GuidePedia

1313857699699165219

Tak ada seorang temanpun yang mau saya ajak mengunjungi Roosevelt yang dianggap sebagai situs penting para ufologist yaitu orang-orang yang percaya pada UFO. Menurut teman saya UFO itu hanya gugontuhon alias tahayul. 

“Kamu itu mbok ya yang ilmiah gitu lho. UFO kan hanya rekayasa. Mana ada pesawat yang canggih dan makluk aneh yang bisa terbang kayak gitu. Kamu kebanyakan baca komik dan berkhayal.” kata salah seorang teman yang menolak saya ajak mengunjungi Roosevelt.
“Kamu percaya malaikat?” tanya saya.
“Ya kalau itu lain.” jawabnya singkat.
Saya sendiri antara percaya dan tidak percaya tentang keberadaan makluk luar angkasa. Percaya mungkin karena pengaruh komik, film, tv, berita koran, dan keadaan masyarakat yang mendorong orang percaya pada yang belum tentu ada. Juga pengalaman masa kecil yang aneh-aneh yang mirip dengan sebuah “encounter”, sebuah pertemuan dengan makluk asing nan aneh. Sebelum saya sekolah saya sering di rumah sendirian pada pagi hari saat orang tua saya bekerja. Pada saat itulah saya merasa sering dikunjungi makluk aneh yang bahasanya tidak saya pahami. Ketika saya bercerita kepada nenek saya katanya itu semacam hantu. Saya masih ingat bahasa dan wajah-wajah mereka. Seandainya saya mendengar bahasa itu lagi saya akan mengenalinya. Sampai sekarang saya tidak pernah lagi mendengar bahasa itu. Nada dan jenis suaranya mirip dengan bahasa Jepang.

Sesudah saya mulai sekolah makluk yang sebesar anak berumur 4 tahun yang selalu mengajak berbicara saya dari lubang di langit-langit kamar itu tidak pernah berkunjung lagi. Mungkin juga sebenarnya makluk itu hanya rekaan pikiran saya sendiri. Karena otak saya belum banyak terpakai maka kekuatan daya khayalnya sangat kuat sehingga khayalan saya tersebut sangat membekas di pikiran dan sangat nyata. Sehingga memori di dalam otak saya mempersepsikan sebagai realitas masa lalu.
 
“Mas Yudha…” sebuah suara mengejutkan saya ketika saya sedang mengamati tingkah para ufologist yang seperti orang-orang yang sedang menziarahi situs keramat atau suci dengan khidmatnya.
“Mas Zuma?” mata saya terbelalak dan mulut saya menganga.
“Iya mas. Nggak menyangka kalau bisa ketemu saya di sini ya?” katanya sambil tersenyum lebar dan matanya berbinar bisa bertemu teman sekampung di tempat yang jauh dan asing.

Mas Zu adalah penjual es lilin keliling di kampung kami. Dia hanya menamatkan SD sebelum menjadi penjual es. Setiap siang dia berkeliling dari kampung ke kampung sambil menenteng dua buah termos berwarna hijau kusam dengan tutup gabus coklat yang diganjal plastik yang sudah lusuh. Tangan kanannya selain memegang termos juga memegang sebuah klinthing, lonceng kecil yang dibunyikan sebagai penanda kehadirannya. Dia berkeliling dari kampung satu ke yang lain berjalan kaki karena tidak bisa naik dan memang tidak punya sepeda. Dia tinggal dengan ibunya di kampung bagian utara. Saya selalu ingat rumahnya yang berukuran kecil yang terletak di sudut pekarangan orang terkaya di kampung kami karena rumahnya sangat berbeda. Ketika semua rumah yang lain beratap genting dan berdinding bata, rumahnya berdinding bambu dan beratap daun tebu.

Rumah itu hanya ditinggali bersama ibunya. Orang sekampung tidak ada yang tahu siapa bapaknya. Bahkan ada yang sering berdesas-desus bahwa ayahnya adalah makluk halus yang bertempat tinggal di pohon randu alas besar yang angker di tengah kampung.

Selain rumahnya yang berbeda yang selalu saya ingat dari masa kanak-kanak tentang mas Zu yang umurnya hampir sama dengan kakak tertua saya adalah telinganya. Telinganya berbeda dari orang-orang lainnya. Ujung atas telinganya agak membengkok dan meruncing. Lebih mirip telinga Kapten Spock dalam film Star Trek. Telinga itulah yang langsung mengingatkan saya ketika dia menyapa tadi.

“Nggak nyangka bertemu saya di Amerika ya mas.” Ulangnya lagi seolah mengingatkan saya bahwa mulut saya masih menganga lebar dan mata saya masih terbelalak terkejut.

“Ceritanya panjang mas. Singkatnya, sesudah simbok meninggal saya mencoba mengadu peruntungan di kota-kota besar. Sampai akhirnya saya kerja serabutan di Surabaya. Tapi keadaan sama saja, nggak ada hasilnya, makan hanya Senin-Kamis. Akhirnya saya kembali jualan es lilin, kali ini di penyeberangan feri Banyuwangi-Gilimanuk. Nggak mungkin kembali ke kampung karena saya kalah sama penjual es krim yang keliling pakai becak.” dia berhenti sejenak, menghela nafas panjang seakan ada kebencian, kekalahan, namun juga kepasrahan.

“Pada suatu hari saya bertemu satu keluarga Amerika yang kerja di konsulat di Surabaya. Mereka sering berlibur ke Bali dan saya beberapa kali bertemu dengan mereka. Mereka suka rasa es lilin saya dan kami mempunyai banyak kecocokan. Ketika bapaknya pensiun mereka kembali ke Amerika dan mendirikan restoran yang menjual es krim dan es lilin juga. Saya lalu diangkat anak dan diajak kesini.” Ada sebuah senyum terpampang di wajahnya yang kini sudah tidak muda lagi. Telinganya yang bengkok dan meruncing terangkat waktu dia tersenyum lebar.

“Itu bapak dan adik angkat saya.” katanya sambil menunjuk seorang lelaki berambut putih yang mungkin berusia 75an. Di sampingnya seorang laki-laki mungkin seumuran saya sedang sibuk di belakang mesin kasir. Ada yang sama di antara keduanya telinganya bengkok dan meruncing di bagian atasnya.


Beli yuk ?

 
Top