NAFAS Ponijan Makun sempat tercekat ketika pertama menatap rumah transmigran di Desa Sari Putih, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah. Di tempat itulah dia mengawali adu nasib sebagai transmigran pada 1998.
--------------- Laporan M. Hilmi Setiawan, Jakarta ---------------
Untuk menjangkau lokasi penempatan transmigran itu, Ponijan bersama Ponirah, istrinya, harus naik bus satu hari satu malam dari rumah orang tua istrinya di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Setelah naik bus, perjalanan dilanjutkan dengan naik ojek melewati jalan setapak.
"Nelangsa sekali. Rumahnya seperti kandang sapi," ujar pria berdarah Banyuwangi itu. Istri Ponijan sempat menangis dan berniat ingin kembali ke Waimital. Tetapi, Ponijan berhasil merayu istrinya. Mereka akhirnya bertekad bulat menjadi keluarga transmigran. Dia menuturkan, kondisi rumah transmigran yang ditempatinya benar-benar akan roboh. Ukuran bangunannya sekitar 6 x 4 meter dan memiliki 2 kamar tidur, 1 ruang tamu, dan dapur terbuka di bagian belakang.
Belum ada rumah berdinding bata di seluruh wilayah transmigran Desa Sari Putih itu.
"Rumah yang saya tempati berdinding papan. Banyak yang bolong karena terlepas," terang Ponijan.
Untung, dia bersama istri dan kedua anaknya, Iwan Ponijan dan Nurhayati Ponijan, bisa melewati malam pertama dengan lancar. Dia mengaku tetap bisa tertidur pulas. Keesokan harinya Ponijan langsung memprioritaskan pembenahan rumah yang ditinggali. Dia masih ingat, di kawasan transmigran itu terdapat sekitar 300 kepala keluarga (KK). Tetapi, jarak antara satu KK dan yang lainnya cukup jauh, sekitar 200 meter. Setelah benah-benah rumah beres, dia mulai melihat-lihat tanah yang akan digarap. Ya, selain rumah tinggal dan pekarangannya, pemerintah mengganjar setiap transmigran dengan tanah 5 hektare. Tapi, itu adalah tanah mati yang harus bisa dioptimalkan agar menjadi produktif.
Ponijan sempat agak kesulitan ketika harus menggarap lahan tersebut. Sebab, sebelumnya dia menekuni profesi atlet bola voli.
"Saya mentok menjadi anggota atlet mewakili kabupaten (Seram Bagian Barat, Red)", tandas pria bertinggi sekitar 180 cm itu. Dia banting setir dari atlet bola voli karena tidak mendapatkan penghasilan yang layak. Job sebagai pemain voli tarkam tidak rutin dia terima setiap bulan. Dengan bekerja serabutan dan kadang-kadang menerima tawaran bermain voli, penghasilan rutinnya sekitar Rp 500 ribu dalam sebulan. Penghasilan itu tentu sulit memenuhi kebutuhan layak keluarganya. Akhirnya dia tidak menyia-nyiakan lowongan menjadi transmigran. Dia berketad mengubah nasib menjadi lebih baik. Kebetulan dulu ayahnya juga seorang transmigran.
Awal mengolah lahan, Ponijan menanaminya dengan sayur-sayuran. Hasil yang dia dapat tidak terlalu menggembirakan. Namun, Ponijan berhasil membaca peluang bisnis lain di pusat transmigran yang baru beberapa tahun terakhir mendapat aliran listrik itu. Peluang tersebut adalah membantu rekan-rekan sesama transmigran lainnya menjualkan hasil panen. Misalnya, jagung, kacang tanah, kedelai, dan buah-buahan. Sebelumnya hasil panen sering menumpuk di rumah transmigran. Barang itu baru terjual jika ada tengkulak yang datang dari kota. Kedatangan tengkulak tersebut sering terpengaruh cuaca. Sebab, ketika musim hujan, jalan menuju pusat transmigran kerap terputus gara-gara lumpur tebal.
"Saya akhirnya berbisnis jasa. Modalnya kepercayaan tetangga," kata Ponijan.
Dia menjual hasil penen para tetangganya ke Sorong, Papua Barat. Ponijan membawa berkarung-karung hasil panen dari kampung transmigran menuju Pelabuhan Kobi di Seram Utara. Dia hampir tak mengeluarkan modal dalam bisnis jasa itu. Pasalnya, para pemilik hasil panen cukup meminta hasil penjualan dari Ponijan. Penghasilan sebagai penjual hasil panen ke Sorong itu lumayan besar. Ponijan mengaku, dalam sekali penjualan hasil pertanian di Sorong, dirinya berhasil mendapatkan komisi hingga Rp 25 juta. Dia melakukan pekerjaan itu hingga berhasil membeli sepeda motor dan mobil keluarga.
Awal-awal menjual hasil panen ke Sorong, Ponijan mengaku tidak langsung laku. Dia bahkan harus berminggu-minggu berada di Sorong. Di sela-sela berdagang, dia bekerja sebagai tukang ojek. Setelah hasil panen habis terjual, dia baru kembali ke kampung transmigran. Meskipun penghasilannya sebagai penjual hasil panen ke Sorong cukup besar, Ponijan tidak melupakan penggarapan tanah layaknya transmigran lainnya. Dia berkebun pisang dan sayur-sayuran di lahan masing-masing 2 hektare.
Setelah setahun menjadi transmigran, konflik berdarah pecah di Ambon. Beberapa saat sebelum konflik itu terjadi, Ponijan membuka lini usaha lain. Yaitu, berdagang sapi. Sapi-sapinya dia jual ke warga sekitar hingga ke Sorong. Di tengah bisnis dagang sapinya mulai tumbuh, Ponijan menuturkan, banyak transmigran di daerah konflik Ambon yang ketakutan. Mereka lantas menjual sapi-sapinya dengan harga murah. Ponijan menceritakan, dirinya biasanya membeli sapi sekitar Rp 7 juta per ekor. Kemudian, dia jual ke Sorong dan daerah lain sekitar Rp 15 juta per ekor. Nah, ketika konflik Ambon pecah, harga sapi jatuh menjadi sekitar Rp 3 juta per ekor. Itu saja sapinya sedang kondisi hamil.
"Harganya murah sekali", tandasnya. Atas ketekunan dan keuletannya bisnis sapi, sekarang Ponijan mengaku memiliki 112 sapi. Jika dirata-rata satu sapi laku Rp 10 juta, aset Ponijan saat ini mencapai Rp 1,1 miliar. Selain itu, kegiatannya mengolah lahan pertanian dan berdagang sapi bisa menghasilkan omzet hingga Rp 900 juta per tahun. Atas capaian itu, Ponijan dikukuhkan sebagai Transmigran Teladan 2014.
Bersama para transmigran lainnya, dia berkesempatan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah upacara bendera 17 Agustus lalu. Dia mengatakan, saat ini infrastruktur di lokasi transmigrasi sudah membaik. Jalan-jalan sudah dipadatkan dengan batu, paparnya. Itu memudahkan akses menjual barang ke kota. Ponijan pun sudah tidak lagi membantu tetangganya menjual hasil panen ke Sorong. Sebab, saat ini para tengkulak sudah gampang menuju tempat tinggalnya. Kehidupan keluarga Ponijan sekarang juga lebih sejahtera. Anak sulungnya, Iwan Ponijan, yang lahir pada 1983 menjadi prajurit TNI Angkatan Darat. Kemudian, anak keduanya, Nurhayati Ponijan, yang lahir pada 1996 baru menamatkan S-1 keperawatan. Dia mengaku bersyukur karena menemukan jalan hidup baru dengan menjadi seorang transmigran. (*/c10/sof)
Post a Comment Blogger Facebook