Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Pada tulisan sebelumnya (Puasa Syiah Vs Puasa Nabi Bagian 01), kita telah menyebutkan sisi perbedaan antara syariat puasa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan tradisi puasa yang diajarkan dalam agama Syiah. Kita masih menyisakan beberapa ajaran puasa Syiah, berikut diantaranya,
Pertama, berbuka setelah awan merah menghilang
Salah satu kebiasaan Syiah adalah berbuka setelah betul-betul
masuk waktu malam. Di saat awan merah di ufuk telah menghilang dan
bintang mulai terbit.
Dalam kitab Wasail As-Syi’ah karya Muhammad bin Al-Hasan Al-Hur Al-Amili, dinyatakan,
باب ان وقت الافطار هو ذهاب الحمرة المشرقية فلا يجوز قبله
Bab: waktu berbuka adalah sampai hilangnya mega merah di ufuk timur, dan tidak boleh sebelumnya.
Di bawah judul bab ini, selanjutnya dia membawakan beberapa riwayat dusta atas nama Ahlul Bait, diantaranya:
عن زرارة قال : سألت أبا جعفر عليه السلام عن وقت إفطار الصائم؟ قال : حين يبدو ثلاثة أنجم
Dari Zurarah, saya pernah bertanya kepada Abu Ja’far – alaihis
salam – tentang waktu berbuka bagi orang yang puasa? Beliau menjawab:
‘Ketika telah terbit 3 bintang.’
Abu Ja’far : cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau bergelar
Al-Baqir. Salah satu ulama ahlus sunah yang dikultuskan Syiah. Dan satu
kedustaan, beliau memfatwakan demikian.
Al-Hur Al-Amili memberi komentar,
هذا محمول على من خفي عليه المشرق فلم يعلم ذهاب الحمرة إلا بظهور
النجوم كما مر في مواقيت الصلوات ، أو على استحباب تقديم الصلوات على
الافطار وحينئذ تبدو ثلاثة أنجم ، ذكره بعض المتأخرين
Ini dipahami bahwa orang yang tidak mengetahui arah timur,
sehingga dia tidak tahu hilangnya awan merah kecuali setelah terbit
bintang, sebagaimana penjelasan dalam waktu-waktu shalat atau dianjurkan
untuk mendahulukan shalat (maghrib) dari pada berbuka. Sehingga setelah
itu terbit 3 bintang. Demikian yang dijelaskan ulama mutaakhirin
(Syiah). [Wasail As-Syiah, hlm. 124 – 125]
Keterangan ini yang selanjutnya dipraktekkan masyarakat penganut
agama Syiah di masa ini. Termasuk komunitas Syiah di indonesia.
Sebagaimana pengakuan beberapa orang yang pernah mengikuti kegiatan buka
bersama yang diadakan kelompok Syiah indonesia.
Jika kita perhatikan, apa yang dipraktekkan oleh Syiah dalam
kebiasaan berbuka ini, sama persis sebagaimana kebiasaan orang yahudi
dan nasrani. Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدين ظاهراً، ما عجّل النّاس الفطر؛ لأنّ اليهود والنّصارى يؤخّرون
“Agama Islam akan senantiasa menang, selama masyarakat (Islam)
menyegerakan berbuka. Karena orang yahudi dan nasrani mengakhirkan waktu
berbuka.” (HR. Ahmad 9810, Abu Daud 2353, Ibn Hibban 3509 dan statusnya
hadia hasan).
Dalam riwayat lain, itu disebabkan orang yahudi suka mengakhirkan waktu maghrib sampai terbit bintang. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sengaja menunda shalat maghrib hingga terbit bintang,
لَا تَزَالُ أُمَّتِي عَلَى الْفِطْرَةِ، مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُومُ
“Umatku akan senantiasa berada di atas fitrah, selama tidak
menunda waktu maghrib sampai bintang-bintang mulai terbit.” (HR. Ahmad
15717, Ibn Majah 689, dan statusnya Hasan).
Kebiasaan berbuka puasa orang Syiah ini berbeda dengan apa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau menganjurkan kepada umat Islam untuk menyegerahkan berbuka.
Segera berbuka sejak bulatan matahari sudah tenggelam, meskipun awan
merah masih merekah di ufuk barat.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تزال أمَّتي على سُنَّتي ما لم تنتظر بفطرها النّجوم
“Umatku akan senantiasa berada di atas sunahku, selama mereka tidak menunggu waktu berbuka dengan terbitnya bintang.”
Sahabat Sahl mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika puasa, beliau
pernah menyuruh seseorang. Ketika orang ini mengatakan, ‘Matahari telah
tenggelam’ maka beliaupun langsung berbuka.” (HR. Ibn Khuzaimah dalam
Shahihnya 3/275, dan sanadnya shahih).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbuka pada saat awan merah di langit masih sangat cerah, hingga sebagian sahabat menyebutnya masih siang.
Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
سَفَرٍ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، فَلَمَّا غَابَتِ الشَّمْسُ قَالَ: «يَا
فُلَانُ، انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ
عَلَيْكَ نَهَارًا، قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا» قَالَ: فَنَزَلَ
فَجَدَحَ، فَأَتَاهُ بِهِ، فَشَرِبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Kami pernah melakukan perjalanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di bulan Ramadhan, dan saat itu beliau puasa. Ketika matahari sudah
terbenam, beliau memanggil sahabat yang di atas kendaraan, ‘Wahai Fulan,
turun, kita buat minuman.’ Sahabat ini menjawab, ‘Wahai Rasulullah,
sekarang masih siang.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
menyuruhnya, ‘Turun, kita siapkan minuman.’ Orang inipun turun, kemduian
menyiapkan minuman dari sawiq dan dihidangkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliaupun meminumnya. (HR. Bukhari 1956 & Muslim 1101).
Dari keterangan sahabat yang disuruh turun: ‘Wahai Rasulullah,
sekarang masih siang’ karena dia melihat suasana langit yang masih
terang merah setelah bulatan matahari terbenam. Sehingga dia menyangka
belum boleh berbuka.
Ketika menjelaskan hadis di atas, Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
في الحديث استحباب تعجيل الفطر ، وأنه لا يجب إمساك جزء من الليل مطلقا ، بل متى تحقق غروب الشمس حل الفطر
Hadis ini menunjukkan dianjurkannya menyegerahkan berbuka, dan
tidak wajib melanjutkan puasa hingga betul-betul malam. Akan tetapi,
jika sudah yakin matahari telah terbenam, halal untuk berbuka. (Fathul
Bari, 4/197).
Celaan Imam An-Nawawi untuk Syiah
Dalam karyanya, Syarh Shahih Muslim, Imam An-Nawawi mengatakan,
المغرب تُعَجَّل عقب غروب الشمس ، وهذا مجمع عليه ، وقد حُكِيَ عن الشيعة فيه شيء لا التفات إليه ، ولا أصل له
“Waktu maghrib segara setelah terbenamnya bulatan matahari.
Inilah yang disepakati umat Islam. Dikisahkan dari orang Syiah yang
berbeda dengan ini, tidak perlu digubris dan itu tidak berdasar.” (Syarh
Shahih Muslim, 5/136).
Kedua, hubungan intim ketika puasa
Yang tidak akan pernah ketinggalan ketika membahas Syiah, masalah
ranjang dan kemaluan. Untuk menemukan fatwa unik mereka tentang itu,
sangat mudah dan sangat banyak. Dari mulai nikah mut’ah, mengawini
binatang, homo, hingga menjadikan istri orang sebagai gundik mut’ah.
Jika anda membaca fatwa tokoh-tokoh mereka tentang masalah seks, anda
mungkin akan berkesimpulan, sebagian besar penduduk iran adalah anak
zina. Saking merebaknya zina legal (mut’ah) di iran.
Tak heran, jika banyak wanita iran korban mut’ah yang bertahan
hidup dengan ganti-ganti pasangan mut’ah. Sebuah video dokumenter, bisa
anda saksikan di:
Iran-Prostitution Behind the Veil
Atau video: Mut’ah: The Truth Behind Iran’s Illegal Prostitution Rings
Tidak bisa dibayangkan, ketika Syiah berkembang di indonesia dan mut’ah dilegalkan, bagaimanakah nasib para wanita indonesia ketika itu?.
Tak terkecuali seks ketika Ramadhan. Mereka memberi kelonggaran
sangat luas bagi umat Syiah untuk memuaskan dirinya dengan mukadimah
hubungan. Boleh secara sengaja melakukan pemanasan, selama tidak sengaja
melakukan hubungan.
Dalam kitab Minhaj As-Shalihin, karya Al-Khou’i, dia menjelaskan,
لا يبطل الصوم اذا قصد التفخيذ فدخل في أحد الفرجين من دون قصد .
ولو قصد الجماع وشك في الدخول او بلوغ مقدار الحشفة بطل صومه ولكن لم تجب
الكفارة عليه
Tidak batal puasa seseorang yang melakukan petting, kemudian
secara tidak sengaja zakar masuk ke salah satu lubang (qubul atau
dubur). Jika sengaja jimak, namun ragu apakah tadi sudah masuk semua
atau ragu berapa yang sudah masuk dari hasyafah, maka puasanya batal,
namun dia tidak wajib membayar kaffarah. (Minhaj As-Shalihin, 1/263).
Subhanallah…
Dimanakan rasa malu mereka terhadap kehormatan bulan Ramadhan.
Sementara Allah dan rasul-Nya menyebut orang yang puasa sebagai orang
yang meninggalkan syahwat untuk Allah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
Allah berfirman, “Puasa itu milik-Ku, Aku sendiri yang akan
membalasnya. Orang yang puasa meninggalkan syahwatnya, makan-minumnya
karena-Ku.” (HR. Bukhari 7492, Muslim 1151 dan yang lainnya).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang orang yang puasa untuk melakukan rafats, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ
“Puasa adalah tameng, karena itu, janganlah dia melakukan rafats
dan bertindak bodoh…” (HR. Bukhari 1894, Muslim 1151, dan yang lainnya).
Yang dimaksud rafats adalah melakukan hubungan badan dan mukadimahnya.
Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan dan tipu daya Syiah.
Oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)