Pada suatu hari, Umar bin Khathab menemukan sahabat Muadz Ibnu Jabal sedang menangis di dekat makam Rasul.
Jawabnya, "Aku teringat apa yang dikatakan oleh Rasulullah, sedikit riya adalah syirik. Siapa memusuhi kekasih Allah, Allah SWT murka dan menyatakan perang kepadanya.”
“Allah mencintai orang-orang takwa (al-atqiya') yang menyembunyikan kebaikan (al-akhfiya'), yaitu orang-orang yang jauh dari popularitas, tetapi hati mereka menjadi penerang alias pencerah alam jagat raya." (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini membicarakan orang-orang dengan tingkat kemuliaan yang sangat tinggi. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tulus dalam agama, jauh dari sikap gembar-gembor dan popularitas.
Mereka sama sekali tak dikenal sebagai tokoh, publik figur, apalagi ulama besar. Tapi, jiwa mereka adalah mashabih al-huda, atau obor pencerahan, bak bintang-bintang yang menyibak kegelapan malam.
Pertama, iman dan akidah mereka benar dan kuat, terlepas dari unsur kemusyrikan, baik yang nyata (jaliy) maupun yang laten (khafiy). Jiwa mereka bersih dan terang lantaran tak ada kekuatan lain yang mendominasi jiwa mereka selain Allah SWT. Mereka lebih mencintai Allah ketimbang apa pun dan siapa pun juga (wa ahabba ila Allah min ma siwah).
Kedua, mereka adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, sehingga mereka dikasihi dan dicintai oleh Allah (wali Allah). Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa (QS. Yunus [10]: 62-63).
Dalam hadis sahih, wali Allah menunjuk kepada orang-orang yang mampu melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, tak hanya yang berstatus wajib (al-mafrudhat), tetapi juga yang sunah (al-nawafil) sebagai tambahan keutamaan (fadhail). (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Ketiga, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas dalam agama. Sembah sujud dan kebaikan yang mereka lakukan benar-benar karena Allah, tanpa pamrih dan tanpa ada motivasi lain yang bersifat duniawi.
Dengan tingkat ketulusan seperti ini, bagi mereka sama saja antara pujian dan cercaan manusia, tak ada yang bernilai selain perkenan dan rida Allah. Bukan watak dari orang-orang ini, mengingat-ingat kebaikan, apalagi menyebut-nyebutnya disertai caci-maki (al-mannu wa al-adza).
Dengan tingkat moralitas dan spiritualitas itu, tak heran bila mereka diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Di antaranya, doanya selalu didengar dan diterima. (HR. Bukhari dari Anas Ibnu Nadhar).
Secara kuantitas, jumlah sang pencerah ini memang tidak banyak. Tapi, kekuatan iman, ibadah, dan amal mereka membuat mereka menjadi pakubuwono, yaitu tiang penguat jagat raya.
Tanpa mereka, alam ini sudah lama ditenggelamkan oleh Allah SWT. Tentu, kita semua berutang budi kepada para pencerah ini. Wallahu a`lam.
"Ma Yubkika, ya Muadz?" (Apa yang membuatmu menangis, hai Muadz),” tanya Umar.
Jawabnya, "Aku teringat apa yang dikatakan oleh Rasulullah, sedikit riya adalah syirik. Siapa memusuhi kekasih Allah, Allah SWT murka dan menyatakan perang kepadanya.”
“Allah mencintai orang-orang takwa (al-atqiya') yang menyembunyikan kebaikan (al-akhfiya'), yaitu orang-orang yang jauh dari popularitas, tetapi hati mereka menjadi penerang alias pencerah alam jagat raya." (HR. Ibnu Majah).
Hadis ini membicarakan orang-orang dengan tingkat kemuliaan yang sangat tinggi. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar tulus dalam agama, jauh dari sikap gembar-gembor dan popularitas.
Mereka sama sekali tak dikenal sebagai tokoh, publik figur, apalagi ulama besar. Tapi, jiwa mereka adalah mashabih al-huda, atau obor pencerahan, bak bintang-bintang yang menyibak kegelapan malam.
Mereka menjadi obor pencerahan lantaran memiliki kekuatan moral dan spiritual yang amat tinggi. Seperti hadis di atas, mereka setidak-tidaknya memiliki tiga kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang lain atau manusia pada umumnya.
Pertama, iman dan akidah mereka benar dan kuat, terlepas dari unsur kemusyrikan, baik yang nyata (jaliy) maupun yang laten (khafiy). Jiwa mereka bersih dan terang lantaran tak ada kekuatan lain yang mendominasi jiwa mereka selain Allah SWT. Mereka lebih mencintai Allah ketimbang apa pun dan siapa pun juga (wa ahabba ila Allah min ma siwah).
Kedua, mereka adalah orang-orang yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, sehingga mereka dikasihi dan dicintai oleh Allah (wali Allah). Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa (QS. Yunus [10]: 62-63).
Dalam hadis sahih, wali Allah menunjuk kepada orang-orang yang mampu melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, tak hanya yang berstatus wajib (al-mafrudhat), tetapi juga yang sunah (al-nawafil) sebagai tambahan keutamaan (fadhail). (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Ketiga, mereka adalah orang-orang yang tulus ikhlas dalam agama. Sembah sujud dan kebaikan yang mereka lakukan benar-benar karena Allah, tanpa pamrih dan tanpa ada motivasi lain yang bersifat duniawi.
Dengan tingkat ketulusan seperti ini, bagi mereka sama saja antara pujian dan cercaan manusia, tak ada yang bernilai selain perkenan dan rida Allah. Bukan watak dari orang-orang ini, mengingat-ingat kebaikan, apalagi menyebut-nyebutnya disertai caci-maki (al-mannu wa al-adza).
Dengan tingkat moralitas dan spiritualitas itu, tak heran bila mereka diberi keistimewaan oleh Allah SWT. Di antaranya, doanya selalu didengar dan diterima. (HR. Bukhari dari Anas Ibnu Nadhar).
Secara kuantitas, jumlah sang pencerah ini memang tidak banyak. Tapi, kekuatan iman, ibadah, dan amal mereka membuat mereka menjadi pakubuwono, yaitu tiang penguat jagat raya.
Tanpa mereka, alam ini sudah lama ditenggelamkan oleh Allah SWT. Tentu, kita semua berutang budi kepada para pencerah ini. Wallahu a`lam.