Siapa yang tidak kenal bajai. Kendaraan sederhana ini selalu menemani hari-hari semasa saya belajar di Mumbai. Hal ini dikarenakan bajai di Mumbai mudah didapat, memakai argo dan jelas tarifnya murah. Memang awalnya sulit, mengingat umumnya supir bajai ini tidak bisa berbahasa Inggris. Maka dengan Hindi yang terbata-bata, saya menuntun mereka untuk menuju tempat yang saya inginkan. Yang membedakan supir bajai di India dengan Jakarta adalah mereka sangat mudah menolak penumpang, seringkali malas memutar balik, terlebih jika penumpang ingin bepergian ke arah yang berlawanan. Entah kenapa, supir bajai ini cenderung belok ke arah kiri. Benar-benar menjengkelkan.
Tak kenal maka tak sayang. Karena saya memang sayang akan kendaraan beroda tiga yang setia mengantar saya ke mana saja ini, tak pelak lagi saya pun tertarik mencari tahu tentangnya. Ternyata benar bajai itu berasal dari India. Kendaraan yang di India disebut “auto” ini (walau beberapa turis masih menyebutnya “tuk-tuk”) dibuat oleh perusahaan Bajaj Group, yang didirikan oleh Jamnalal Bajaj di Rajasthan pada tahun 1930-an. Pada tahun 1959, perusahaan ini diizinkan oleh pemerintah India untuk membuat kendaraan beroda dua dan tiga. Perusahaan ini semakin berkembang, hingga dalam kurun waktu setahun terakhir, mereka telah menjual sekitar 480.000 kendaraan roda tiga yang hampir setengahnya di ekspor ke luar India. Jumlah yang sangat fantastis.
Bila bajai di Jakarta umumnya berwarna merah dan biru (sehingga sering diplesetkan sebagai BMW, singkatan dari “Bajai Merah Warnanya”), maka di Mumbai atau Delhi bajai ini biasanya berwarna hitam, dengan argo yang terletak di sisi kiri. Hal yang berbeda saya temui ketika saya menjelajahi wilayah Rajashtan, India. Di wilayah ini, tampak berbagai penampakan dari kendaraan beroda tiga kesayangan saya ini. Secara garis besar, bajai di sana akan diwarnai dengan ornamen warna-warni sesuai khas daerah masing-masing. Yang menjadi favorit saya adalah bajai yang berada di wilayah Juhunjhunu, Rajashtan. Tampak bajai dipenuhi pita warna-warni, lukisan dewa-dewinya dan lonceng. bajai di Jaisalmer biasanya lebih sederhana, berwarna kebiruan. Sedangkan di wilayah Jodhpur, bajai berbentuk lebih ramping dan berhiaskan pita, namun bagian belakangnya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menampung penumpang lebih banyak. Variasi lainnya, ada bajai yang tampak berbentuk sedikit ‘bulat’ dengan warna kekuningan seperti ikan mas koki.
Umumnya bajai diperuntukkan untuk tiga penumpang di belakang dan seorang supir demi alasan keamanan. Walau jumlah ini juga disesuaikan dengan besarnya badan penumpang. Berhubung teman-teman saya dari Tanzania umumnya bertubuh besar, dengan sendirinya tiga orang di belakang akan membuat sesak. Namun jangan salah, di India 10 orang pun bisa muat di dalam satu bajai. Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggelengkan kepala bila melihat supir bajai duduk berimpitan dengan dua hingga empat penumpang di depan. Terkadang polisi bisa menegur bila melihat situasi ini. Namun bukan supir bajai namanya kalau tidak bisa berdalih. Penumpang ekstra tersebut akan turun saat berpapasan dengan polisi untuk kemudian naik kembali setelah berada cukup jauh.
Berbagai wajah bajai dapat ditemukan di India dengan semua ciri khasnya. Namun kesamaannya tetap ada, tetap berjalan dengan bunyi yang berisik dan hanya supir bajai (dan Tuhan) yang tahu kapan mereka akan belok.
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook