Saya ingat penggalan kata-kata di buku Life Traveler “Kadang kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara dan mungkin cinta. Mereka-mereka yang memberikan rumah itu untuk kita apapun bentuknya. Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri: sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun” Seperti itulah saya menggambarkan mereka-mereka yang saya kenalkan diatas, mereka adalah sebuah rumah yang selalu berhasil meyeret saya untuk selalu kembali, membuat sebuah lukisan cerita yang tetap betah dan tak pernah membosankan.
Trip ke Baduy sebenarnya adalah cara kami untuk mempertahankan hubungan pertemanan. Spot destinasi yang dituju hanya dua ;menyambangi Baduy luar dan curug Tomo meski akhirnya hanya curug Bumi yang kami dapat. Start pemberangkatan dimulai dari rumah Om Enzat dengan trip leadernya brader Rangga. Tanggal 6 Februari 2016, teorinya jam 6 pagi kita akan berangkat, tapi jam segitu masih pada sibuk sarapan dan antri kamar mandi, akhirnya jam 8 pagi sudah mulai siap berangkat. Perjalanan ke Desa adat Baduy melewati jalan-jalan pegunungan dengan kanan kiri jalan pemandangan hutan hijau dan sesekali bekas lahan tambang yang sudah ditinggalkan pemiliknya karena (mungkin) dianggap ilegal atau meresahkan masyarakat lokal setempat.
“ Yang saya sukai dari sebuah trip ; ketika memasuki pelosok-pelosok perkampungan, berbaur dengan masyarakat-masyarakat desa, menghirup udara bersihnya dan menikmati kekayaan alam Indonesia yang begitu luas dan tentunya mengagumkan. Para petani yang sedang sibuk mencangkul sawahnya, pemancing ikan yang sibuk dengan pancingannya di sungai serta bapak-bapak yang sedang mengantar anaknya dari sekolah pakai motor butut, begitu sempurna”
All team keluarga cemara:
Desa Ciboleger:
Kurang lebih perjalanan 3 jam melewati jalan – jalan yang berlubang, keadaan jalanan yang berkelok-kelok dan pemandangan alam yang sempurna, kami sampai di Desa Ciboleger dengan disambut tukang parkir mobil yang tak memperbolehkan kami masuk ke area parkir dalam karena ada acara motor trail. Tukang parkir menyuruh mobil kami untuk di parkir diluar saja, karena percuma di parkir di dalam keluarnya bakalan susah, kami hanya menurut sama tukang parkir yang entah ngomong bahasa sunda yang tak saya mengerti. Setelah semuanya sudah diluar dan siap siap berangkat memasuki kampung adat suku Baduy. Kami berjalan kaki sampai dengan ditandai oleh patung dan tulisan “Selamat datang di Desa Ciboleger.”
Begitu memasuki kawasan Desa Suku Baduy luar, kami semua di sambut oleh anak-anak baduy yang sedang asik berkumpul, sebagian dari kami sibuk dengan kamera masing-masing sementara saya sibuk dengan pengisian perut karena belum makan ketika sarapan paginya. Fokus spot yang akan kami kunjungi di Desa adat suku Baduy adalah kampung suku Baduy luar, pengunjung hanya boleh sampai Baduy luar karena suku Baduy dalam sedang ada acara adat yaitu bulan Kawalu, biasanya kalau sudah bulan Kawalu mereka tidak mau di ganggu. Irwan dan brader Rangga bilang kalau bulan Kawalu biasanya suku Baduy dalam tidak akan keluar desa selama 3 bulan.
Rumah adat Baduy luar:
Trek pertama menuju kampung Baduy luar:
Kampung Baduy luar :
Dari kawasan paling luar Desa Ciboleger ini kami langsung beranjak menuju kampung Baduy luar, kira-kira dibutuhkan waktu 2 - 3 jam untuk sampai ke jembatan bambu pemisah antara Baduy luar dan Baduy dalam, kami di pimpin oleh seorang guide dari anak Baduy dalam bernama Pulung. Sebagai guide, Pulung cukup lengkap memberikan informasi yang kita butuhkan, setidaknya kami kebanyakan nanya tentang jarak trekking dari Desa Ciboleger luar sampai jembatan pemisah antara Baduy luar dan Baduy dalam. Seluruh perjalanan menuju jembatan pemisah tersebut selalu membuat saya berdecak kagum dengan rumah-rumah yang (katanya) teman saya ; Rangga dan Irwan di bangun dengan cara gotong royong antara sesama warga desa. Bayangkan, diantara kehidupan manusia-manusia kota sekarang yang nyaris individualis, di Desa Baduy ini masih sangat melestarikan tradisi gotong royong. Sesampainya kami di jembatan penghubung antara Desa Baduy luar dengan Desa Baduy dalam, beberapa dari kami di sibukkan dengan kameranya masing-masing, sebagiannya menumpang shalat dhuhur di rumah orang lokal dan sebagian lagi belanja oleh oleh. Dekat dengan jembatan tersebut, di sebuah rumah ada orang yang menjual oleh-oleh buat para pengunjung, berbagai macam oleh--oleh yang di suguhkan oleh bapak -bapak itu seperti macam-macam gelang khas Desa Baduy, kain tenun, madu asli dari Desa Baduy, iket kepala khas suku Baduy dan masih banyak yang lainnya.
Setelah agak lama ngobrol dan ngerokok bersama bapak penjual oleh-oleh tersebut, saya kemudian bertanya tentang harga gelang yang dijual bapak itu :
“Maaf Bapak, berapa ya harga gelang ini?” Tanya saya.
“Kalau yang itu harga 5000 aja mas” Jawab bapak itu. “
“Ya sudah pak, saya ambil gelang ini saja satu buat kenang-kenangan barangkali suatu hari saya bisa balik lagi kesini berkat gelang yang saya beli ini pak” Jawab saya sambil sedikit tersenyum sama bapak tersebut.
“Ya mas, gak apa apa” tambahnya.
Setelah beli gelang dari bapak-bapak yang bersahaja tersebut saya langsung menyusul teman yang lain yang sudah siap untuk turun kembali ke parkiran karena waktu yang sudah sore untuk pulang, ohya kami tidak di jalan pulang, perjalanan selanjutnya mandi di pemandian air panas Cisolong, Pandeglang, Banten. Perjalanan kembali treking ini ke parkiran memang agak jauh dari pada berangkatnya apalagi ditambahi panasnya matahari yang cukup terik membakar kulit muka sehingga terpaksa harus pakai sarung untuk menutupi. Sampai di parkiran sekitar jam 15.30 sore, setelah istirahat sebentar dan beli minum di minimarket terdekat, kami semua bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke pemandian air panas, Cisolong. Sekitar jam 17.30 kami sudah sampai di pemandian air panas Cisolong, tempat yang pertama kali dituju adalah Mushola karena beberapa menit kemudian adzan maghrib berkumandang. Selepas shalat maghrib, aktivitas kami langsung menceburkan diri masing-masing ke kolam renang air panas tersebut. Karena lebih terasa begitu panasnya dari pada hangatnya. Pemandian di Cisolong benar-benar buat seluruh badan menjadi lemas, tak heran sebagian dari kami ketika pulang jadi mengantuk dan kelaparan adapula yang tiba-tiba sakit perut, mungkin karena masuk angin.
Rencana sehabis mandi di pemandian air panas Cisolong, kami mau mengisi perut di nasi uduk kuntilanak, Rau. Tapi, karena Tina sudah sakit perut dan perutnya sudah tak bisa di ajak kompromi akhirnya mobil 1 pulang duluan ke rumah om Enzat sementara mobil 2 melanjutkan perjalanan buat mengisi perut di nasi uduk kuntilanak, Rau. Sekalian belikan nasi teman-teman di mobil 1 yang belum makan. Dulu, saya pernah mempunyai kepercayaan bahwa ketika kamu berkunjung ke sebuah tempat yang baru, kamu ga boleh ketinggalan mencicipi makanan khasnya. Saya sempat bingung kenapa harus dinamakan kuntilanak, kenapa tidak sekalian dinamakan sundel bolong atau gendruwo, kenapa harus kuntilanak. Pertanyaan yang memutar-mutar di kepala saya akhirnya terjawab sudah, ketika sudah sampai di nasi uduk kuntilanak Rau. Pelayannya hampir wanita yang berpakaian dan berdandan nyaris seksi, sebagai laki-laki normal dan tentunya manusia biasa, saya sempat tak berkedip selama beberapa detik. Setelah saya tanya dengan segudang pertanyaan ke brader Rangga, terjawab sudah. Nasi uduk itu di berikan nama kuntilanak, karena memang pelayannya semuanya perempuan dan bukanya selalu malam kalau siang tutup ya seperti kuntilanak. Jadi, sepanjang jalan itu yang jual nasi uduk para perempuan yang nyaris seksi dan pelanggannya kebanyakan dari kaum Adam, yah baik tua, sebaya atau yang masih muda. Mungkin itu juga bisa untuk menarik pelanggan karena persaingan bisnis nasi uduk yang mungkin cukup ketat, entahlah. Banyak sekali orang-orang yang mempunyai cara yang hampir di luar nalar untuk menarik pelanggan. Makan di nasi uduk kuntilanak, Rau. Selain perut kenyang matapun juga kenyang.
Anak-anak suku Baduy dalam:
Trek ke 2 menuju kampung suku Baduy luar:
Aing bersama anak anak kampung Baduy dalam:
Bersama guide kami, si pulung:
Perjalanan panjang di hari Sabtu, tanggal 6 Februari 2016 di tutup dengan ngopi bareng di rumah om Enzat bersama para suhu-suhu senior didalam bidang per-kopian. Malam itu, kami berbincang sambil ngopi di depan rumah om Enzat dengan obrolan paling seru seputar perjalanan dengan diselipkan tentang nasi uduk kuntilanak yang menggigit lidah enaknya. Perbedaan dari berbagai profesi dengan disatukan oleh hobi yang sama adalah pencapaian yang begitu penting untuk sesuatu yang di namakan keluarga. “Pertahankan orang-orang yang ingin terus mempertahankan komunikasi dan terus menyambung silaturahmi denganmu apapun dan bagaimanapun dia”. Buat kalian, yang masih terus dengan tulus menjaga hubungan pertemanan kita, terima kasih sebanyak-banyaknya atas semua kekurangan saya. Salah dan khilaf adalah sifat manusia karena segala Kebenaran adalah milik Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih untuk semuanya atas perjalanan yang paling seru,
Terima kasih buat agan agan semuanya yang udah mau nyempetin baca catper yang agak sedikit berantakan gan, hehe.. salam petualang salam lestari
Makan besar bersama :
Bonus dari orang 1980 an:
Post a Comment Blogger Facebook