Marienplatz Town Hall, foto oleh Jimmy Syahirsyah
Munich atau Munchen berasal dari kata “Munch” yang berarti biksu atau pendeta. Satu fakta yang menarik dari kota ini adalah bir. Bukan dari rasa saja, namun dari sejarah dibalik pembuatannya. Ketika orang-orang Eropa bermigrasi ke Munich untuk belajar teologi, kota ini dipenuhi para pendeta/calon pendeta. Bahkan penentuan lokasi pembangunan gedung-gedung di pusat kota disesuaikan dengan letak gereja terbesar di sana. Sebagai calon pendeta, hal-hal yang berbau duniawi tentu saja dilarang, kecuali minum bir. Para calon pendeta ini kemudian menciptakan bir mereka masing-masing dan diberi nama sesuai dengan “pemimpin” mereka. Paulaner untuk pengikut Santo Paul dan Agustiner untuk pengikut Santo Agustin. (Paulaner Brauhaus bisa ditemui di East Mall Grand Indonesia, Jakarta).
Sampai sekarang, baik Paulaner maupun Agustiner merajai pasar bir di Munich. Di pusat kota Munich, Marienplatz, restoran khas Bavaria, Agustiner, menggunakan gedung bekas seminari masih lengkap dengan patung-patung kayu malaikat. Saya ditemani seorang wartawan kenalan saya, Sonja Gibis. Dialah yang menceritakan kisah di balik restoran tersebut.
Foto oleh Dita Ramadhani
Sebagai sebuah kota, Munich merupakan kota tua yang sangat rapi dan “berkelas”. Bayangkan saja betapa kagetnya saya ketika naik taksi Toyota hybrid Prius. Di Indonesia yang punya mobil ini masih sangat jarang. Di sana armada taksi menggunakan mobil-mobil mewah keluaran VW, Mercedes, BMW dan Volvo. Nyaman? Pasti!
Satu pengalaman menarik yang saya dapati di kota Munich adalah “para peselancar” sungai. Di Eisbach, sebelah Haus der Kunst ada sebuah jembatan yang dilewati sungai buatan. Entah tahun berapa sebuah bendungan dibangun. Akibat aliran sungai yang deras, bendungan itu menjadi semacam tembok yang membuat air sungai “terbentur” dan kembali ke arah air datang. Di titik inilah, orang-orang mulai mendapat ide untuk berselancar di sungai. Yang lebih gila lagi, suhu air sungai tersebut bisa mencapai empat derajat celcius atau lebih rendah dari itu. Para peselancar wajib menutupi seluruh bagian badan mereka.
Pegunungan Alpen, foto oleh Jimmy Syahirsyah
Selain menjelalah kota Munich dan beberapa museum seperti Alte Pinakhotek dan Pinakhotek der Moderne, saya menyempatkan diri ke Mittenwald, sebuah kota perbatasan Jerman dan Swiss. Yang menarik di sana tentu saja pegunungan Alpen. Waktu kecil salah satu buku favorit saya adalah Heidy dari Alpen. Saya selalu membayangkan pegunungan Alpen yang dingin, penuh domba, rerumputan, serta bunga-bunga kecil. Citra pegunungan Alpen begitu identik dengan salju dan dingin. Ketika saya berkunjung ke sana, Alpen masih hijau, hanya puncak-puncaknya yang mulai memutih oleh salju.
Hari Gereja, foto oleh Jimmy Syahirsyah
Udara hari itu cukup hangat. Yang saya sayangkan saya datang di hari gereja. Kota itu sepi, hampir semua toko dan restoran tutup, penduduk berada di gereja untuk berdoa meminta kebaikan untuk keluarga atau kenalan mereka yang sudah tiada. Saya tidak patah semangat dan tetap berjalan ke atas, berharap kantor turis dan kereta gantung beroperasi. Sesampainya di atas, parkiran kantor penuh mobil, namun kereta gantung tidak bergerak. Ada alur jalan ke atas untuk para wisatawan yang ingin melanjutkan ke sisi yang lebih tinggi. Tapi saya tidak mencoba naik karena harus mengejar kereta pulang ke Munich yang memakan waktu hampir 3 jam. Jadi, yang saya lakukan adalah duduk-duduk memandang ke bawah. Melihat penduduk kota yang berpakaian serba hitam khusus hari itu, berkumpul di town hall dan berdoa. Pemandangan yang langka bagi saya.
Satu catatan penting jika berpegian ke Munich: urus multiple schengen visa! Dari Munich, Anda bisa ke Italia dengan kereta selama tiga jam dan Austria satu jam saja. Saya harus cukup puas dengan visa single entry dan melihat kemungkinan jalan-jalan menarik di luar kota Munich tapi tetap berada di dalam Jerman.
Sebelum pulang ke tanah air, saya memutuskan ikut tur ke kastil Neuschwanstein di Schwangau. Kastil inilah yang menginspirasikan Walt Disney menciptakan kastil Putri Tidur Aurora atau Kastil “Disney” yang selalu kita lihat di setiap film dan publikasi keluaran Disney. Saya tetap semangat menjelajah kastil meskipun hujan gerimis dan berkabut sepanjang hari. Ludwig II, raja yang memerintahkan pembuatan kastil tersebut adalah seorang eksentrik, individualis, homoseksual, dan kematiannya masih menjadi misteri hingga kini.
Kata teman jurnalis saya yang asli warga Munich, dibandingkan kastil lain di Eropa, Neuschwanstein adalah kastil “maksa”. Kastil ini dibangun saat Bavaria sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga banyak memakai materi bangunan berkualitas menengah dan rendah. Ludwig II ingin mempersembahkan Neuschwanstein untuk teman baik sekaligus komposer terkenal asal Jerman, Richard Wagner. Ludwig II seorang pecinta opera. Cerita yang paling disukainya adalah Tristan dan Isolde (kisah cinta tragis yang mirip Romeo dan Juliet). Di kamar tidur sang raja ada mural yang bercerita mengenai Tristan dan Isolde dari awal hingga akhir cerita. Dia memiliki satu ruangan opera di dalam kastil. Penyanyi opera saat itu umumnya bertubuh besar dan subur. Sang raja menganggap hal itu tidak indah. Dia selalu memerintahkan penyanyi opera tidak beraksi di atas panggung. Mereka harus menyanyi dari balik layar atau sisi lain yang tertutup. Ludwig II juga tidak suka bertemu orang lain. Dia membuat sistem meja makan mekanik yang memungkinkan meja berisi makanan lengkap bisa ditarik muncul ke kamar tidurnya lewat lantai kamar. Sayang para pengunjung tidak diperkenankan memotret bagian dalam kastil, tidak ada gambar untuk memperlihatkannya.
Disunting oleh ARW 08/02/2011
Post a Comment Blogger Facebook