik, tiba-tiba menjelang Pemilu 2014 terjun ke politik?
Lion Air sebagai entity bisnis yang digunakan untuk melakukan penetrasi ke salah satu daerah vital pertahanan militer Indonesia, bukan saja hal baru. Tetapi hal yang tidak sehat dan bahkan ancaman bagi keselamatan negara.
Persoalannya harus dilihat dengan kaca mata demikian, sebab sejak awal yang dimunculkan bukan perusahaan induk Lion Air. Melainkan pihak lain.
Perusahaan "A" yang tampil, tapi dalam kegiatan sehari-hari perusahaan "B" yang menjadi pengguna. Lion Air disembunyikan.
Tentang keberhasilan Lion Air ini melakukan penetrasi ke sistem pertahanan udara kita, sebisa mungkin hal ini jangan dilihat sebagai kesalahan penuh TNI AU.
Sebab jika ini terjadi, kita sesama orang Indonesia yang berkelahi. Lion Air aman.
Padahal yang harus diajak berkelahi justru orang Singapura. Bila perlu 250 juta orang Indonesia bersatu menyerbu Singapura.
Sesama warga Indonesia jangan berkelahi.
Keberhasilan Singapura dalam penetrasi ini sendiri tidak lepas dari agenda besar Singapura bagaimana menaklukan Indonesia dalam berbagai segi.
Tujuan akhirnya, Indonesia sebagai negara besar, tidak boleh menjadi pengendali di kawasan ASEAN.
Kalau penetrasi ini bagian dari strategi besar yang digunakan Singapura ini, maka hal ini mengingatkan cara-cara Israel melakukan penetrasi di semua negara Arab.
Israel hanya berpenduduk 5 juta jiwa. Tapi 50 juta jiwa penduduk dari beberapa negara Arab yang digabung sekaligus, tetap tak akan bisa menaklukan Israel.
Demikian halnya Singapura yang hanya berpenduduk 5 juta jiwa. Tetapi ia mampu mengungguli Indonesia, negara yang berpenduduk 250 juta jiwa. Caranya bagaimana? Yah tentu dengan menggunakan otak dan kepintaran.
"Work smartly not hardly", begitu kira-kira prinsip negara pulau itu.
Konsep di atas ini bisa dilihat dari cara Singapura mengungguli Indonesia di berbagai bisnis dan sistem.
Singapura tidak punya minyak mentah walau hanya satu barel di dalam perut bumi negaranya. Tapi sejak tahun 1970-an, Indonesia mengilang sejumlah minyak mentahnya di pengilangan minyak Singapura yang berkedudukan di Pulau Bukom, dekat Pulau Sentosa.
Akibatnya dalam kebutuhan BBM, untuk beberapa hal, Indonesia bergantung pada kilang minyak di Pulau Bukom itu.
Masih dalam soal kebutuhan BBM. Entah siapa yang menggagas ide agar Pertamina perlu membentuk anak perusahaan Petral dengan kedudukannya di Singapura.
Padahal perusahaan BUMN ini mengontrol bisnis berskala ratusan triliun per tahun. Dengan beroperasi di Singapura, Petral atau Indonesia harus membayar pajak tahunan ke negara tetangga itu.
Padahal kalau mau bersikap konsisten, Petral bisa saja beroperasi atau dioperasikan di Pulau Batam. Apalagi Batam dibangun sebagai pulau tandingan menghadapi Singapura.
Di bidang telekomunikasi, Singapura berhasil membeli saham PT Telkomsel sebesar 35%. Dengan saham itu, kalau total pelanggan Telkomsel sebanyak 100 juta, maka dari jumlah itu sebanyak 35 juta secara manajemen, merupakan hak Singapura. Apa tidak hebat?
Sementara penduduk Singapura hanya sepertujuh dari angka itu.
Tapi yang lebih berbahaya sebetulnya, secara intelejen otoritas Singapura bisa menyadap semua pembicaraan yang menggunakan jalur Telkomsel.
Saat ini jika semua ring di Istana menggunakan Telkomsel , secara teori, semua pembicaraan itu bisa disadap dengan mudah oleh Singapura. Sebab tehnisi Singapura punya alasan mengutak-atik Telkomsel.
Ketika tahun 1998 terjadi kerusuhan rasial di Jakarta, banyak orang Indonesia keturunan Tionghoa melarikan diri ke negara tetangga itu.
Yang muncul dari kejadian ini, sebuah atmosfir kehidupan yang mengesankan semua penduduk asli di negeri ini mewarisi rasa dendam yang tinggi terhadap orang Tionghoa.
Jadi pasca kerusuhan, tidak heran jika banyak orang keturunan Tionghoa di Indonesia, merasa terancam keselamatan dan kehidupan mereka, lalu mencari rumah kedua di Singapura.
Memahami persoalan psikologis seperti itu, mereka yang melarikan diri dan ke Singapura, bukan saja dibantu. Tapi langsung ditawari oleh Singapura dengan berbagai kemudahan kehidupan yang nyaman. Di antaranya menjadi penduduk tetap negara kota tersebut dan tidak harus menetap di Singapura.
Hasilnya setahun setelah kerusuhan 1998, Singapura memiliki 150 ribu penduduk asal Indonesia yang memiliki status Permanent Resident (penduduk tetap) Singapura.
Dengan status ini ke 150 ribu jiwa tersebut bebas tinggal di dan keluar kapan saja dari Singapura.
Padahal untuk mendapatkan status seperti itu, setiap warga mengeluarkan biaya yang relatif mahal. Tetapi semahal apapun kartu tanda penduduk tetap Singapura itu, tetap lebih menarik ketimbang KTP Indonesia.
Dalam menerima para pendatang dari Indonesia, Singapura tentu melakukan seleksi yang ketat. Misalnya yang jadi prioritas hanya mereka yang mampu membayar US$ 1,- juta per kepala.
Uang sebesar itu bagi warga yang punya uang - asal uang itu demi semua keselamatan, menjadi tak ada artinya. Maka tidak heran jika di Singapura saat ini terdapat banyak apartemen milik orang Indonesia. Tidak heran pula, jika setiap libur panjang akhir pekan, orang Indonesia yang terbang ke Singapura, cukup banyak.
Yang pasti dengan adanya penduduk berstatus permanent resident tersebut - bila data ini akurat, tahun 1999 itu saja Singapura sudah berhasil menarik dana dari Indonesia tidak kurang dari Rp. US$ 150,- milyar.
Coba kalikan jumlah itu dengan kurs Rp. 10,-ribu. Itu sama dengan Rp. 1,500,- triliun. Atau hanya selisih Rp. 500,- triliun dari APBN tahun 2016 yang berjumlah Rp. 2.000-an triliun.
Di luar itu, hampir semua konglomerat yang menerima Bantuan Likwiditas Bank Indonesia (BLBI) di puncak krisis 1998, memarkir uang mereka di Singapura.
Setidaknya terdapat Rp. 600-an triliun dari BLBI yang terparkir di Singapura.
Sehingga tidak heran, di saat Indonesia terus mengalami krisis, Singapura tetap stabil bahkan terus berubah menjadi negara termaju di ASEAN.
Kalau sudah begitu, apa yang bisa Indonesia lakukan terhadap Singapura?
Negara ini tak ubahnya Israel di Timur Tengah yang mampu membungkam semua negara Arab.
Terpulang kepada kita semua - apakah mau jadi negara bulan-bulanan atau negeri jadi-jadian? Maksud saya menjadi negara pecundang atau pemenang?
Post a Comment Blogger Facebook