Dipa Nusantara Aidit (1923-1965), seorang Ketua Central Committee Partai Komunis Indonesia, tengah berkampanye jelang Pemilu 1955. (Wikimedia Commons)
Para seniman itu tidak pernah belajar politik dan bukan simpatisan partai. Namun, mereka diperalat untuk kepentingan politik dan binasa dalam kekacauan.
“Di zaman PKI seniman sangat diperhatikan,” ujar Randimo. “Ya, karena ditunggangi itu setiap desa punya gamelan. Kok, setelah gestok gamelan pada hilang entah kemana.”
Randimo lahir 76 tahun silam di Prambanan. Lelaki sepuh yang masih bersemangat itu merupakan pegiat kesenian ketoprak di Balekambang, Surakarta. Dua tahun silam, saya menjumpai lelaki itu di kediamannya di Sumber, yang berada tak jauh dari tembok keliling Balekambang.
Boleh dikata, dia merupakan sesepuh di paguyuban kesenian itu lantaran sudah banyak makan asam garam di panggung ketoprak sejak lebih dari 60 tahun silam. Bahkan, Randimo masih bergiat membina paguyuban ketoprak di tempat kelahirannya.
Dia berkisah kepada saya. Petualangannya dalam seni pertunjukan bermula ketika Randimo turut kelompok srandul, ketoprak jalanan yang bermain di pelataran tanpa tobong. Kemudian, dia bergabung dengan ketoprak Balekambang pada awal 1960-an, hingga menjadi saksi sejarah kelam tatkala geger politik pada 1965. Singkatnya, lelaki itu adalah pemain ketoprak kawakan. Ketoprak sudah menjadi jalan hidupnya, pun nada dering gawainya melantunkan seruling dan rebab yang menyayat-nyayat.
Radimo, sesepuh paguyuban ketoprak di Taman Balekambang, Surakarta. Lebih dari 50 tahun dia telah bertualang di pentas ketoprak, dari pentas srandul sampai ketoprak modern. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Sekitar 1964-65 Randimo berpentas bersama Krido Mardi di Prambanan. Kelompok ketoprak di bawah naungan Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA) itu tengah berada di tajuk kesohorannya. Randimo mengenang lakon-lakon yang dipentaskan dari “Romeo Juliet” hingga “Pilistine dan Nazareth”.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo. Memang, ungkapnya, orang-orang tidak mengerti tentang apa itu LEKRA. Mereka bergabung dalam wadah kesenian yang anggotanya direkrut oleh carik setempat. “Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar,” ujarnya. “Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
Pada 1955-65 kelompok ketoprak telah terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berafiliasi dengan LEKRA. Meskipun “berafiliasi”, kadang orang sulit mengungkapkan fakta kaitan langsung PKI dan LEKRA, lantaran organisasi seniman itu bukan paguyuban resmi milik partai.
“Dulu nama karawitan Paguyuban LEKRA itu disegani,” kata Randimo.“Semua tidak tahu-menahu, yang penting dibayar. Tidak ada rasa takut, karena tidak tahu.”
BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia) yang dibentuk LEKRA telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 pada 1957 menjadi 371 pada 1964. Lakon-lakon ketoprak dan kesenian panggung lainnya diadaptasi sebagai propaganda partai. Kesenian rakyat pun menjadi sebuah kegiatan seni yang kritis, progresif, dan radikal. Lewat seni, pandangan dan ide partai disisipkan sehingga masyarakat lebih memahami esensi pesannya.
Para seniman dan budayawan terseret dalam pusaran politik—disadari atau tidak. Ketika bahtera Sukarno terempas badai politik, PKI pun menjadi bulan-bulanan. Peristiwa itu menggayang para seniman LEKRA yang umumnya tak bekerja untuk politik partai.
Randimo bersaksi atas nasib pemain ketoprak menyusul terjadinya penculikan dan pembunuhan para jenderal di Jakarta dan Yogyakarta, akhir September 1965. Sebuah peristiwa yang lekat dengan ingatan warga Indonesia sebagai sebuah percobaan kup.
Ketika itu orang-orang yang diduga terkait dengan LEKRA diganyang habis. “Di Prambanan, lurah dan stafnya habis.” Dia juga mengenang kejadian yang membinasakan teman-teman sejawatnya, “Pemain ketoprak habis!”
Seorang pemain ketoprak baru saja menyelesaikan rias wajahnya. Malam itu dia berperan sebagai warok yang digambarkan berbadan perkasa dengan bulu dada, wajahnya berkumis dan bercambang lebat. Rombongan ketopraknya berpentas di Wado, pinggiran Blora. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)
“Meledak pertama di Pandan Simping,” ingatan Randimo melayang ke suatu tempat tak jauh dari kompleks Candi Prambanan. Di kolong jembatan yang menghubungkan Yogyakarta dan Klaten, ratusan warga dan pemain ketoprak yang diduga simpatisan LEKRA dibantai. “[Ketika itu] saya berada di barat jembatan sedang klonengan—bermain gamelan.”
Randimo menyaksikan jalanan sudah dijejali tentara. Sampai saat itu pun dia belum menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, sementara dengan keheranan dia mendengar orang-orang berbisik, “Geger PKI! Geger PKI!”
Sejak munculnya upaya pembersihan orang-orang yang diduga terkait PKI pasca-September 1965, banyak teman-teman Randimo yang menghilang. Pemain ketoprak diambil satu-satu saat pentas, bahkan pesinden turut terciduk. Kelompok yang aman adalah para niyaga, atau penabuh gamelan—mungkin dianggap tidak terlalu berbahaya. Celakanya, warga yang tidak tahu menahu soal LEKRA pun dibasmi. “Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya.
“Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi, alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
“Satu kelurahan pria tinggal lima—semuanya kena,” ujarnya. “Teman ketoprak saya banyak sekali yang kena. Tapi,alhamdulillah ada yang tidak dibunuh. Saya selamat.”
Saya bertanya kepada Randimo, bagaimana dia bisa selamat?
Randimo mengatakan bahwa dia selamat karena saat geger itu dia berganti peran, bukan sebagai pemain ketoprak melainkan sebagai petugas berseragam tentara. Dia bertugas di sebuah kantor kecamatan selama tiga tahun. “Saya jaga dengan baret merah berlambang PNI banteng, keliling operasi dengan sepatu kedodoran karena lungsuran,” ujarnya jenaka. “Bangga sekali sampai pulang pun malas untuk melepas sepatu. Saya aman!”
Meskipun terjadi guncangan yang hebat bagi dunia kesenian pada akhir 1965, ketoprak mulai bangkit tertatih-tatih pada tahun berikutnya dan eksis kembali sekitar 1968. “Memang ketoprak pasca-G-30-S bukan tidak diperbolehkan atau dilarang,” ujar Randimo sambil menjepit sebatang rokok kretek dengan bibirnya. Dia memantik korek api, lalu mengembuskan asapnya. “Cuma takut!”
Randimo, berbusana hitam, dalam sebuah adegan pementasan ketoprak di Taman Balekambang Surakarta. Ketoprak modern awalnya lahir dalam naungan payung Kasunanan Surakarta pada awal abad ke-20. Namun, berkembang di Kasultanan Yogyakarta sehingga dikenal istilah Ketoprak Mataraman. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Ketoprak tersangkut dalam keruwetan masalah politik, meskipun pemainnya tidak berpolitik. Pemain ketoprak saat itu umumnya tidak bersekolah. Para pemainnya tidak mengerti soal uang, mereka hanya mengharap bisa menunaikan ibadah makan, sehingga pernah ada istilah kotoprak madhang—atau ketoprak makan.
Ketika militer dipakai untuk menumpas orang-orang yang terlibat PKI, Randimo dan rekan-rekan sejawatnya justru ditanggap untuk menghibur satu batalyon asal Jawa Timur yang sedang bertugas di Cilacap. “Tiga bulan di Cilacap bersama Ranto Gudel,” kenangnya tentang suatu masa pada awal Orde Baru. “Penghibur tentara pascagestok.”
Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—pada masa itu telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia.
Selama Orde Baru, lagi-lagi kesenian digunakan untuk melegitimasi kekerasan dalam peristiwa pembantaian massal orang-orang yang diduga terkait komunisme. Kekerasan budaya itu dianggap sebuah kewajaran, sekaligus merupakan pembenaran terhadap antikomunisme. Propaganda politik lewat kesenian—sastra dan film—telah membuat masyarakat Indonesia terjangkiti paranoia. Kendati sebagian orang telah menyadarinya, dampak kebijakan itu masih dirasakan hingga hari ini.
Ketoprak memang telah menjadi corong paling cerdas yang mudah ditangkap oleh indera masyarakat. Keterlibatan ketoprak dalam panggung politik pada awal Republik ini berdiri, akhirnya nyaris membinasakan ketoprak itu sendiri—dan juga nyawa para senimannya. Bagi Randimo, perjalanan hidupnya telah menyimpulkan bahwa para pemain ketoprak itu “belajar dipanggung, pandai juga dari panggung. Tidak berpolitik tetapi dipakai untuk politik.”
Seorang pemain ketoprak tengah merentang kain jarik yang menjadi busana panggungnya. Malam itu para seniman ketoprak Desa Tanjung, Kabupaten Blora, tengang berpentas di desa tetangga. (Dwi Oblo/National Geographic Indonesia)
Bermain api hangus bermain air basah...
ReplyDelete