Kesimpulan Harun Nasution yang bertahan selama puluhan tahun, bahwa teologi Abduh bercorak Mu’tazilah, dipatahkan oleh Eka Putra melalui penelitian yang serius terhadap Kitab Hasyiah karya Muhammad Abduh. Hasilnya, ternyata Muhammad Abduh bukanlah penganut Mu’tazilah – sebagaimana diklaim Harun Nasution selama ini -- tetapi justru merupakan tokoh pelanjut paham Ahlus Sunnah wal-Jamaah.
Muhammad Abduh dikenal sebagai pemikir dan tokoh pembaru di Mesir yang bersama muridnya, Rasyid Ridho, menulis Tafsir al-Manar. Ketokohannya dikenal luas di dunia, termasuk di Indonesia. Dengan mencantolkan paham Mu’tazilah pada Muhammad Abduh, Harun Nasution memiliki pijakan yang kuat untuk menanamkan paham Mu’tazilah dan liberal di Perguruan Tinggi, dan kemudian meluas ke masyarakat melalui para lulusannya.
Setelah era Prof. Dr. HM Rasjidi, di tahun 1970-an, tidak banyak ilmuwan dan akademisi Muslim di Perguruan Tinggi Islam Indonesia yang secara terbuka, ilmiah, dan sistematis mengkritisi pemikiran Prof. Harun Nasution -- sosok yang oleh banyak orang dianggap sebagai pelopor pembaruan studi Islam di Indonesia. Sebagian lagi bahkan sudah mengkultuskan Prof. Harun dan tidak menyoal berbagai pemikirannya.
Dari sedikit orang yang kritis itulah, nama Dr. Eka Putra Wirman terbilang sangat menonjol. Dosen Teologi Islam di IAIN Imam Bonjol Padang ini sudah menulis sejumlah artikel, makalah, dan buku ilmiah yang “mengupas” dan meluruskan pemikiran Harun Nasution.
Menurut Dr. Eka, usaha Harun Nasution selama berpuluh tahun dalam mempromosikan paham Mu’tazilah dan menggusur Ahlussunnah wal-Jamaah telah berdampak buruk. Mitos Mu’tazilah sebagai pembawa kemajuan umat Islam sangatlah keliru. Apalagi, kata Dr. Eka, Harun Nasution mencatut nama besar Muhammad Abduh dalam mempromosikan teologi Mu’tazilah. Disertasi Harun Nasution di McGill University, yang menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah penganut Mu’tazilah , dikritik keras oleh Eka Putra. Apalagi, Harun Nasution dikenal dengan pernyataannya, bahwa Muhammad Abduh lebih Mu’tazilah daripada Mu’tazilah itu sendiri.
Dr. Eka Putra tidak main-main. Ia melakukan kajian serius terhadap Kitab Hasyiah karya Muhammad Abduh. Hasilnya ia tuangkan dalam sebuah buku berjudul Kesaksian Hasyiah terhadap Teologi Muhammad Abduh (Padang: Puslit Press IAIN Imam Bonjol Padang, 2011).
Dalam buku setebal 187 halaman ini, Dr. Eka menyimpulkan: “Buku Hasyiah menjadi saksi bahwa Abduh adalah pengikut setia al-Asy’ari dan berusaha menjelaskan secara rasional-filosofis gagasan-gagasan teologis yang diungkapkan oleh al-Asy’ari. Pembacaan yang serius terhadap buku ini dengan mudah mementahkan pendapat beberapa penulis teologi di Indonesia bahwa Abduh adalah pengikut aliran Mu’tazilah, atau lebih dekat kepada pemikiran Mu’tazilah, apalagi lebih Mu’tazilah dari Mu’tazilah.”
Eka mengibaratkan posisi Abduh dengan Imam al-Asya’ri seperti Ibnu Rusyd dengan Aristoteles di bidang filsafat. Abduh dan Ibnu Rusyd berperan sebagai penyambung lidah yang “jujur” (lisan al-shidq) dari tokoh yang diikuti dan diidolakannya. “Jadi selama ini, karena terlalu dikultuskan, pendapat Pak Harun Nasution diikuti saja oleh banyak akademisi,” ujar Eka.
Saat ditanya, mengapa kekeliruan itu seolah-olah dibiarkan saja selama puluhan tahun, Dr. Eka menjawab: “Saya yakin, banyak pengagum Pak Harun yang tidak membaca Hasyiah. Membaca pun belum tentu paham, karena tidak mudah memahami kitab-kitab dalam teologi.”
Kitab Hasyiah karya Muhammad Abduh, menurut Eka, merupakan bukti nyata bahwa Muhammad Abduh sama sekali bukan penganut Mu’tazilah. Kitab ini justru mengkritik secara tajam aliran Mu’tazilah. Bahkan, dikatakan Abduh, Mu’tazilah adalah golongan yang “al-mahjubun” (terhalang dari kebenaran). “Kitab ini mengangkat pemahaman Ahlus Sunnah wal-Jamaah yang dikemas dengan rasionalitas yang tinggi,” tambahnya. Untuk itulah, kini Eka Putra, sedang menyiapkan buku yang lebih serius dan komprehensif yang ia beri judul “Restorasi Teologi: Meluruskan Pemikiran Harun Nasution.”
Dalam pengataman Eka, sekarang banyak akademisi pengikut Harun yang mengalami keterpecahan antara pemikiran dan perbuatan. Secara pemikiran ia Mu’tazilah, karena menganggap Allah tidak campur tangan lagi dalam urusan kehidupan manusia. Tapi, pada sisi lain, dia juga beramal secara Ahlussunnah, karena berdoa meminta pertolongan Allah. Itu artinya ia mengundang campur tangan Tuhan yang bertentangan dengan kepercayaan Mu’tazilah. “Jadi tampak lucu. Pemikirannya ikut Harun Nasution, amalnya ikut Ahlussunnah,” kata Eka, alumnus Pesantren Gontor yang menyelesaikan program doktornya di Qarawiyin University Maroko (2003).
****
Prof. Dr. Harun Nasution selama ini dikenal sebagai penyebar kuat paham Mu’tazilah. Tahun 2008, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, menerbitkan buku berjudul ”Paradigma Baru Pendidikan Islam”.
Peran Harun Nasution dalam studi Islam ditulis sebagai berikut: ”Harun Nasution mengusung pembaruan pemikiran keislaman. Dia mengenalkan multi pendekatan dan memperjuangkannya dengan sangat konsisten. Pengaruh pemikirannya sangat kuat di kalangan IAIN dan STAIN seluruh Indonesia dan masih dirasakan sampai sekarang.” (hal. 7)
Ditulis dalam buku ini, bahwa pembaruan Islam perlu dilakukan, karena yang menjadi masalah umat Islam Indonesia adalah bahwa sampai saat ini adalah kurang berkembangnya pandangan pluralistik atau penghargaan atas perbedaan di kalangan umat. Pada zaman Harun, pengajaran keagamaan sangat normatif dan terpaku pada salah satu paham atau aliran pemikiran, atau bahkan kelompok atau pemikiran orang tertentu dan sangat fiqih oriented. Model pendidikan yang seperti itu dapat dipastikan akan menghasilkan lulusan yang mempunyai pemahaman dan pemaknaan agama yang sempit. ”Dampak negatifnya adalah kemungkinan munculnya pemahaman yang melihat segala hal yang berbeda dengan paham tersebut sebagai salah, menyimpang dan bahkan sesat.” (hal. 8).
Untuk melakukan pembaruan pemikiran Islam di IAIN, Harun Nasution mencari akar pembenarannya dalam teologi rasional ala Mu’tazilah dan mengenalkannya kepada masyarakat lewat buku dan pengajarannya di IAIN dan program pascasarjana IAIN Jakarta. ”Selama menjadi rektor (1973-1984) dan setelahnya sampai tahun 1990-an sebagai Direktur pada program studi lanjutan pertama yang dibuka di IAIN Jakarta, Nasution mengembangkan pemikiran Islam rasional dan menjadikan program S1 dan pasca sarjana IAIN Jakarta sebagai agen pembaharuan pemikiran dalam Islam dan tempat penyemaian gagasan-gagasan keislaman yang baru.” (hal. 8).
Begitulah penjelasan tentang kiprah Harun Nasution dalam buku terbitan Departemen Agama tersebut.
Pada tahun 1972, Harun Nasution menerbitkan bukunya yang berjudul: Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1972). Buku ini secara tegas menyatakan, bahwa paham Mu’tazilah – yang dikatakannya sebagai Teologi Liberal -- harus dikembangkan, karena akan mebawa kemajuan. Sebaliknya, paham Ahlussunnah harus disingkirkan, karena tidak membawa kemajuan. Bisa kita simak ungkapan Harun Nasution dalam buku tersebut:
“Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat memberi interpretasi yang liberal tentang teks ayat-ayat Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, timbullah teologi liberal seperti yang terdapat dalam aliran Mu’tazilah. Teolog-teolog yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah memberikan inyterpretasi harfi atau dekat dengan arti harfi dari teks Qur’an dan Hadis. Sikap demikian menimbulkan teologi tradisional sebagai yang ada dalam aliran Asy’ariyah.
Teologi liberal menghasilkan faham dan pandangan liberal tentang ajaran-ajaran Islam. Penganut-penganut teologi ini hanya terikat pada dogma-dogma yang dengan jelas lagi tegas disebut dalam ayat-ayat Qur’an dan Hadis; yaitu teks ayat-ayat Qur’an dan Hadis yang tidak bisa diinterpretasikan lagi mempunyai arti selain arti letterlek yang terkandung di dalamnya…..
Dengan lain kata, dalam masyarakat yang menganut teologi liberal, kemajuan dan pembangunan dapat berjalan lebih lancer. Dalam teologi tradisional, sebaliknya, penganutnya kurang mempunyai ruang gerak karena mereka terikat tidak hanya pada dogma-dogma, tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti zanni, yaitu ayat-ayat yang boleh menngandung arti lain dari arti letterlek yang terkandung di dalamnya. Dan ayat-ayat ini mereka artikan secara letterlek. Dengan demikian, para penganut teologi ini sukar dapat mengikuti perobahan dan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat modern. Rasanya tidak terlalu jauh dari kebenaran, jika dikatakan bahwa teologi tradisionil dapat merupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambat kemajuan dan pembangunan.
Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya ia berpegang pada arti harfi dari teks ayat-ayat Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar. (hal. 142-143).
Dengan mengembangkan teologi Mu’tazilah – yang disebut Harun Nasution sebagai ‘teologi liberal’, lalu disebutkan bahwa apa yang diajarkan di IAIN/UIN adalah ‘Islam liberal’, sebagaimana diakui oleh Prof. Azyumardi Azra, mantan Rektor UIN Jakarta: “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern.” (Lihat, buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117, terbit atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama).
Kesimpulan bahwa Teologi Mu’tazilah membawa kemajuan ditolak oleh Dr. Eka Putra Wirman. Tahun 2010, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI menerbitkan buku Dr. Eka yang berjudul “Kekuatan Ahlus Sunnah wa al-Jamaah”. Melalui bukunya ini, ia mengingatkan pentingnya umat Islam memelihara dan mengembangkan paham Ahlus Sunnah wal-jamaah yang telah meninggalkan mutiara yang berguna bagi kehidupan kaum Muslimin. Pemikiran ini perlu dikaji dan dihidupkan. “Kepentingan internal dimaksudkan untuk menjaga perkembangan pemikiran Islam agar tidak keluar dari koridor yang digariskan dan diikuti para al-salaf al-shalih seperti berkembangnya Liberalisme, Permisivisme dan Sekulerisme,” tulisnya.
Juga, secara eksternal, perlu dilakukan penanggulangan paham-paham keliru dan sesat yang merusak pemikiran Islam. Misal, paham Deisme yang memposisikan Tuhan hanya sebagai pencipta, lalu tidak ikut campur tangan lagi terhadap ciptaan-Nya. “Pemikiran Deisme ini menjauhkan manusia dari Tuhan dan sengaja mengerdilkan fungsi Tuhan,” kata Dr. Eka.
Pemikiran seperti inilah yang sejak dulu dikritisi secara tajam oleh Ahlussunnah wal-Jamaah. Sayangnya, pemikiran semacam ini justru dikembangkan di Perguruan Tinggi. Dampaknya, menurut Dr. Eka Putra, kini sudah sampai ke sekolah-sekolah menengah, karena diajarkan oleh guru-guru mereka yang terpengaruh.
Temuan Dr. Eka Putra Wirman tentang pemikiran Harun Nasution ini kembali mengingatkan para akademisi Muslim dan juga pemerintah untuk melakukan introspeksi terhadap pengagungan atau bahkan pengkultusan pemikiran Harun Nasution. Upaya mengangkat martabat dan kualitas Studi Islam di Indonesia dengan mendasarkan diri pada pemikiran Mu’tazilah dengan menggusur paham Ahlussunnah adalah pemikiran dan langkah yang keliru.
Anggapan bahwa “teologi liberal” Mu’tazilah cocok untuk kehidupan dunia modern juga mitos yang dibangun Harun Nasution. Aneh, jika pemikiran keliru ini terus diajarkan dan dilestarikan.
Kita berharap, temuan Dr. Eka Putra ini dapat menjadi pendorong makin banyaknya ilmuwan yang sadar dan bersungguh-sungguh dalam usaha untuk memperjuangkan kebenaran dan memperbaiki kondisi studi Islam di Indonesia. Amin.* (Depok, 26 Maret 2013). [yy/hidayatullah.com]
Oleh: Dr. Adian HusainiKita berharap, temuan Dr. Eka Putra ini dapat menjadi pendorong makin banyaknya ilmuwan yang sadar dan bersungguh-sungguh dalam usaha untuk memperjuangkan kebenaran dan memperbaiki kondisi studi Islam di Indonesia. Amin.* (Depok, 26 Maret 2013). [yy/hidayatullah.com]
Sejarah Munculnya Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)
Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Asy-Syihristani t berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij.
Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)
Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
Landasan Pertama: At-Tauhid
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
Bantahan:
1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah I mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah I berfirman:
“Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)
“Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5)
Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.”
Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah I. Dalilnya adalah firman Allah I:
“Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)
“Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
Bantahan:
Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani t berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah I:
“Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)
Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah I berfirman:
“Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah I yang merupakan bagian dari taqdir Allah. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah I untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Bantahan:
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah I, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya. Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah.
Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.”2 (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
Bantahan:
1. Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah I:
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)
Dan juga firman-Nya:
Dan juga firman-Nya:
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya: “Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)
Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)
“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)…” (Al-Baqarah: 260)
Rasulullah bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah)
2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya…” (Al-Hujurat: 9)
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
Bantahan:
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah I berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)
Rasulullah bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa.
Sesatkah Mu’tazilah?
Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:
- Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.
- Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.
- Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.
- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).
Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)
Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45). Wallahu a’lam bish-shawab. [yy/asysyariah.com]
oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
Follow @wisbenbae