Kobe adalah sebuah kota di tepi laut yang merupakan salah satu pelabuhan utama Jepang sejak dahulu. Bahkan, pernah ada suatu masa ketika di Kobe-lah berpusat tempat tinggal dan industri orang-orang asing di Jepang. Tak heran bila kota ini diwarnai jejak-jejak kebudayaan yang campur-aduk namun harmonis, mulai dari Eropa, Cina, India, Muslim, bahkan Yahudi. Meski sempat hancur akibat gempa besar pada tahun 1995, Kobe kini telah bangkit kembali menjadi kota yang cantik dan patut dikunjungi bila Anda menyambangi daerah Kansai.
Saya tiba di Stasiun Sannomiya ketika hari sudah siang. Tak pelak stasiun yang besar dan sedemikian banyaknya orang yang berlalu lalang membuat saya kehilangan arah. Ke mana saya harus berjalan, bila ingin mengunjungi bangunan-bangunan tua yang menjadi kekhasan Kobe? Saya pun mendekati satu dari sejumlah peta kota yang dipasang di sekitar stasiun. Saat sedang memicing-micingkan mata mencoba menentukan lokasi dan rute, seorang pria mendekati saya.
“Mau ke mana?” Ia bertanya dalam bahasa Inggris.
Saya kaget dan, jujur, saya langsung waspada. Curiga. Bagaimana kalau dia orang yang senang menipu turis? Kenapa sok akrab sekali?
Entahlah, mungkin pria itu menyadari mimik saya yang melintaskan keraguan. Ia lekas menunjukkan sebuah kartu yang dicantolkan ke lanyard di lehernya.
“Saya pemandu wisata. Saya akan tunjukkan jalan.”
Oh. Astaga. Tiba-tiba saya merasa sangat jahat. Dan malu.
Ternyata pria ini adalah salah seorang pemandu yang ditugaskan berjaga di sekitar stasiun, siap menunjukkan jalan kepada para pengunjung baru di Kobe.
“Saya mau ke masjid,” jawab saya, mengingat saat itu sudah masuk waktu Zuhur.
“Oh, kalau begitu – lihat gedung yang di sana itu? Nanti Anda jalan ke bla… bla… bla…” Dengan sigap dan terang, sang pemandu pun menjelaskan rute yang harus saya tempuh.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya pun meninggalkan stasiun, mengikuti arahan dari sang pemandu. Saya pun menyusuri jalan demi jalan Kobe yang kecil-kecil—umumnya hanya pas untuk dua mobil—di tengah dingin yang menerpa. Mata dimanjakan bangunan-bangunan cantik, yang terkadang sedemikian Eropa sehingga sejenak saya lupa saya berada di Jepang.
Sambil berjalan, saya menyadari bahwa jalanan yang saya tapaki agak menanjak. Bagian Kobe yang ini memang berada di perbukitan. Sebagian objek wisata bahkan terletak sedemikian tinggi, bisa membuat kewalahan orang yang tidak terbiasa banyak berjalan, apalagi mendaki. Jadi ini saran saya bila ke Kobe: pastikan sepatu yang Anda kenakan nyaman, dan kondisi fisik Anda juga sedang bagus!
Sebagai kota internasional, di Kobe pun terdapat komunitas Muslim. Bahkan di kota inilah terletak masjid paling tua di Jepang, yang berdiri sejak OKtober 1935. Komunitas Muslim-nya juga kabarnya cukup giat beraktivitas keagamaan. Hanya saja kebetulan hari itu, ketika saya tiba, masjid sedang sepi sekali. Tidak ada siapa-siapa. Hanya dengan kepercayaan bahwa yang namanya masjid bebas dimasuki orang yang hendak beribadah, saya membuka pintu samping yang tertutup dan masuk ke apa yang sepertinya merupakan ruang penyambutan tamu. Ada lorong ke kiri dan ke kanan, serta tangga ke atas. Semua sepi. Sedikit aneh rasanya.
Lantai seperti bangunan Jepang tradisional pada umumnya, agak ditinggikan, dengan area yang lebih rendah di depan pintu sebagai tempat melepas alas kaki. Di ruangan itu ada semacam meja resepsionis, tapi tidak ada siapa-siapa. Sebuah buku tamu terpentang di atas meja itu, didampingi sepiring kurma dan kue manis khas Timur Tengah. Saya mencicipi satu. Udara musim dingin telah membuat kurma keras dan mengkerut, tapi rasa manisnya masih terasa di lidah.
Berdasarkan insting juga saya lantas menaiki tangga, mencari area salat untuk perempuan. Ternyata benar, memang di lantai dua letaknya. Ruang tempat mengambil wudu lengkap fasilitasnya, termasuk sandal jepit. Toiletnya jongkok, dilengkapi dengan air untuk membilas. Tidak ada air panas, sehingga wudu pun terasa sangat menggigit!
Di area salat juga tidak ada siapa-siapa. Entahlah apa tadi ada salat berjamaah atau tidak. Saya pun salat dengan mukena yang tersedia.
Usai beribadah, saya pun meninggalkan masjid. Tepat di depannya saya melihat dua orang pria yang sedang asyik berfoto. Tampang mereka Melayu. Kalau tidak Indonesia, pasti Malaysia nih. Benar saja. Mereka orang Malaysia. “Sudah sembahyang?” tanya mereka. Kami pun mengobrol sedikit. Mereka juga membantu memotret saya di depan masjid. (Inilah susahnya bepergian sendirian: harus cari orang lagi untuk mengambilkan foto kita!)
Rupa-rupanya mereka datang bersama rombongan. Dari kejauhan, tampak sejumlah pria Malaysia lain sedang mendekat, hendak salat juga di masjid Kobe. Saya pun pamit, memisahkan diri. Tepatnya saya ke seberang jalan. Pas di seberang masjid ada sebuah toko yang menjual bahan makanan halal, yang berasal dari Indonesia sampai Turki. Kecap dan mi instan Indonesia, bumbu masak Malaysia, makanan beku India, manisan Turki, ada semua. Saya pun membeli dua kotak makanan instan India. Lumayan buat disantap di penginapan.
Dari masjid, saya kembali menelusuri jalan. Kali ini menuju kawasan tempat berdirinya sejumlah rumah tua bergaya barat yang dikenal sebagai ‘Ijinkan’ di Kitano-cho, di kaki pegunungan Rokko. Ada sembilan rumah utama yang dijadikan museum dan bisa dikunjungi dengan harga tiket terusan 3.500 yen. Kalau beli tiket hanya untuk satu-dua rumah, rasanya sayang, karena untuk satu rumah saja harganya 300, 500, atau 700 yen. Saya sih optimistis saja, bisa mendatangi kesembilan rumah tersebut sekaligus di sisa sore hari itu. Selain kesembilan rumah yang dijadikan museum, ada sejumlah bangunan atau rumah lain yang juga dilestarikan, entah itu sebagai milik pribadi, restoran, ataupun toko, seperti Danish House, Austrian House, Dutch House, Italian House.
Kesembilan rumah yang merupakan bagian dari tiket kombinasi:
Panama House
Rhine House
Uroko House dan Uroko Museum
Yamate Hachibankan
Kitano Foreigners’ Association
Bekas Konsulat Cina
Ben’s House
French House
England House
Di dalam setiap rumah ini tersimpan koleksi benda seni dan antik yang berbeda-beda. Ada yang berfokus pada produk budaya negeri-negeri jauh, ada yang memajang barang-barang impor dari Inggris dahulu kala.
Saya mendatangi loket penjualan tiket yang berada di depan Panama House. Penjaga loketnya tidak bisa berbahasa Inggris, namun ia tetap menjelaskan kepada saya dengan tenang dan lugas dalam bahasa Jepang. Nah, inilah salah satu hal yang saya kagumi dari para petugas di Jepang yang bergerak di bagian pelayanan seperti ini. Kadang-kadang mereka tidak mengerti bahasa asing, sehingga tetap akan berbicara dengan bahasa Jepang kepada kita, bukan tergagap-gagap dalam bahasa Inggris seadanya. Sewaktu ditegur polisi di Takarazuka, mereka juga hanya berbahasa Jepang ke saya. Namun entah bagaimana, dari nada dan gerak-gerik mereka yang sopan serta lugas, kita jadi bisa mengerti kurang-lebihnya yang mereka maksudkan apa.
Ia memberikan peta kesembilan rumah yang lantas ia gunakan untuk menerangkan kepada saya ke mana saja saya harus berjalan. Sang petugas juga memberikan sebuah buku ‘paspor’ Kobe untuk mengumpulkan cap di kesembilan rumah yang saya datangi. Kalau lengkap dapat kesembilan capnya, di rumah terakhir (Panama House) akan ada hadiah, lho! Selain itu, sang petugas memberikan juga selembar kertas untuk bermain mencari Sinterklas di kesembilan rumah. Sayangnya saya tidak sempat dengan serius berusaha menjalankan permainan ini.
Rumah pertama yang saya kunjungi adalah Rhine House. Dari sini saja, saya sudah harus menempuh perjalanan menanjak, melewati undak-undakan. Whew… untung juga saya pergi di saat cuaca sedang dingin, sehingga tidak terlalu menguras keringat. Kalau ini musim panas, pasti saya sudah bersimbah peluh sedari tadi. Di Rhine House ini ada toko suvenir yang lucu-lucu, antara lain memajang sejumlah kartu pos karya desainer Jepang. Saya pun tergoda membeli beberapa lembar.
Keluar dari Rhine House, saya kembali mendaki melewati anak-anak tangga dan jalan-jalan sempit. Memang cukup melelahkan, tapi perasaan tertarik dan bersemangat membuat saya tidak terlalu memikirkan rasa capai yang mulai menerjang kaki dan punggung. Hanya saja… kok banyak pasangan bergandengan tangan yah di kawasan ini? Bikin iri orang yang lagi berkelana sendirian saja, hehehe!
Sebelum ke bangunan kedua, saya terlebih dahulu melipir ke Weathervane House, salah satu bangunan tua ternama juga di Kobe. Kekhasannya adalah petunjuk arah angin berbentuk ayam jago di pucuk atapnya. Saya tidak sampai masuk, hanya berfoto-foto di depannya saja, di sebuah pelataran berbentuk setengah lingkaran yang bagaikan balkon tempat kita bisa melihat pemandangan Kobe di bawah.
Dari Weathervane House, saya menuju Uroko House alias ‘Rumah Sisik Ikan’. Namanya diperoleh dari bentuk atapnya. Wah wah… terlihat beberapa tiruan Sinterklas bergelantungan di menara dan di atapnya. Lucu sekali.
Di depan rumah ini ada sebuah bangunan kecil yang berfungsi sebagai toko suvenir dan tempat makan. Sementara bagian dalam bangunan utama difungsikan sebagai museum yang antara lain memajang lukisan-lukisan karya seniman-seniman terkemuka.
Dan di lantai paling atas, jendela-jendela besar menawarkan pemandangan leluasa ke arah bagian Kobe yang terletak lebih dekat ke laut.
Rumah berikutnya adalah Yamate Hachibankan, di mana tersimpan patung-patung karya sejumlah empu seperti Rodin dan Renoir, juga koleksi patung dan ukiran budaya Afrika dan agama Buddha.
Agak seram juga sih suasananya, entah mengapa. Oya, di sini ada sepasang singgasana berbantalan merah yang mengapit salah satu pintu. Konon bila kita duduk di situ dan memanjatkan harapan, harapan kita akan terkabul. Ada yang mau iseng-iseng mencoba?
Perjalanan masih menanjak lagi. Kali ini menuju Kitano Foreigners’ Association. Rumahnya tidak seberapa besar, namun di dalamnya kita bisa melihat contoh dapur kuno rumah ala Barat zaman dahulu, lengkap dengan segala perlengkapan masak yang digunakan di zaman itu.
Tak seberapa jauh dari situ, ada bekas Konsulat Cina, yang tentu saja banyak memajang perabotan, keramik, dan barang-barang lainnya yang bergaya Cina. Bahkan sampai kamar mandi pun terasa sekali suasana Cina-nya.
Perjalanan mendaki berakhir. Kini giliran menggelinding menuruni gunung. Ini juga lumayan curam jalannya. Waduh, salut banget deh kepada yang tinggal di kawasan ini. Setiap hari bolak-balik melewati lereng ini pasti bikin otot dan paru-paru mereka kuat!
Selain Kitano Foreigners’ Association, rumah yang juga menimbulkan perasaan kurang enak adalah Ben’s House. Rumah ini tadinya milik Ben Allison, seorang pemburu. Tak heran di rumah ini banyak dipajang hasil buruan yang sudah diawetkan. Rasanya kok ya agak seram saja, sekaligus kasihan, melihat hewan-hewan yang mati namun tampak demikian hidup itu. Saya tidak tahan lama-lama dan memilih lekas-lekas keluar.
Sementara di French House, selain mengagumi perabotan, kita bisa melihat sejumlah koleksi langka seperti seperangkat koper Louis Vuitton buatan Prancis yang terkenal karena kualitasnya. Tapi French House ini masih kalah menarik dibandingkan rumah berikutnya, England House.
England House tak hanya menampilkan perabot antik dari abad kedua puluh. Di sini juga terdapat dua bar berinterior unik, dan sebuah museum kecil tempat menyimpan memorabilia Sherlock Holmes di lantai dua. Museum kecil itu ditata seperti kamar tidur Holmes, lengkap dengan biolanya, kursi malasnya, bahkan manekin serupa sosoknya yang menghadap jendela. Tak heran banyak penggemar Sherlock Holmes mendatangi rumah ini. Kita juga bisa berfoto mengenakan jas dan topi khas Holmes.
Saya kembali ke titik semula, yaitu Panama House. Di depan bangunan ini, setelah menunjukkan kesembilan cap yang kita peroleh di pintu masuk masing-masing rumah, kita pun dipersilakan mencoba keberuntungan mengambil undian untuk memperoleh suvenir Kobe. Peruntungan saya rupanya ‘hanya’ berupa sebatang pulpen. Tapi lumayanlah! Hadiah kecil begini juga membuat petualangan menyusuri kesembilan rumah lebih berkesan.
Sambil menunggu waktu Magrib, saya berjalan-jalan saja menyusuri Kitano yang permai. Tadinya mau mencicipi kopi di salah satu dari sekian banyak kafe yang cukup besar, tapi kok rata-rata ramai ya. Saya juga tidak mau mendatangi kedai kopi internasional, yang bisa saya temui di berbagai kota dan negara. Saya lebih memilih mencari kafe setempat yang menawarkan racikan kopi sendiri. Pandangan saya tertumbuk pada sebuah kafe kecil yang tampaknya menarik. Buffo namanya, terselip di antara sejumlah bangunan lain. Dari penampakan depannya pun kafe ini terlihat hangat dan mengundang, bagaikan sebuah rumah bergaya pedesaan di Amerika.
Saya pun melangkah masuk dan langsung terkesima. Waaaah, kafe ini sangat nyaman! Berbagai pernak-pernik ‘rumahan’ ditata dengan menarik, dan menimbulkan kesan akrab. Seperti betul-betul melangkah masuk ke sebuah rumah yang pemiliknya menyambut kita dengan ramah. Bahkan ada seekor anjing kecil berpakaian lucu yang sedang tidur di lantai. Ia menggonggong sedikit, namun tidak galak kok!
Saya mengambil tempat duduk di hadapan sebuah meja yang bagian atasnya diganti kaca, sehingga kita bisa melihat berbagai peralatan menjahit seperti kancing dan benang yang dipajang di bagian dalam meja. Saya memesan secangkir kopi dan pai apel. Ibu-ibu yang melayani sangatlah ramah. Bahasa Inggrisnya terbatas (sementara bahasa Jepang saya terbatas), sehingga kami pun terbata-bata bercakap-cakap. Ia menanyakan apakah saya sedang liburan, dan saya berasal dari mana. Kebetulan ada peta dunia tergantung di dinding. Saya pun menunjuk Indonesia. Saya juga jelaskan bahwa adik saya kebetulan sedang berkuliah di Tokyo, dan saya ada di Jepang saat itu antara lain untuk mengunjunginya. Si ibu pun memuji adik saya. Percakapan ramah ini membuat saya semakin terkesan saja kepada kafe kecil itu.
Setelah membayar dan berpamitan, saya keluar kembali ke jalanan Kobe, yang kini sudah mulai gelap. Maklumlah musim dingin, matahari terbenam cepat sekali. Saya kembali ke masjid untuk salat. Kelar tunaikan salat Magrib, saya menyadari bahwa di masjid ini saya mendengar sesuatu yang rasanya baru sekali itu saya dengar di kawasan perumahan di Jepang: gelak-tawa nyaring dan sorak-sorakan anak-anak yang asyik bermain dan berlari-lari. Mungkin anak-anak itu habis mengaji di bagian belakang masjid.
Sebetulnya saya masih ingin berjalan-jalan di Kobe, namun yah…. Resikonya berjalan-jalan di musim dingin. Cuacanya sih enak, tapi toko-toko dan objek-objek wisata juga cepat tutupnya. Saya kembali ke Sannomiya untuk menaiki kereta kembali ke Osaka, meninggalkan lampu-lampu kota pertemuan antarbangsa sejak dahulu kala di belakang.
Sebetulnya saya masih ingin berjalan-jalan di Kobe, namun yah…. Resikonya berjalan-jalan di musim dingin. Cuacanya sih enak, tapi toko-toko dan objek-objek wisata juga cepat tutupnya. Saya kembali ke Sannomiya untuk menaiki kereta kembali ke Osaka, meninggalkan lampu-lampu kota pertemuan antarbangsa sejak dahulu kala di belakang.
sumber
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
Follow @wisbenbae