Kadang kita pengen ke suatu tempat hanya karena nama tempat tersebut terdengar eksotis di telinga. Seperti saya pengen ke Zanzibar. Nggak kebayang sebelumnya bahwa Zanzibar itu ternyata sebuah kepulauan di negara Tanzania, di timur benua Afrika. Bahkan merupakan tempat kelahiran Freddie Mercury, vokalis Queen!
Sebelum pergi, saya browsing penginapan di Pulau Zanzibar. Penginapan murah adanya di kota Stone Town tapi tampak mengerikan karena dekat dengan pelabuhan dengan jalan-jalan yang sempit dan gelap. Hostel cuma ada satu, itu pun sekamar berdua mixed gender – hii, apa nggak takut tergoda? Secara saya traveling sendirian, di Afrika pula, borju dikit nggak apa-apa lah. Jadi lah saya memutuskan untuk tinggal di hotel pinggir pantai. Asal dekat laut, I'd be happy meski sendirian.
Akhirnya dapatlah di sebuah hotel di Pantai Uroa seharga 40 USD sekamar sendiri di satu bungalow. Cukup mahal, tapi itu yang terbaik dari fasilitas yang disediakan karena ada kolam renang dan free WiFi. Pantainya pun bukan pantai turis yang banyak beach boys dan tukang jualan gengges, jadi bisa santai gugulingan pake bikini. Hotelnya cukup gede, ada 18 bungalow. Mayan bisa kenalan sama tamu-tamu lain.
Dari Dar es Salaam saya naik feri ke Zanzibar dan minta dijemput oleh supir hotel. Rupanya jaraknya jauh juga, sekitar sejam naik mobil. Mendekati Uroa, jalanan supersepi dan ada 2 hotel lain yang sudah tutup. Ebuset, jadi hotel saya ini tinggal satu-satunya yang buka! Sampai hotel, dikasih bungalow yang jauh dari resepsionis. Pas masuk kamar, lha listrik kok mati? Katanya, jam 18.00 baru akan dinyalakan genset. Karena gelap, saya nongkrong aja di restorannya yang luas. Lhaa, kok nggak ada orang lain? "Am I the only guest here?" tanya saya. "Yes," jawab mas resepsionis. Haa? Jadiii… saya satu-satunya tamu di satu-satunya hotel di daerah sepi ini?! Maksudnya sih mau menyepi, tapi ini kebangetan!
Sehotel searea sendirian!
Sialnya WiFi gratis itu cuman bisa diakses di lobi hotel. Karena saya satu-satunya tamu, router-nya saya paksa bawa ke kamar – mayan untuk maen hape. Ehh, pas jam 22.00 WiFi mati! Lhaa? Mati gaya deh! Belum ngantuk gini ngapain di tempat supersepi begini? Suara terdengar cuman dengungan nyamuk dan deburan ombak. Area hotel tidak berpagar dan gelap. Satpam kagak ada. Resepsionis cuman seorang, jauh pula dari kamar. Kalau saya dirampok atau diculik, nggak bakal ada yang dengar. Mulai deh saya parno. Ini Afrika, bung! Saya pun berdoa, baca Alkitab, berkali-kali mengunci pintu, bahkan menghalangi pintu dengan kursi, dan pegang pepper spray. Rasanya saya pengen malam itu cepat berakhir. Hiy!
Saya terbangun dengan bersyukur, ternyata semalaman aman terkendali. Seharian saya pun hepi-hepi berjemur dan berenang di kolam renang dan laut sampe gosong. Pantai Uroa ini memang cantik! Pasirnya putih, teksturnya halus kayak bedak. Pantainya pun landai tak berkarang dengan air laut berwarna turquoise. Mana bersih lagi, sama sekali nggak ada sampah. Sesekali para wanita lokal yang berjilbab warna ngejreng lewat sambil membawa ember berisi rumput laut di atas kepala mereka. Selain mereka, tidak ada siapa pun. Serasa pantai pribadi banget. Yay, I'm having honeymoon with myself!
Depan hotel
Sore balik ke kamar, saya mau mandi. Udah telanjang, buka kran… lha, air mati! Apa-apaan ini? Saya pun berlari ke resepsion dengan hanya berbalut handuk – mumpung nggak ada siapa-siapa. Pas lagi nyap-nyap komplen ke resepsionis, eh datanglah dua mobil gerombolan cowok lokal yang mau makan di restoran! KWAK KWAAAW! Mata mereka langsung melotot. Saya seperti mau dimakan hidup-hidup! Saya buru-buru lari ngebut ke kamar dan berharap handuk nggak melorot.
Sejam berlalu air belum nyala juga. Saya masih handukan dengan badan lengket dan diserbu nyamuk. Setengah jam kemudian datanglah staf hotel membawa dua ember berisi air. "I'm sorry, madam. The water is off. Something wrong with the plumbing. We're calling the technician," katanya. Huh! Baru telepon? Ini gimana mau keramas? Belum air untuk nyiram boker. Arrrgh!
Sehabis mandi ipik-ipik, saya makan malam sendiri lagi di restoran. Katanya air sudah nyala, tapi WiFi masih mati. Alasannya jaringan provider-nya lagi gangguan. Saya yakin sih mereka malas aja ngisi pulsa. Daripada bete di kamar sendiri, saya pun ngobrol sama para staf hotel.
Penduduk Zanzibar 99% Muslim. Kalau menyapa orang, bukannya "jambo" ("halo" dalam bahasa Swahili) tapi "Assalammualaikum". Tentu saya lancar ngomong begitu – yang membuat mereka kagum karena saya dianggap fasih bahasa Swahili. "It's Arabic," kata saya. "No, it's Swahili!" jawab mereka. Terserah deh, nek! Mungkin karena itu lah mereka hormat dengan orang Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, sekaligus heran kenapa saya bukan Muslim.
Menariknya, seorang staf bernama Hamadi meminta saya menerjemahkan sepatah lagu berbahasa Indonesia yang selalu diputar di masjid desa Uroa setiap habis sholat Jumat. Dia pun bernyanyi terbata-bata, "Hai kalian, kaum wanita yang menderita…" HAH? Beneran bahasa Indonesia! Lagu apaan tuh? Iramanya seperti kasidah, tapi kenapa kata-katanya begitu? Dan kenapa diputar di masjid? Setelah saya terjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Hamadi tambah bingung dan bertanya, "So what's wrong with the women in Indonesia?" Waduh, kalau nggak lengkap kalimatnya ya susah. Tapi saya jadi ngikik sendiri. Jangan-jangan itu lagu dangdut!
Hari-hari selanjutnya saya nggak parno lagi dan survived hidup tanpa internet. Makanan enak sesuai request karena semua staf hanya melayani saya seorang. Masalah air teratasi. Listrik dinyalakan 24 jam. Plus, dikasih semprotan nyamuk – yang ternyata made in Indonesia. Selain berenang dan jalan-jalan, setiap hari saya nongkrong bareng dengan para staf hotel. Malah saya sempat main ke rumah keluarga mereka di desa Uroa. Saya pun jadi belajar bahasa Swahili gratis.
Hari terakhir saya mau terbang ke Arusha dan minta diantar ke bandara. Lho, kok yang nganter sekeluarga supir? Segitu merasa akrabnya kah mereka? Supir berkata, "I'm sorry, madam. My daughter just delivered a baby. We're all going to the hospital in town after taking you to the airport!" Saya pun tersenyum dan berkata, "Hakuna matata, kaka!" (artinya "No problem, bro!").
—
P.S. Mungkin saya harus pergi ke tempat lain yang juga terdengar eksotis; Timbuktu. Apa ya yang akan terjadi di sana?
----
Shared via trinity-2
Post a Comment Blogger Facebook