Dalam kesehariannya, Ibu Lies Lestari Pangestu merasa jauh lebih leluasa bergerak di Australia ketimbang di Indonesia. Ia bebas berjalan-jalan ke pusat kota, menonton film, berbelanja, dan membaca di toko buku seharian. Kebebasan Ibu Lies di Indonesia bukanlah terkungkung oleh norma atau hukum.
Masalahnya, Ia menggunakan kursi roda, dan banyak gedung dan fasilitas transportasi di Indonesia yang belum mendukung pengguna kursi roda seperti dirinya.
Dalam liputan bersama ABC dan MNC tahun ini, Ibu Lies menunjukkan bagaimana Ia melakukan aktivitasnya, mulai dari memasak di rumah hingga naik kereta ke restoran dekat rumahnya di Noble Park, sekitar 30 menit dari kota Melbourne, Victoria.
Dengan lincah, Ia mengendalikan kursi rodanya melalui trotoar, naik ke atas stasiun, dan ke dalam kereta. Ia pun membereskan rumah dan memanaskan nasi tanpa dibantu.
Ibu Lies Pangestu di kota Melbourne (Foto: Istimewa)
Ibu Lies mengaku dirinya memang percaya diri, antara lain karena pendidikan di keluarganya
“Dulu waktu saya masih kecil, masa pertumbuhan, orang tua saya bilang kalau orang lain bisa kamu pasti bisa. Jadi selalu ditantang,” ceritanya. Pembawaan ibu beranak satu ini ceria dan berani, bahkan kadang tanpa basa-basi. Pada usia 14 tahun, Ibu Lies didiagnosa menderita Spinal Muscular Atrophy, yaitu kondisi genetik yang mempengaruhi syaraf pengendali otot.Kondisi ini bisa berbuntut kelumpuhan dan pengecilan sel otot.
Meskipun begitu, Ia masih bisa menimba pendidikan di Universitas Jenderal Soedirman dan juga di sekolah kejuruan TAFE, Australia dalam bidang administrasi bisnis, layanan hukum dan layanan masyarakat, membesarkan anak bersama suaminya, bahkan membantu menulis buku tentang pendidikan anak.
Harus diakui, selain percaya diri, ada faktor lain yang mendukung gerak-gerik dan berbagai pencapaian bu Lies, yaitu bantuan dari pemerintah dan masyarakat, dan sejak tahun 1993 Ia tinggal di sana dan mendapat berbagai fasilitas khusus untuk penyandang disabilitas di negara tersebut.
"Kami pindah ke Australia karena setelah suami selesai studi PhD, mendapat pekerjaan di Monash University, juga karena kondisi kesehatan yang terus menurun, dan di Australia fasilitas kesehatan yang lebih baik," jelasnya,
"Kesempatan untuk saya lebih mandiri lebih terbuka karena fasilitas untuk disable yang tersedia sangat baik."
Bantuan dari pemerintah dan masyarakat untuk mereka yang berkebutuhan khusus bisa jelas tampak, namun kadang-kadang tak terlihat oleh mereka yang tidak mengalami disabilitas, kecuali bila diperhatikan betul. Misalnya, pinggiran landai di trotoar, yang memudahkan pengguna kursi roda naik turun trotoar saat menyeberang jalan.
Ada pula titik-titik timbul di trotoar dan stasiun yang bisa digunakan kaum tuna netra untuk merasakan apakah mereka sedang berada di dekat tempat penyeberangan jalan, di persimpangan, di dekat rel kereta, dan sebagainya.
Saat Ibu Lies menaiki kereta, petugas kereta turun dan menempatkan alat bantu khusus kursi roda untuk naik turun kereta. Perusahaan taksi tertentu juga menyediakan taksi khusus dengan fasilitas untuk mengakomodasi kursi roda.
Bantuan tak hanya di ruang publik. Ibu Lies dan suaminya, Mulyoto Pangestu, juga mengaku mendapatkan bantuan merombak rumah hingga bisa lebih mudah mengakomodasi kebutuhan Ibu Lies.
Salah satu kamar mandi dan toilet di rumah mereka dilengkapi pegangan, shower khusus, dan ditutupi tirai, bukan dinding, hingga Ibu Lies bisa lebih leluasa bergerak dan menggunakan fasilitas tersebut.
“Awalnya kamar mandinya tertutup tapi setelah occupational therapist istri saya melihat ternyata itu kurang cocok karena istri saya harus turun dari kursi roda dan sebagainya hingga ada resiko bisa jatuh dan sebagainya,” jelas Bapak Mulyoto.
Tanda timbul di trotoar untuk membantu kaum tuna netra. (Foto: Dina Indrasafitri)
Peralatan dan meja tempat mempersiapkan makanan di dapur dibuat lebih rendah dibanding ukuran biasanya, hingga bisa digunakan oleh Ibu Lies dari atas kursi roda.
Bapak Mulyoto menerangkan bahwa pemerintah membantu dalam biaya renovasi khusus rumah tersebut. . “Kira-kira 50 persen dari renovasi,” ucapnya.
Bu Lies menyatakan bahwa perhatian besar pada mereka yang berkebutuhan khusus didasari atasanggapan bahwa semua orang memiliki hak yang sama, misalnya atas pendidikan dan hiburan.
“Jadi kalau orang susah ya harus dibantu, diutamakan, jadi harus mendapat kemudahan. Jadi kita yang orang-orang punya kebutuhan khusus itu seolah-olah jadi warga kelas satu,” jelasnya.
Walaupun lebih baik dibanding banyak negara di kawasan Asia, sebenarnya fasilitas di Australia untuk mereka yang mengalami disabilitas masih butuh banyak perbaikan, komentar Craig Wallace, ketua lembaga pemerhati penyandang disabilitas, People With Disabilities Australia.
“Menurut saya, sudah banyak kemajuan sejak tahun 1990an. Namun, ada banyak bagian infrastruktur kita yang masih belum bisa diakses mereka yang mengalami disabilitas,” jelasnya,
“Kalau anda ke jalan Paramatta, jalan besar yang memasuki Sydney dari daerah pinggran barat, dan menghitung toko-toko di pinggir jalan yang bisa diakses mereka dengan disabilitas, jumlahnya bisa dihitung dengan satu tangan.”
“Sementara itu, ada sekitar 60 hingga 80 toko yang tidak bisa diakses.”
Kamar mandi yang dirancang khusus untuk kebutuhan Ibu Lies. (Foto: MNC)
Wallace berkomentar bahwa aksesabilitas infrastruktur lebih baik di Amerika Serikat dan Inggris Raya memiliki sistem jaminan sosial yang cukup bagus.
Di pihak lain, Australia bisa menjadi pelopor dengan Sistem Asuransi Nasional untuk Disabilitas (NDIS), tambahnya.
NDIS mulai diselenggarakan pada tahun 2013, saat pemerintahan dipimpin Julia Gillard dari partai buruh.
“NDIS bisa menjadi satu area di mana kita bisa memimpin dunia…dalam memiliki skema asuransi sosial yang meliputi biaya-biaya penting seperti peralatan, istirahat, dukungan untuk akomodasi, dan sejenisnya,” ucap Wallace.
Lebih lanjut, Ia mengaku khawatir karena suara para penderita disabilitas tampak mulai menghilang di pemerintahan. Ini antara lain terlihat dari kemungkinan dihapuskannya posisi Komisioner Diskriminasi Disabilitas di Komisi Hak Asasi Manusia. Yang saat ini memegang posisi itu adalah Graeme Innes, yang memiliki gangguan penglihatan. Masa jabatannya akan berakhir tahun 2014. Ia sudah memperingatkan pemerintah bahwa sektor disabilitas itu akan merugi bila tidak memiliki perwakilan tersendiri.
Menurut Biro Statistik Australia, sekitar 4,2 juta orang Australia, atau 18,5 persen dari seluruh populasi, memiliki keterbatasan.
Ini diungkap dalah survei disabilitas, usia lanjut dan perawat (SDAC) tahun 2012.
Sedangkan menurut penghitungan WHO, diperkirakan 10 persen dari penduduk Indonesia adalah penyandang disabilitas. Ini berarti sekitar 24 juta.
Menurut Mulyoto, keleluasaan untuk ke luar rumah dan bersosiaLiesasi penting bagi penyandang disabilitas,agar tidak tergantung pada orang lain.
“Saya tak bicara [bahwa] Australia hebat. Kalau bicara Australia tahun 60an, mungkin akses orang disabled tak ada. tapi lambat laun mereka belajar,” ucapnya.
Ibu Lies dalam salah satu perjalanannya