Agar murid lebih memahami tentang pendidikan Islam dan sejarah Indonesia, para guru harus lebih mendalami masalah sejarah. Selain itu agar umat Islam tak ikut-ikutan keliru.
“Sejarah sangat penting untuk membentuk kepribadian atau karakter murid,” tegas Ketua Program Pendidikan Pasca Sarjana UIKA Bogor, Dr Adian Husaini dalam “Training Dai dan Guru” di Depok yang diselenggarakan Dewan Da’wah Islamiyah Depok, Lazis DDII dan At Taqwa Qur’anic School.
Menurut Adian, kalangan guru harus mempelajari sejarah Indonesia dengan benar, sehingga tidak ‘anut grubyuk’ (ikut-ikutan, red) salah.
Penulis buku “Pendidikan Islam Membentuk Manusia yang Adil dan Beradab” ini juga menjelaskan banyaknya sejarah yang salah ditulis di Indonesia. Ia menyebut bagaimana bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional bersamaan dengan lahirnya Ki Hadjar Dewantoro.
“Bagaimana Hari Pendidikan Nasional diperingati bersamaan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantoro 2 Mei? Apa hebatnya Ki Hadjar disbanding Sunan Ampel?” ujarnya.
Padahal seharusnya yang menjadi tokoh pendidikan adalah Sunan Ampel, mengingat beliau adalah tokoh Islam pertama yang menjadikan madarasah sebagai ladang ilmu bagi kaum terpelajar.
Selain membahas sejarah, Adian juga menjelaskan tentang pentingnya para guru mengkaitkan pelajaran sains dan Islam.
“Dalam al-Qur’an ketika manusia disuruh untuk mengamati alam semesta ini, pasti ujungnya adalah untuk mengenal atau mentauhidkan Allah,” terangnya. Karena itu, Islam sudah menjelaskan, bahwa sains ada yang universal ada yang tidak.
Tetang penciptaan manusia misalnya, pelajaran sains kita sampai kini menginduk pada pendapat intelektual Barat yang menjelaskan asal-usul manusia dari dengan mengumpulkan jejak-jejak tulang (antropologi).
“Karena mereka tidak percaya kepada wahyu -trauma Barat terhadap gereja (agama) yang mendominasi Eropa Abad Pertengahan, maka mereka menyusun teori dengan sesuatu yang bisa diindera saja. Seperti ketika menyusun teori asal usul manusia dengan mengumpulkan tulang-tulang, sehingga ada manusia purba. Padahal asal usul manusia itu telah jelas dalam al-Qur’an berasal dari Nabi Adam.
Seharusnya dalam pelajaran sains itu, pelajar diajarkan demikian. Dan yang terpenting alat untuk mencapai kebenaran itu, selain alat indera adalah akal dan khabar shadiq (khabar yang terpercaya, yakni wahyu),” tegasnya.
Sementara itu, peneliti sejarah dari Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Tiar Anwar Bachtiar yang berbicara pada sesi terakhir menjelaskan tentang pembelokan sejarah Indonesia oleh kalangan intelektual-intelektual Barat.
“Intelektual Barat (Orientalis) yang pertama menggali Candi Borobudur adalah Raffles. Ia menyatakan dalam bukunya History of Java, bahwa ajaran Islam itu tidak berakar dalam hati orang Jawa (Indonesia/Asia Tenggara). Bagaimana ia bisa mengukur hati orang Jawa? Padahal banyak di Jawa banyak didirikan pesantren dan banyak ulama. Rupanya ia ingin membuat opini dan kesimpulan bahwa yang berakar di Indonesia ini adalah Hindu/Budha. Sehingga ia menggali Candi yang sudah terkubur ratusan tahun itu,” terangnya.
Tiar menjelaskan bahwa dengan telah terkuburnya candi-candi itu ratusan tahun, berarti tempat itu sudah tidak dipakai lagi untuk sembayang. Candi Borobudur yang ada sekarang ini telah melewati pemugaran dan perbaikan yang terus menerus.
“Apakah ada masjid di Indonesia yang terkubur ratusan tahun kemudian digali, dipugar dan diperindah seperti Borobudur? ” tanya Tiar yang juga Ketua Umum Pemuda Persis ini.
Menurutnya, Orientalis-orientalis Barat, termasuk orientalis Belanda memang tidak ingin melihat Islam ini mengakar baik dalam sejarah Indonesia di masa lalu, maupun di masa depan.
Pemikiran Merusak
Sementara itu, Wakil Sekjen Majelis Intelektual Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Fahmi Salim dalam acara itu menjelaskan tentang pentingnya semangat dakwah para guru.
“Dakwah ini tujuannya untuk membina kepribadian murid dan masyarakat yang sholeh dan melindungi mereka dari pemikiran-pemikiran yang merusak,” tegas Fahmi. Alumni Pascasarjana Universitas Al Azhar Kairo ini menganjurkan agar para guru juga mempelajari pemikiran-pemikiran yang merusak Islam, seperti liberalisme, pluralisme dan lain-lain.
“Bahaya bila murid-murid terserang faham pluralisme, karena mereka bisa menghalalkan pernikahan beda agama,” jelasnya.
Izzadina
yy/hidayatullah.com
Follow @wisbenbae