Nama "Gaza" menjadi terkenal sejak akhir tahun 2012 ketika timbul konflik yang terjadi selama seminggu antara Israel dan Palestina. Tapi siapa yang tahu, bahwa wilayah terluas di Palestina ini punya budaya kopi yang sangat unik?
Di sebuah rumah di Jalur Gaza, tersebutlah seorang lelaki muda yang bernama Jabar Ali Houli. Dia menuangkan kopi dari sebuah pot yang terbuat dari tembaga untuk para tamunya, dan menanti sampai mereka menghabiskan kopinya. Kalau mereka menggoyangkan cangkirnya yang kosong atau meletakkan 2 jari di atas cangkir itu, artinya kopi mereka sudah habis dan mereka tidak ingin minum kopi lagi. Ritual ini berlangsung setiap pagi dan petang di ruang tamu keluarga Abu Houli. Dan inilah tradisi kopi yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Ayah Ali, Matar Abu Houli, sudah membuat kopi dalam rumah itu selama 30 tahun. Dia membawa sebuah loyang yang disebut "al-mahmas" yang berisi biji kopi yang masih hijau, dan dipanggangnya dengan bara yang berasal dari kayu bakar, sampai warna biji kopi berubah menjadi kecoklatan " kurang lebih selama 10 menit. Lalu, biji kopi itu diletakkan ke dalam sebuah pot yang terbuat dari tanah liat dan dia mulai menggilingnya dengan alat yang terbuat dari kayu, yang disebut "al-houn".
Menurut Matar, biji kopi yang baik itu berukuran besar dan padat. Selain itu, ketika dipanggang, aromanya juga lebih harum. Lalu Jabar yang bertugas untuk menuangkan kopi itu ke dalam cangkir kedua. Di semua kedai kopi di Gaza, rasa kopinya sama dengan kopi yang dibuat secara rumahan. Cara membuat kopi ini sudah mereka lakukan sejak lebih dari 100 tahun yang lalu. Acara memanggang biji kopi dan meminum kopi bagi mereka adalah lambang dari cinta dan persatuan. Api yang digunakan untuk mendidihkan kopi selalu menyala, dan tidak pernah mati.
Produksi kopi di Gaza memang bersifat variatif. Ada yang sudah modern, tapi ada juga yang masih sangat tradisional. Yang modern juga tidak main-main. Untuk membeli mesin dari Italia, mereka mengeluarkan uang sebanyak $800.000. Pabrik kopi terbesar di Gaza adalah Badri dan Haniyeh Coffee, yang terlekat di Nazr. Mereka mempunyai 6 jenis tipe kopi, termasuk yang istimewa dan yang hitam. Bukan hanya itu, kopi mereka pun sudah diekspor ke Brazil, Columbia, Costa Rica, Ethiopia, India, dan Kenya. Setiap harinya, orang Gaza sendiri menghabiskan 6 ton biji kopi.
Ketika kita bertamu ke sebuah rumah atau kantor di Gaza, kita pasti disuguhi kopi dan rokok. Dan kopi di Gaza, diminum tanpa gula atau susu. Begitu kuatnya tradisi kopi ini, sampai ada sebuah lagu tentang kopi yang dinyanyikan oleh penyanyi setempat, Samira Tawfiq. Mahmoud Darwish, seorang pujangga Palestina yang terkena, juga pernah menulis puisi tentang kopi ketika berada di Beirut pada tahun 1982 dengan judul "Memory for Forgetfulness".
"Conquerors can do anything. They can aim sea, sky, and Earth at me, but they cannot root the aroma of coffee out of me. I shall make my coffee now."
- Mahmoud Darwish
Orang pertama yang membuat penggilingan kopi di Gaza adalah Haji Hamdi Abu Shaban, di Pasar Zawiya pada tahun 1970. Biji kopi sendiri sampai ke Gaza karena dibawa dari Brazil dan India, berikut rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.
Saat ini bisnis kopi di Gaza semakin marak. Sedikitnya ada 6 perusahaan yang saling berkompetisi dalam bisnis ini. Salah satunya adalah Delica Cafe, yang menjadi langganan para seniman dan sutradara Palestina. Tak jarang, selain kopi tradisional, mereka juga memesan espresso.
Tapi sebenarnya apa yang membuat kopi begitu membudaya di Gaza? Tak lain karena selain persatuan dan cinta, ternyata kopi juga sering dihubungkan dengan kesedihan dan keseriusan. Semua orang di Gaza pasti akan melarikan diri ke kopi ketika mereka sedang tegang atau banyak masalah.
Oh, begitu.
Sumber gambar: michaeltotten.com dan beberapa sumber lainnya
Follow @wisbenbae