Jalanan malam yang basah menyambut kedatangan kami di Gion, sebuah distrik di Kyoto yang terkenal dengan Geisha-nya. Hujan yang mengguyur Kyoto seharian, membuat kami pesimis bisa menjumpai Geisha malam hari itu. Hingga sebuah suara langkah kaki terdengar keluar dari gang kecil, bergerak mendekati kami.
“Kuntilanaaaak!”
“Bukan, walaupun mukanya putih dan make-up-nya tebal tapi kakinya napak kok.”
“Syahriniiiiii!!”
“Bukan, walaupun berjambul tinggi tapi dia gak bawa Lady Bag Dior.”
Wanita dengan kimono cantik yang dikenakannya berjalan dengan cepat, di bawah payung tradisional khas Jepang yang digunakannya untuk berlindung di bawah rintik gerimis. Aura dari wanita tersebut membuat jantung kami berhenti selama beberapa saat, sebelum memompa darah kembali. Dan karena gerakannya yang cepat, kami tak memiliki kesempatan untuk mengambil gambarnya, ataupun berpikiran bahwa wanita itu merupakan paduan sempurna keanggunan khas Jepang dan betis Carl Lewis.
“GEISSHAAAAAA!!!”
…
……
Geisha, merupakan wanita penghibur khas Jepang — in a good way, commonly – yang dibekali dengan berbagai keahlian seperti menyanyi, memainkan alat musik, menari, menyajikan teh khas Jepang, hingga memerankan film Memoirs of a Geisha. Sejak abad ke-18, Geisha telah dikenal sebagai penghibur — walaupun, profesi Geisha pada awalnya diperankan oleh lelaki — untuk melayani para klien dengan keahlian mereka (menari, menyanyi, memainkan alat musik), yang lebih dikedepankan daripada – anggapan kebanyakan orang – sex service.
Untuk menjadi Geisha — yang merupakan profesi paling elit dari penghibur di Jepang, dan menghasilkan penghasilan yang tinggi — dibutuhkan pelatihan yang tak sebentar. Pelatihan menjadi Geisha ini, dimulai dari usia muda — biasanya dimulai, saat perempuan berusia di bawah sepuluh tahun — dan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Para wanita muda — yang disebut juga dengan Maiko –, akan di-training di sebuah rumah pelatihan yang bernama Okiya, yang menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan Maiko, seperti makanan, tempat tinggal, pengetahuan, dan keahlian untuk melayani klien nantinya. Dan karena biaya pelatihan yang mahal, maka para Maiko ini akan memiliki kasbon (baca: utang) di Okiya, yang akan dibayarkan dari penghasilan yang diperolehnya kelak.
Seorang Maiko, mengawali pelatihannya dengan minarai, atau learning by doing, atau belajar dengan melakukan. Saat melakukan minarai, seorang Maiko dipandu oleh seorang Geisha senior, yang akan memberi contoh bagaimana seorang Geisha bekerja (di luar kamar). Maiko ini, kelak akan diangkat menjadi Geisha saat telah akil baligh dan berumur antara 20 – 22 tahun.
……
…
“Kuntilanaaaak!”
“Bukan, walaupun mukanya putih dan make-up-nya tebal tapi kakinya napak kok.”
“Syahriniiiiii!!”
“Bukan, walaupun berjambul tinggi tapi dia gak bawa Lady Bag Dior.”
Wanita dengan kimono cantik yang dikenakannya berjalan dengan cepat, di bawah payung tradisional khas Jepang yang digunakannya untuk berlindung di bawah rintik gerimis. Aura dari wanita tersebut membuat jantung kami berhenti selama beberapa saat, sebelum memompa darah kembali. Dan karena gerakannya yang cepat, kami tak memiliki kesempatan untuk mengambil gambarnya, ataupun berpikiran bahwa wanita itu merupakan paduan sempurna keanggunan khas Jepang dan betis Carl Lewis.
“GEISSHAAAAAA!!!”
…
……
Geisha, merupakan wanita penghibur khas Jepang — in a good way, commonly – yang dibekali dengan berbagai keahlian seperti menyanyi, memainkan alat musik, menari, menyajikan teh khas Jepang, hingga memerankan film Memoirs of a Geisha. Sejak abad ke-18, Geisha telah dikenal sebagai penghibur — walaupun, profesi Geisha pada awalnya diperankan oleh lelaki — untuk melayani para klien dengan keahlian mereka (menari, menyanyi, memainkan alat musik), yang lebih dikedepankan daripada – anggapan kebanyakan orang – sex service.
Untuk menjadi Geisha — yang merupakan profesi paling elit dari penghibur di Jepang, dan menghasilkan penghasilan yang tinggi — dibutuhkan pelatihan yang tak sebentar. Pelatihan menjadi Geisha ini, dimulai dari usia muda — biasanya dimulai, saat perempuan berusia di bawah sepuluh tahun — dan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Para wanita muda — yang disebut juga dengan Maiko –, akan di-training di sebuah rumah pelatihan yang bernama Okiya, yang menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan Maiko, seperti makanan, tempat tinggal, pengetahuan, dan keahlian untuk melayani klien nantinya. Dan karena biaya pelatihan yang mahal, maka para Maiko ini akan memiliki kasbon (baca: utang) di Okiya, yang akan dibayarkan dari penghasilan yang diperolehnya kelak.
Seorang Maiko, mengawali pelatihannya dengan minarai, atau learning by doing, atau belajar dengan melakukan. Saat melakukan minarai, seorang Maiko dipandu oleh seorang Geisha senior, yang akan memberi contoh bagaimana seorang Geisha bekerja (di luar kamar). Maiko ini, kelak akan diangkat menjadi Geisha saat telah akil baligh dan berumur antara 20 – 22 tahun.
……
…
Malam hari di Gion
Perburuan geisha kami terus berlanjut dengan menyusuri jalanan Hanami Koji yang penuh dengan restoran dan ochaya (tempat minum teh khas Jepang) yang malam hari itu tak begitu ramai, mungkin karena hujan, atau tanggal tua. Di sinilah terdapat restoran, kafe, dan ochaya yang paling eksklusif dan mahal seantero Jepang, karena menyediakan jasa pelayanan Geisha dan Maiko di dalamnya.
Sebagai traveler yang berkocek pas-pasan, kami pun memutuskan untuk tidak masuk ke situ, dan hanya menunggu Burespang (Bubaran Restoran Jepang, kata Moammar Emka) keluar. Namun, yang ditunggu pun tak kunjung datang, dan kami pun memutuskan berbalik arah, menuju Shijo Street.
Tepat di ujung jalanan Shijo Street, kami mendengar suara wanita yang sedang mengobrol dalam bahasa Jepang dengan beberapa lelaki. Kami mendekat, dan mendapati tiga orang Jepang berjas, sedang berbicara dengan seorang Geisha.
DEG!
Kamera telah siap di tangan, namun keberanian saya mengambil gambar runtuh seketika, entah karena merasa tak sopan, atau takut dikepruk payung, juga mengatasi kemungkinan bahwa pria-pria tersebut adalah sekelompok Yakuza yang menyembunyikan tatonya di balik jas.
Kesempatan pun lewat lagi, dan kami memutuskan menyeberang jalan, menuju Gion Shijo.
…
……
Kotak pos di Gion
Salah satu lokasi terkenal di Gion terletak di antara Shijo Street dan Kenninji Temple dan bernama Hanami Koji, — seperti yang sudah disebutkan di atas — yang berisikan restoran, kafe, dan ochaya yang ramai dikunjungi orang pada malam hari. Yang menarik di sini adalah, hampir semua bangunan masih memiliki desain klasik rumah Jepang, dengan kayu yang menjadi bahan baku pembuatan rumah. Berada di sini, seolah membuat kita merasakan bahwa mesin waktu Doraemon telah membawa kita kembali mundur ratusan tahun lalu.
Hanami Koji
Sekilas, rumah-rumah di sini kelihatan sempit jika dilihat dari depan yaitu sekitar lima sampai enam meter, namun jika ditilik lebih jauh, panjangnya bisa mencapai sepuluh meter lebih ke belakang dan beberapa memiliki lebih dari satu lantai. Di pagi hari, kamu bisa menjumpai orang-orang memulai aktivitas hariannya, seperti menyiapkan tokonya untuk aktivitas di malam hari, melihat pengantar bir yang mengantarkan pesananannya, menyaksikan pengangkut sampah membersihkan botol-botol bir sisa semalam dan hanya hipster yang jogging di sini.
See, I’m a hipster.
Di ujung jalan ini, kamu bisa menjumpai Gion Corner, yaitu sebuah rumah hiburan yang menyajikan pertunjukan Maiko setiap harinya. Di sini, kamu bisa menyaksikan para Maiko beraksi membawakan tujuh macam kesenian khas Jepang, selain harakiri dan dorayaki. Yang paling terkenal di sini (katanya) adalah Kyo-Mai Dance — tarian tradisional yang berasal dari Kyoto — yang dibawakan oleh para Maiko. Pertunjukan berlangsung selama 2x setiap harinya, yaitu pukul 18:00 dan 19:00. Biaya masuk ke Gion Corner, cukup mahal yaitu ¥3.150 untuk dewasa yang berusia di atas 22 tahun.
……
…
Gion Shijo
“Pokoknya, kali ini tak boleh lolos lagi!” Ucap saya dalam hati, menyemangati diri sendiri.
Perburuan blusukan kami di Gion Shijo dilakukan dengan menyusuri gang demi gang kecil yang ada, dengan payung bening di tangan, tas kecil di punggung, dan kamera tergantung di leher, kami lebih mirip dengan model video clip AB Three – Kerinduanku daripada Pasukan Pemburu Geisha. Di Gion Shijo juga terdapat banyak kafe-kafe dan restoran khas Jepang, cuma dengan nuansa yang lebih modern. Sesekali tawa canda dan desahan manja terdengar dari dalam restoran, dan membuat kami berpikir, ada apakah di balik sana.
“Bro, lihat bro, ada Geisha!” ujar Rico dengan menunjukkan jarinya.
Saya memperhatikan ke arah yang ditunjuk, seorang Geisha berjalan dengan cepat ke arah kami. Seolah tahu akan difoto, dia pun berjalan semakin cepat.
“KLIK!” Saya membidiknya dengan kamera, dan hasilnya blur.
Huft. Dan kami pun berjalan lagi.
Dua orang Geisha berada di ujung jalan, berjalan mendekat ke arah kami sambil mengobrol. Saya mengatur zoom pada kamera, bersiap membidik, dan mereka — yang seolah punya indra keenam — menutupi mukanya dengan sebelah tangan, dan buru-buru berbelok ke gang terdekat.
“KLIK!” Bidikan telah dilakukan, hasilnya jalanan kosong.
Huft. Kami pun mulai putus asa dan memutuskan untuk berjalan kembali ke Shijo Street sebelum kembali ke penginapan. Pada ujung belokan terakhir sebelum Shijo Street, kami mendengar ada suara langkah kaki yang berjalan mendekat dari belakang di kejauhan, “kecipak kecipuk” bunyinya. Seorang geisha berjalan di bawah payung dengan cepat.
Saya yang tak ingin menyia-nyiakan momen ini pun segera mengatur setting kamera pocket pada night mode – persetan dengan resolusi yang rendah dan bintik-bintik yang mungkin timbul karena penggunaan ISO tinggi, pokoknya saya ingin mendapatkan penampakan seorang geisha — dan menyusun sebuah rencana.
“Co, kamu berdiri di ujung gang ini, nanti pura-puranya aku motoin kamu ya.”
“Siap bro.”
“Nanti ketika geishanya mendekat, aku bakal moto dia, kamu cuma sebagai pengalih perhatian aja biar dia gak curiga.”
“Siap bro.”
Suara langkah kaki semakin mendekat, tombol shutter telah saya tekan separuh untuk mendapatkan fokus yang pas, dengan Rico sebagai foreground. DEG! Jantung saya semakin berdetak tak beraturan seiring dengan bunyi langkahnya yang semakin mendekat. Sekarang bunyinya “KECIPAK KECIPUK!”
“Siap Co?”
“Siap bro.”
Dan, 3, 2,1.
“KLIK!” Saya membidik seorang wanita berpayung yang melintas beberapa meter di belakang Rico, dan inilah hasilnya.
Penampakan Geisha dan Rico (harap abaikan Rico)
“KLIK!” Sekian kisah perburuan geisha saya, semoga berkenan.
“Siap bro.”
PS: Sorry Momo Geisha, because I’m not mentioning you on this post.
Wait, what have I just done?
“Siap bro.”
PS: Sorry Momo Geisha, because I’m not mentioning you on this post.
Wait, what have I just done?
Geisha andalan keluarga....