Membesarkan anak dalam kultur yang berbeda tentu saja membawa berbagai tantangan, mulai dari masalah bahasa, sampai kepada peran orang tua. Di negeri seperti Australia, dimana separuh penduduknya merupakan keluarga dan generasi pertama atau kedua, masalah ini banyak dibicarakan.
Anita Harris, Profesor di Universitas Monash di Melbourne mengatakan bahwa pendapat yang umum beredar adalah bahwa anak-anak muda yang merupakan generasi kedua "biasanya terbelah antara dua budaya." Apakah ini merupakan kenyataan sebenarnya?
Ketika gurubesar hukum asal Amerika Serikat Amy Chua menerbitkan buku mengenai kehidupan keluarganya yang kemudian menjadi laris berjudul Battle Hymn of the Tiger Mother di tahun 2011, dia harus menjawab banyak tuduhan bahwa dia memperburuk citra orang tua Asia karena menggambarkan mereka sebagai "kaku dan selalu memaksa anak-anak mereka untuk berprestasi."
Namun dalam waktu bersamaan buku tersebut juga menimbulkan debat global mengenai orang tua migran asal Asia dan gaya orang tua Barat yang dianggap terlalu bebas.
Menurut Anita Harris, kenyataannya sebenarnya tidaklah sekaku yang dibicarakan di media.
"Sekarang ini, anak-anak muda mendapat banyak pengaruh dari berbagai kalangan, mulai dari kemajuan teknologi, sosial media, ekonomi global, tidak sekedar pengaruh dari dalam keluarga dan lingkungan yang dianggap Barat."
Harapan Orang Tua
Artis Sapna Chandu lahir di Australia namun dibesarkan di Melbourne dan Bangalore. Dia mengatakan merasa menjadi warga Australia ketika tumbuh dewasa, hal yang membuat orang tuanya tidak senang.
"Saya ingin melakukan hal-hal seperti pergi berkemah atau ke pantai bersama teman-teman, namun orang tua saya tidak mengijinkannya. Mereka tidak mau saya berjemur di bawah matahari, karena kulit saya akan semakin gelap." katanya.
"Saya tidak mengerti apa yang mereka anggap penting dan yang tidak."
Australia terkenal dengan pantai-pantainya yang indah
Selain itu, ada juga harapan yang tinggi yang muncul dari anak terhadap orang tua mereka. Sebagai warga Australia yang dilahirkan di China, wartawan ABC Ning Pan di suatu hari mendapat permintaan dari anaknya untuk menyediakan "roti peri" untuk dibawa ke piknik di sekolah. Namun Ning tidak mengerti apa "roti peri" tersebut.
"Saya bertanya-tanya kepada diri saya sendiri, apa itu roti peri? Saya mengatakan kepada anak saya bahwa saya tidak tahu." kata Ning. Setelah dia kemudian mencari di internet, dia baru mengerti dan sebenarnya membuat "roti peri" itu mudah namun pertanyaan itu membuat anaknya yang sekarang meragukan kemampuan ibunya.
"Anak saya melihat saya dan bertanya "bukannya ibu harus tahu semuanya?"
"Saya kira membesarkan anak bukan hal yang mudah, namun membesarkan anak di budaya yang baru dimana kita tidak pernah mengalaminya sendiri memberi tantangan lebih besar lagi. Yang diperlukan adalah pemahaman, keterbukaan, sedikit nekat, dan mau belajar terus." katanya.
Roti peri adalah roti yang ditaburi dengan berbagai manisan berwarna warni.
Sekolah dan Pilihan Pekerjaan
Pindah ke sebuah negara baru juga sering kali menimbulkan kecemasan akan kemungkinan mendapatkan pekerjaan.
"Ibu saya berpandangan bahwa "lakukan sesuatu yang akan membuatmu senang, sesuatu yang bisa menghasilkan uang." kata Margaret Lau, generasi kedua keturunan China Australia. "Jadi ketika saya hendak mengambil program doktor untuk penulisan kreatif, ibu saya menghujani saya dengan begitu banyak pertanyaan untuk mengerti mengapa saya ingin mendapat gelar doktor."
“Saya kira ibu saya juga mengerti bahwa saya tidak akan bahagia bila dipaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin saya lakukan." kata Margaret.
"Jadi walaupun dia menekankan pentingnya kemapanan dari sisi keuangan, dia juga mencoba mengerti mengenai sesuatu yang ingin saya lakukan."
Sapna Chandu, yang belajar kedokteran gigi selama lima tahun namun sekarang bekerja sebagai artis profesional, mengatakan orang tuanya mengharapkan dia menjadi dokter gigi, sesuatu yang tidak diinginkannya.
"Sekarang saya senang masih bisa berpraktek sebagai dokter gigi. Saya melakukannya paruh waktu, dan dari seni yang saya tekuni malah membantu teknik, persepsi dan keakuratan saya dalam membantu para pasien saya."
Sekolah dan pilihan karir kadang menjadi sumber kecemasan bagi mereka yang pindah negara .
Tetapi orang tua juga bisa memberikan tekanan tambahan sehubungan dengan gelar atau pilihan kuliah di universitas, kata Sunil Badami.
“Orang tua saya saya keras dengan gelar -– ayah saya selalu menekankan pentingnya saya berprestasi di kelas, dan selalu memarahi saya kalau tidak juara satu di setiap kelas."
"Namun saya memang tahu bahwa banyak teman-teman asal India yang mendapat tekanan begitu kuat dari orang tua mereka untuk menjadi dokter. Nah ibu saya, meskipun dia pernah mempermasalahkan keinginan saya menjadi penulis, dan ingin saya menjadi dokter, dia tidak pernah mengkritik pilihan karir saya."
Menerapkan kebiasaan budaya
Sunil Badami menikah dengan seorang warga India asal Australia, dan merasa bahwa anak-anak perempuannya akan mendapat manfaat dari kehidupan multi budaya di sini.
“Saya senang bahwa anak-anak saya tidak hanya akan belajar dari satu budaya. Saya tahu dibesarkan dalam budaya Kulit Putih Australia sebelumnya, saya dulu kadang merasa malu menjadi warga India, karena terlihat berbeda." kata Badami.
"Namun di SD anak saya baru-baru ini, mereka merayakan sejarah dan budaya India, sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi ketika saya masih kecil."
"Anak-anak saya masih tidak menyukai masakan India - karena banyak bumbunya, tetapi saya juga tidak suka. Namun mereka kami perkenalkan dengan budaya dan makanan India sebanyak mungkin. Di kamar mereka, ada gambar dewi-dewi, dan kami menceritakan cerita-cerita kuno India seperti Amar Chitra Kathas."
Menemukan keseimbangan dari lebih satu budaya memiliki banyak keuntungan
Ketika beranjak dewasa, Sapna Chandu merasa bahwa dia bisa memilih hal yang terbaik dari dua budaya berbeda.
“Ya, banyak aspek positifnya seperti bisa memahami gaya hidup Australia namun dalam waktu bersamaan bisa juga merasakan asal muasal saya sebagai orang India, karena saya mengunjungi India tiap dua tahun sekali."
Profesor Anita Harris mengatakan generasi muda yang tumbuh dalam masyarakat multibudaya sering belajar untuk mencari keseimbangan dari berbagai budaya. "Mereka memiliki banyak cara kreatif untuk melintasi berbagai budaya." katanya,
Hal serupa mungkin lebih susah dilakukan oleh para orang tua yang pindah negara dibandingkan anak-anak mereka yang lahir di Australia. Profesor Anita Harris mengatakan generasi muda dari berbagai budaya memiliki banyak cara kreatif dan praktis dalam berinteraksi dan membangun persahabatan.
“Sebagai contoh dalam penelitian saya, anak-anak muda dari kalangan muslim membangun jaringan pertemanan antar budaya lewat kegiatan sosial yang mereka sepakati. Misalnya, mereka tidak berteman dengan mereka yang minum alkohol, namun ikut kegiatan berjalan ke daerah pedesaan dengan teman-teman bule ataupun yang bukan Muslim." katanya.
Dan tentu saja akhirnya selalu saja ada gaya berbeda dalam cara membesarkan anak, bukan semata karena perbedaan ras atau budaya, namun karena perbedaan kepribadian, prioritas dan konteks sosial lainnya.
Keseimbangan dalam kehidupan multibudaya
“Saya kira perbedaan besar antara falsafah Barat dan Timur mengenai mengasuh anak adalah bahwa anak-anak keluarga Asia sering kali merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab dan kepatuhan terhadap orang tua, mulai dari tidak berani mempertanyakan keputusan meraka, sampai kepada mereka bertanggung jawab atas kehormatan keluarga, dan juga kemudian harus mengurusi mereka ketika sudah sepuh." kata Sunil Badami.
“Jadi ada perasaan bahwa mereka adalah bagian dari unit keluarga atau unit masyarakat, bukannya sikap individu yang banyak ditekankan oleh para orang tua di Barat." tambah Sunil.
Namun pada akhirnya, setiap orang tua menghendaki anak-anak mereka hidup bahagia, terlepas dari budaya ataupun nilai berbeda yang mereka anut.
"Saya kira setiap orang tua akan selalu berpikir: apakah saya harus mendorong anak saya atau membiarkan mereka tumbuh sendiri? Saya kira kunci dari pertanyaan ini adalah kecintaan kita kepada mereka, tidak masalah dalam budaya mana mereka tumbuh." kata Ning Pan.
"Sebagai orang, kita harus membimbing mereka untuk menemukan kecintaan mereka: kecintaan akan belajar, kecintaan akan hidup. Dan mencoba memberi inspirasi kepada mereka, bukannya memaksa. Bagaimanapun ini adalah hidup mereka, mereka harus mengambil keputusan sendiri, kita hanya mendampingi mereka dalam perjalanan tersebut." kata Ning Pan.
“Ya, banyak aspek positifnya seperti bisa memahami gaya hidup Australia namun dalam waktu bersamaan bisa juga merasakan asal muasal saya sebagai orang India, karena saya mengunjungi India tiap dua tahun sekali."
Profesor Anita Harris mengatakan generasi muda yang tumbuh dalam masyarakat multibudaya sering belajar untuk mencari keseimbangan dari berbagai budaya. "Mereka memiliki banyak cara kreatif untuk melintasi berbagai budaya." katanya,
Hal serupa mungkin lebih susah dilakukan oleh para orang tua yang pindah negara dibandingkan anak-anak mereka yang lahir di Australia. Profesor Anita Harris mengatakan generasi muda dari berbagai budaya memiliki banyak cara kreatif dan praktis dalam berinteraksi dan membangun persahabatan.
“Sebagai contoh dalam penelitian saya, anak-anak muda dari kalangan muslim membangun jaringan pertemanan antar budaya lewat kegiatan sosial yang mereka sepakati. Misalnya, mereka tidak berteman dengan mereka yang minum alkohol, namun ikut kegiatan berjalan ke daerah pedesaan dengan teman-teman bule ataupun yang bukan Muslim." katanya.
Dan tentu saja akhirnya selalu saja ada gaya berbeda dalam cara membesarkan anak, bukan semata karena perbedaan ras atau budaya, namun karena perbedaan kepribadian, prioritas dan konteks sosial lainnya.
Keseimbangan dalam kehidupan multibudaya
“Saya kira perbedaan besar antara falsafah Barat dan Timur mengenai mengasuh anak adalah bahwa anak-anak keluarga Asia sering kali merasa bahwa mereka memiliki tanggung jawab dan kepatuhan terhadap orang tua, mulai dari tidak berani mempertanyakan keputusan meraka, sampai kepada mereka bertanggung jawab atas kehormatan keluarga, dan juga kemudian harus mengurusi mereka ketika sudah sepuh." kata Sunil Badami.
“Jadi ada perasaan bahwa mereka adalah bagian dari unit keluarga atau unit masyarakat, bukannya sikap individu yang banyak ditekankan oleh para orang tua di Barat." tambah Sunil.
Namun pada akhirnya, setiap orang tua menghendaki anak-anak mereka hidup bahagia, terlepas dari budaya ataupun nilai berbeda yang mereka anut.
"Saya kira setiap orang tua akan selalu berpikir: apakah saya harus mendorong anak saya atau membiarkan mereka tumbuh sendiri? Saya kira kunci dari pertanyaan ini adalah kecintaan kita kepada mereka, tidak masalah dalam budaya mana mereka tumbuh." kata Ning Pan.
"Sebagai orang, kita harus membimbing mereka untuk menemukan kecintaan mereka: kecintaan akan belajar, kecintaan akan hidup. Dan mencoba memberi inspirasi kepada mereka, bukannya memaksa. Bagaimanapun ini adalah hidup mereka, mereka harus mengambil keputusan sendiri, kita hanya mendampingi mereka dalam perjalanan tersebut." kata Ning Pan.
Post a Comment Blogger Facebook