Masih ingat budaya nrimo? Generasi mahasiswa sosiologi dan ilmu
politik sekarang mungkin tidak lagi terlalu akrab dengan konsep
kultural ini. Dalam dunia akademis teori dan konsep juga berubah seperti
fashion, bergonta-ganti begitu saja mengikuti selera dan
suasana hati. Apa yang dulu dianggap penting kini bisa dianggap usang,
bahkan tidak dilirik sama sekali.
Saya mohon izin untuk bernostalgia sedikit, menjelaskan konsep “budaya nrimo” yang pernah menjadi top hit di kalangan intelektual Indonesia, dengan harapan bahwa semua ini memberi sedikit manfaat bagi generasi mahasiswa sekarang. Dari review singkat ini saya ingin mengajak kita melihat apa yang terjadi dengan Indonesia di masa kini, sehingga kita bisa mencocokkan teori dan realitas, semacam pengujian kecil-kecilan terhadap sebuah konsep yang dulu pernah dianggap sebagai kebenaran. Atau bisa juga, kita melihat sesuatu yang telah dianggap usang tapi dengan perspektif baru.
Saya mulai kuliah di Fisip UGM pada awal 1980an. Saya masuk jurusan sosiologi dan waktu itu topik akademis yang lagi populer berkisar pada masalah kebudayaan dan pembangunan. Hampir semua intelektual Indonesia terdepan saat itu, seperti Soedjatmoko, Umar Kayam, Romo Mangunwidjaya, dan Goenawan Mohamad, sering menulis di seputar topik tersebut dengan berbagai pandangan yang cemerlang.
Sebagai mahasiswa baru, saya sangat tertarik pada topik ini, dan dari bacaan serta diskusi bersama kawan-kawan seangkatan, saya sampai pada kesimpulan bahwa kebudayaan memang menjadi kunci bagi pembangunan ekonomi.
Semua itu turut didorong oleh kecenderungan yang ada di berbagai universitas terkemuka dunia waktu itu, yaitu merebaknya teori-teori modernisasi. Salah satunya yang sedang laku keras adalah teori Prof. David McClelland dari Harvard University, Amerika Serikat. Tesis dasarnya cukup sederhana: kemajuan suatu masyarakat terjadi karena dorongan dari “dalam”, yaitu dari kemauan dan motivasi himpunan manusia yang ada dalam masyarakat tersebut. Kalau mau maju, terlebih dahulu anda harus bertekad untuk maju. Kalau mau sukses, anda harus merebut, jangan menunggu, datangnya sukses kehidupan.
Dari pandangan yang tampaknya umum ini, McClelland memperkenalkan sebuah konsep praktis, yaitu N-Ach, need for achievement. Konsep ini bisa digunakan sebagai dasar penelitian sosial untuk membandingkan potensi kemajuan sebuah masyarakat. Jika N-Ach dalam masyarakat tersebut tinggi, maka peluangnya untuk berhasil dalam pembangunan juga relatif tinggi. Kalau rendah, jalan keluarnya adalah perubahan kebudayaan: pandangan hidup dan sikap masyarakat tersebut diubah untuk lebih menghargai kerja keras, lebih mampu mengambil resiko, lebih bersikap pro-aktif, dan semacamnya.
Singkatnya, dengan semakin populernya teori ini di kalangan intelektual Indonesia, saya dan kawan-kawan seangkatan di Jogja terpicu untuk lebih mengenal dan mempelajari budaya Jawa. Dalam pandangan kami, dan saya kira juga merupakan pandangan umum waktu itu, orang Jawa adalah mayoritas, jumlahnya sekitar 60 persen dari total penduduk Indonesia. Karena itu, kalau Indonesia mau berkembang, orang Jawa harus diajak untuk maju, bahkan menjadi motor dari kemajuan tersebut. Kalau tidak, pembangunan Indonesia akan berjalan di tempat.
Tapi di situlah terletak persoalan terbesar kita: orang Jawa terlalu lembut, terlalu pasrah dan cenderung fatalistik, terlalu nrimo pada kehidupan. Ke-Jawa-an adalah kehalusan budi pekerti, sebuah sensibilitas kultural yang bertumpu pada harmoni, pada keseimbangan atau keselarasan semua hal. Ambisi, kemauan keras untuk melawan nasib, bahkan pemberontakan batin pada problema sehari-hari: semua ini ora nJawani.
Lewat konsep N-Ach dari McClelland, kebudayaan nrimo yang dianut oleh orang Jawa tidak dianggap kondusif dalam mendorong pembangunan ekonomi bagi negeri yang masih relatif miskin seperti negeri kita. Kebudayaan ini tidak memberi motivasi bagi manusia untuk merebut kemajuan, untuk mengambil resiko dan menjadi enterpreneur di semua bidang kehidupan.
Kesimpulannya, sama dengan kesimpulan umum dalam teori-teori modernisasi, perubahan kebudayaan harus segera dilakukan. Jargon yang waktu itu populer: transformasi kultural. Walaupun tidak terlalu jelas maknanya, dan walaupun agak lebay dari segi istilah, jargon ini menjadi kesimpulan pamungkas dari berbagai debat dan diskusi di kalangan mahasiswa dan kaum intelektual waktu itu -- ia hanya disaingi oleh sebuah jargon lain, yaitu transformasi struktural, dari kaum intelektual yang beraliran pemikiran agak “kiri,” tapi ini adalah sebuah cerita lain lagi.
Singkatnya, cara berpikir semacam itu terhadap masalah kebudayaan dan pembangunan merupakan sebuah paradigma dominan, the reigning paradigm, kalau memakai istilah yang keren dari Thomas Kuhn. Analisis terhadap fakta-fakta sosial dan ekonomi boleh beragam, demikian pula ulasan terhadap berbagai persoalan keseharian yang muncul di Indonesia. Tetapi semua diskusi tentang hal ini akan berakhir pada masalah kebudayaan, and the culprit was always the same: kebudayaan Jawa.
Bagaimana sekarang?
Itulah kira-kira yang bisa saya ingat tentang suasana intelektual pada awal dan pertengahan 1980an, saat saya sedang asyik-asyiknya menjadi mahasiswa di Jogja, sebuah kota yang kebetulan dianggap sebagai pusatnya kebudayaan Jawa.
Tentu saja pengalaman saya bukan hanya di seputar masalah itu. Tapi yang jelas, seingat saya, masalah kebudayaan dan pembangunan itulah, serta teori-teori modernisasi yang menjelaskannya, yang merupakan fixation of the day dan mempengaruhi cara pandang saya sebagai mahasiswa terhadap masa depan Indonesia.
Sekarang, kalau saya mengingat semua itu, terkadang saya terheran-heran sendiri: sebuah teori yang begitu sederhana, tetapi memiliki pengaruh yang luas. Saya tentu bersyukur bahwa saya pernah terpengaruh oleh sebuah teori (jangan lupa pada kearifan Karl Popper: kebenaran hanya mungkin didekati lewat negasi atau falsifikasi pada konsep-konsep yang keliru). Namun semua ini tidak mengubah kesimpulan dalam diri saya bahwa dulu saya berpikir terlalu sederhana.
Betapa tidak? Coba kita lihat beberapa fakta, terutama yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Dua tahun lalu, pada saat AS dan Eropa masih terus dilanda krisis dan stagnasi, pertumbuhan kita masih pada kisaran 6 persen per tahun, yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi kedua di dunia. Kalau pencapaian ini bisa terus berlangsung, maka dalam satu generasi lagi Indonesia akan naik kelas menjadi negara maju. Kita akan merayakan Hari Proklamasi RI yang ke-100 pada tahun 2045 dengan status sebagai negara maju, bukan lagi sebagai negara miskin atau negara sedang berkembang.
Pencapaian ini adalah akumulasi dari rangkaian pencapaian sebelumnya. Sejak awal Orde Baru hingga zaman reformasi, walaupun diselingi oleh berbagai krisis ekonomi, Indonesia terus tumbuh dan berkembang, malah sempat dianggap sebagai salah satu contoh sukses pembangunan di Dunia Ketiga. Tentu saja, kaum ekonom bisa berkata bahwa pertumbuhan kita bisa lebih tinggi 2 atau 3 persen lagi. Tapi fakta yang tidak bisa ditolak adalah bahwa kemajuan Indonesia memang nyata dan terjadi cukup drastis.
Salah satu akibatnya adalah semakin banyaknya rakyat kita yang masuk dalam kategori kelas menengah, yaitu mereka yang memiliki tingkat pengeluaran dalam keluarga di atas Rp 2 juta per bulan. Pada tahun 2012 jumlah yang berada dalam kategori ini mencapai 74 juta orang.
Enam tahun lagi, dalam proyeksi Boston Consulting Group, sebuah lembaga ekonomi dunia yang ternama, jumlah kelas baru ini akan menjadi 141 juta orang. Artinya, setiap tahun lebih dari 8 juta rakyat Indonesia lepas dari garis kemiskinan dan masuk dalam kategori kelas menengah. Barangkali inilah fakta terpenting yang terjadi pada negeri kita dalam beberapa tahun terakhir, serta dalam satu atau dua dekade ke depan.
Semua itu bukanlah pencapaian kecil. Banyak negara lain, terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, memandang prestasi semacam itu dengan penuh kagum.
Mengapa keberhasilan ini terjadi? Saya serahkan pada kaum ekonom dan para ahli lainnya untuk menjelaskannya secara rinci. Yang jelas, karena jumlah orang Jawa tetap mayoritas, maka kemajuan tersebut terjadi dalam proporsi besaran yang sama pada saudara-saudara kita yang bersuku dan berada dalam wilayah kultural Jawa. Indonesia maju karena orang Jawa (juga) maju. Hal ini adalah sebuah fakta, bukan pernyataan pro-kon sukuisme.
Buat saya, kembali ke masalah kebudayaan dan pembangunan, semua itu membuktikan bahwa pandangan terhadap orang Jawa dan kebudayaan Jawa sebenarnya tidak boleh terlalu disederhanakan. Konsep nrimo, kalau toh memang nyata mempengaruhi perilaku, tidak dapat dianggap sebagai sebentuk fatalisme begitu saja.
Ia bisa saja sebuah sikap nrimo dinamis. Pasrah, tetapi bukan berarti menolak untuk berusaha dan bekerja keras mengubah nasib. Ia bisa juga merupakan sebuah strategi kultural temporer: karena situasi yang menekan (dalam zaman kerajaan dan kolonial), maka kepasrahan adalah sebuah pilihan yang optimal. Namun manakala situasi berubah (zaman kemerdekaan), apalagi dikaitkan dengan berbagai insentif positif untuk berubah dan menjadi lebih aktif, maka sikap hidup nrimo bisa mengalami transformasi menjadi lebih dinamis.
Singkatnya, pandangan kita terhadap masalah kebudayaan tidak boleh berhenti pada sebuah potret seketika, atau potret yang hanya menangkap gambar dari suatu kurun waktu. Kebudayaan berada di hati masyarakat, dan ia akan terus berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan kondisi masyarakat tersebut.
Semua itu tentu perlu dipelajari lebih jauh, agar kita lebih mengerti realitas Indonesia kontemporer, serta segala potensi yang mungkin berkembang di dalamnya. Dalam hal ini, konsep-konsep lama tentang N-Ach dari McClelland, atau juga konsep dorongan nilai dan agama dalam pembangunan ala Max Weber, bisa saja dipelajari kembali. Tapi semua ini harus dibahas dengan melihat pada fakta-fakta baru, bukan dengan menegasikan fakta-fakta tersebut.
Kepada mahasiswa generasi sekarang, kalau boleh saya ingin sedikit meninggalkan pesan. Dengan internet, akses informasi sekarang ini luar biasa cepat dan terbuka luas. Tidak seperti begitu banyak generasi mahasiswa sebelumnya, termasuk mahasiswa generasi saya, saat ini bisa dikatakan bahwa praktis tidak ada lagi hambatan dalam mencari bacaan dan informasi apapun, termasuk mengikuti teori baru dan perdebatan-perdebatan akademis yang terkemuka di dunia.
Dulu, mencari majalah The Economist atau koran The New York Times luar biasa susahnya, apalagi jurnal-jurnal terkemuka dan buku-buku terbaru. Sekarang, semua dapat diperoleh dengan mudah lewat internet, pada umumnya dengan gratis, atau dengan biaya yang relatif murah.
Karena itu, use your time wisely. Jangan terlalu banyak membuang waktu percuma. Baca dan ikuti perkembangan pemikiran terdepan di dunia. Semua ini akan sangat mengasyikkan sebagai petualangan intelektual di masa muda. It makes you deeper and more profound as a person. Selain itu, siapa tahu anda tertarik untuk mengikuti dan mengembangkannya lebih jauh dan menjadi salah satu pemikir sosial terkemuka, mungkin di Indonesia, mungkin pula di dunia. Semoga.
6 Februari 2014
Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.
Follow @wisbenbae