Tiya Diran bak seorang legenda di istana kepresidenan. Sejak era Presiden Soeharto hingga sekarang dia dipercaya memandu acara kenegaraan. Beraneka cerita suka dan duka mengiringi perjalanan karir Tiya.
SEKARING RATRI, Jakarta.
Pamor Tiya Diran melambung bersamaan dengan masa kejayaan Televisi
Republik Indonesia (TVRI) pada era 1980 hingga1990-an. Wajahnya tidak
asing bagi para penggemar program-program berita di televisi milik
pemerintah tersebut. Bisa dibilang, Tiya adalah news anchor idola pada
masa itu. Kefasihannya berbahasa Inggris membuatnya terpilih membawakan
program English News Service (ENS).
Seiring dengan meredupnya pamor TVRI, sosok Tiya pun seolah
"menghilang". Dia hengkang dari TVRI pada 2007. Namun, label news anchor
TVRI terus melekat pada perempuan kelahiran 23 November tersebut.
Berkat kiprahnya di TVRI pula, Tiya dipercaya meng-handle berbagai acara
istana dan kenegaraan. Lebih dari 20 tahun dia menjalani profesi
sebagai master of ceremony (MC) dan penerjemah simultan istana.
Yang dilakukan Tiya tidak jauh berbeda dengan pembawa acara pada
umumnya. Namun, yang dipandunya bukan sembarang acara. Yakni, acara
kenegaraan dengan aturan protokoler yang ketat. Tiya tidak bisa
sembarangan melontarkan guyonan seperti MC-MC pada umumnya. Dia juga
harus paham betul konteks acara yang dibawakannya, sekaligus penyebutan
nama dan jabatan pihak terkait dalam acara tersebut.
"Jangan sampai salah nama dan jabatan, apalagi acara formal kenegaraan.
Joke-nya juga harus dipikirkan, nggak asal spontan, harus sopan dan
sesuai konteks acara," ungkap Tiya kepada Jawa Pos di kawasan Pondok
Gede Sabtu lalu (27/7).
Pemilik nama asli Angistiya Pinakesti itu mengawali kiprah sebagai MC
istana pada akhir era kepemimpinan Soeharto. Ketika pertama ada tawaran
untuk menjadi MC acara kenegaraan, Tiya menolak dengan alasan kesehatan.
Saat itu kehamilannya bermasalah.
Setelah Tiya melahirkan, tawaran serupa datang lagi. Kali ini dia tidak
menolak. Kali pertama menjadi MC acara kenegaraan, dia merasa sangat
nervous. Deg-degan. "Saya lupa waktu itu acara kenegaraan dengan negara
mana. Apalagi, saya harus membawakannya dalam bahasa Inggris. Tapi,
alhamdulillah lancar," kenangnya. "
Setelah itu, Tiya terus dipercaya menjadi MC di istana.
Di mana pun
presiden menghadiri acara, hampir bisa dipastikan Tiya adalah pemandu
acaranya. Tidak terhitung berapa acara yang telah dia pandu. "Mungkin
sudah ribuan (acara)," katanya. "Kadang saya juga bergantian dengan Ines
Sukandar dan Oetari Noor Permadi," sambung Tiya.
Meski berpengalaman, Tiya tidak pernah menyepelekan setiap acara
kenegaraan atau acara presiden yang dia pandu. Dia selalu membuat
catatan sendiri sehingga tahu persis isi acara yang dibawakan. Sebelum
hari H, alumnus Lester B Pearson College Canada itu mencari informasi
sebanyak-banyaknya terkait dengan acara yang akan dia bawakan. Dia juga
melakukan riset. "Biasanya, kalau acara ibu negara, saya nggak hanya
jadi MC, tapi juga jadi kayak tour guide," terangnya.
Dalam membikin MC script, Tiya tidak sekadar mengandalkan data dan
informasi dari pihak penyelenggara. Dia juga memanfaatkan mesin pencari
Google. Dia kapok karena pernah hanya memercayai informasi dari mulut ke
mulut. "Saya pernah salah sebut nama pejabat yang hadir di acara
presiden gara-gara nanya orang," ujar dia.
Suatu ketika Tiya memandu acara Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang
dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah seorang pejabat
yang juga hadir adalah Ketua Mahkamah Agung (MA) waktu itu, Harifin
Tumpa. Eh, Tiya lupa nama lengkap ketua MA tersebut.
"Saya hanya ingat Tumpa. Terus orang-orang yang saya tanya Tumpa
Hatorangan, mereka ya-ya aja. Akhirnya saya dengan pede menyebut "Yang
terhormat Ketua MA Tumpak Hatorangan", langsung pejabat yang hadir
ketawa ngakak," kenangnya.
Begitu acara selesai, dia dipanggil Presiden SBY. Tiya waswas. Namun,
ternyata SBY tidak berniat menegur maupun memarahi. "Pas dipanggil, saya
bilang, "Pak, saya siap digantung. Eh, ternyata Pak SBY malah bercanda,
"Kamu ini menjadikan nama orang Bugis jadi orang Batak. Nggak papa,
kamu minta maaf aja ke orangnya"," ujar putri pasangan (almarhum)
Marsekal Muda (pur) Mohammad Diran dan Dahlia Dalimonthe itu.
Berbeda lagi pada era Presiden Baharuddin Jusuf Habibie. Presiden ketiga
tersebut dikenal gemar ngobrol. Karena itu, pada suatu acara, Tiya
terpaksa memotong pidato Habibie. Waktu itu yang bersangkutan harus
segera pergi. Saat waktu tersisa dua menit, adik Habibie, Fanny, meminta
Tiya untuk segera menghentikan pidato tersebut.
"Saya bingung, gimana harus stop. Akhirnya, pas Pak Habibie bilang
"Demokrasi tertinggi adalah di tangan rakyat", langsung saya bilang
"Interupsi Pak Habibie, demokrasi tertinggi di tangan MC, bapak punya
waktu dua menit". Eh, ternyata beliau malah bilang, "Oke, ini negara
demokrasi. Tapi, saya juga berhak nanya ke audience, boleh nambah
nggak?" Dan, jawabannya pada bilang nambah. Ya, paling nggak saya sudah
berusaha," tutur Tiya.
Selain harus berani, Tiya dituntut pandai berimprovisasi. Dia mencontohkan, suatu ketika Habibie menghadiri acara ulang tahun Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Hadir dalam kesempatan itu Menristek Rahardi Ramelan. Ketika Tiya menyebutkan bahwa Menristek akan menyampaikan laporan kepada presiden, yang berdiri justru Habibie. "Saya kaget. Terus saya bilang, Bapak sudah jadi presiden, bukan Menristek lagi. Eh, dia menjawab, "Saya lupa karena terlalu lama jadi Menristek. Semua pada ketawa," katanya.
Pada acara Bali Democracy Forum 2009, terjadi insiden mati lampu. Tiya
yang menjadi MC kembali harus berimprovisasi. Pada ending acara, Tiya
menuturkan bahwa kejadian mati lampu tersebut memang disengaja. "Saya
bilang, seperti buku Ibu Kartini, habis gelap terbitlah terang.
Akhirnya, suasana cair lagi," ujarnya.
Tiya lagi-lagi harus berimprovisasi saat pertemuan Ibu Negara AS
Michelle Obama dan Ibu Ani Yudhoyono di Istana Negara. Ketika itu ada
pertunjukan wayang. Michelle tiba-tiba menanyakan keberadaan Hanoman.
"Saya kan nggak mungkin bilang, waduh nggak dibawa. Saya bilang
Hanomannya lagi main di hutan, belum pulang. Eh, semua langsung ketawa,"
tutur perempuan berdarah Jawa dan Batak itu.
Selain menjadi MC, Tiya dipercaya sebagai penerjemah simultan atau juru
bahasa untuk setiap acara kenegaraan. Karena itu, dia bisa mengunjungi
hampir seluruh negara di dunia. "Kalau ditanya udah ke beberapa negara,
saya lupa persisnya. Banyak banget," katanya.
Tiya tidak pernah berpikir untuk menjadi penyiar maupun MC acara
kenegaraan. Dia mengisahkan, karena sang ayah adalah atase udara,
otomatis keluarga Tiya kerap berpindah-pindah. Dia pernah tinggal di
Australia sewaktu SD dan SMP. Dia juga pernah bersekolah di Bandung,
Jakarta, dan Surabaya.
Saat kuliah, dia mendapat beasiswa dari Lester B Pearson College,
Canada. Tempat kuliahnya itu merupakan bagian dari United World College
yang dikenal sebagai sekolah perdamaian dunia yang diketuai Pangeran
Charles.
Karena bersekolah di sekolah bergengsi, sebagai mahasiswi, Tiya
sempat diwawancarai oleh TVRI.
Ternyata mantan Direktur Utama TVRI Sumita Tobing tertarik. Dia meminta
Tiya agar melamar sebagai reporter di TVRI setelah lulus. Lima tahun
menjadi reporter, Tiya lantas menjadi news anchor.
Tiya mengatakan, honor awalnya sebagai MC adalah Rp 200 ribu. Kalau
sekarang" Tiya enggan menjawab. "Ada lah. Yang jelas, pada zaman Pak
SBY, terus naik (honornya). Saya berterima kasih sekali karena sudah
dipercaya," ujarnya.
Follow @wisbenbae