BAGI Ni Luh Indrawati, kematian sahabatnya telah mengubah semua visi hidupnya. Yang terlintas di benaknya adalah hanya mau membantu orang. Saya ingin hidup saya berguna sebelum meninggal, katanya. Ya, sejatinya hidup Ni Luh sempat terpukul ketika sahabat karibnya sejak sekolah di SMP Negeri 1 Surabaya berpulang.
Alumnus SMAK Santa Maria Surabaya itu sangat merasa kehilangan. Dia terpuruk. Untuk menenangkan diri, pada 2007 dia memutuskan hijrah ke Pontianak, Kalimantan Barat. Niatnya memang mengasingkan diri. Sampai di Kalimantan, alumnus Fakultas Farmasi Universitas Surabaya (Ubaya) itu langsung indekos di jantung Kota Pontianak. Di kota yang dilalui garis khatulistiwa itu, perempuan kelahiran Tulungagung, 30 Mei 1981, tersebut menghabiskan hari-harinya dengan ngelayap. Pokoknya kerjaannya muter-muter aja. Nggak tahu mau ke mana, ungkapnya sambil mengingat kenangan itu. Bahkan, tak jarang beberapa teman di Surabaya dan warga sekitar menyebutnya gila.
Bermodal uang seadanya, Ni Luh menyewa sepeda motor dari penduduk setempat. Motor itu dia gunakan untuk mengitari Pontianak dan kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Sebut saja Sintang, Mempawah, hingga Bengkayang. Keliling nggak jelas di sekitar Kalbar, kenangnya lantas tertawa kecil. Dalam petualangannya itu, dia menemukan hamparan tanaman yang tumbuh liar di tepi jalan. Bunganya mirip anggrek. Tapi, ia berumbi bak bawang merah. Boleh dibilang, tanaman itu adalah sepupu bawang merah. Karena penasaran, Ni Luh mendekat agar bisa mencomot beberapa batang. Tapi, warga yang melihat melarang. Sebab, daerah itu adalah sarang ular dan hewan melata berbahaya lainnya.
Tapi, Ni Luh nekat. Dia bisa mengambil beberapa batang dan membawanya pulang. Itu dilakukan selama beberapa bulan masa pengasingannya. Secara rapi, istri Putu Arya Wibisana, jaksa di Koba, Bangka Belitung, itu menata tanaman asing tersebut di lantai kamar kos. Bahkan, dia menyewa satu lagi kamar kos untuk dijadikan gudang penyimpanan. Awalnya, tanaman tersebut dibiarkan tergeletak hingga membusuk. Karena itu, Ni Luh pun memutuskan mencari lagi tanaman tersebut. Eh, di pasar tradisional ternyata ada. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai bawang dayak.
Tanaman asli suku Dayak yang memang dijual di pasar. Tapi, jumlahnya terbatas, katanya. Para penjual di pasar menceritakan bahwa bawang itu sering dipakai sebagai obat untuk mempercepat penyembuhan luka pasca melahirkan. Bawang tersebut juga ampuh untuk melawan berbagai penyakit. Bahkan, para pemuka adat suku Dayak mengunyahnya sebagai obat antinyeri. Prinsipnya, sebagai anak enggang nyanak jata yang berarti anak burung enggang dan keturunan naga, suku Dayak sangat menghormati dan mencintai hutan. Segala kekayaan hutan digunakan dengan bijak. Hidup di hutan belantara, mereka tak mengenal dokter. Alamlah yang jadi tabibnya.
Konsep berpikir itu yang akhirnya dipakai Ni Luh. Tanpa menunggu lama, ibu dua anak tersebut kembali ke Surabaya pada 2008. Ketika itulah tanaman dengan nama latin Eleutherine Americana Merr tersebut dimanfaatkan olehnya. Memboyong sisa bawang yang bisa diselamatkan, Ni Luh menerima kabar bahwa ibu seorang temannya menderita kanker payudara. Tanpa ragu, diambilnya sejumput bawang dayak dan diberikannya kepada sang kawan. Wis, pokoknya saya kasih aja. Yang saya tahu, itu dipakai sebagai obat sama orang Dayak, ungkapnya.
Kala itu Ni Luh belum mengetahui cara mengolahnya. Bahkan, kandungan yang terdapat dalam bawang dayak pun tak sempat diujinya. Dia hanya menyarankan sang kawan untuk merajang kemudian merebus bawang itu. Air hasil rebusan tersebut lantas diseduh layaknya teh dan dibubuhi sedikit gula putih. Sebab, rasanya memang pahit dan pedas. Itu pula yang jadi ciri khas bawang dayak. Menurut dia, rasa bawang dayak yang ditanam di luar Kalimantan tidak pahit dan pedas. Khasiatnya juga menurun. Tak seperti vegetasi aslinya di Kalimantan, imbuhnya meyakinkan. Tak butuh waktu lama, selang beberapa bulan, benjolan di payudara mengecil dan luka bekas operasi mengering.
Sejak itu dia percaya bahwa tanaman Borneo tersebut punya segudang khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Satu per satu permintaan berdatangan setelah tahu ada yang sembuh dengan menenggak rebusan bawang dayak. Sekitar 2011, Ni Luh mengusung tanaman yang tergolong tanaman berumbi dengan bentuk daun tunggal itu untuk diuji kandungannya di Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. Hasilnya, tanaman yang juga dikenal dengan nama bawang sabrang itu mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, dan senyawa lain yang efektif bekerja sebagai antikanker, antioksidan, antiinflamasi, mengurangi risiko kardiovaskular, serta menangkap radikal bebas.
Karena khasiat itu, saya kembali ke Pontianak untuk sosialisasi, ungkapnya. Dibantu beberapa teman dokter dan temannya, perempuan yang hobi menulis itu mendorong Pemerintah Daerah Pontianak untuk membudidayakan bawang dayak. Caranya, memperluas lahan untuk penanaman agar bisa menyuplai pabrik obat herbal untuk diproduksi secara masal. Motivasi terbesarnya adalah ingin tanaman itu bisa bermanfaat bagi para penderita kanker, juga penyakit lainnya. Dan untuk mendukung kampanye pengobatan dengan bawang dayak, pada 2013 dia menetaskan sebuah buku yang mengulas tentang khasiat dan cara penggunaan bawang dayak.
Setelah program budi daya bawang dayak berhasil digalakkan, kini setiap minggu Ni Luh mendapat kiriman puluhan kilogram bawang dayak ke rumahnya di daerah Bronggalan, Surabaya, yang siap dipasok untuk dijadikan obat. Namun, bila ingin dipakai sebagai konsumsi pribadi, Ni Luh menyarankan menyimpannya lebih dulu dengan suhu kamar. Yakni sekitar 20 derajat Celsius. Bisa bertahan dua minggu, katanya.
Bawang dayak itu bisa pula disimpan di lemari pendingin. Cara mengolahnya pun mudah. Bawang dayak dirajang, kemudian dikeringkan di tempat yang tidak langsung terpapar matahari selama dua hari. Setelah itu, dapat diminum dengan cara diseduh seperti teh. Namun, perempuan yang piawai menyanyikan lagu Dayak itu mewajibkan penggunaan kuali tanah sebagai media memasak. Kalau pakai bahan logam, khasiatnya malah berubah. Sebab, bawang dayak bakal terkontaminasi dengan bahan berbahaya, terangnya. Ya, negeri ini memang masih menyimpan berbagai harta alam yang luar biasa. Tinggal satu per satu orang meneliti dan memanfaatkannya demi sesama.
Post a Comment Blogger Facebook