Bagi saya kelimutu adalah bagian terindah dari trip kali ini, melebihi ke inginan saya untuk mengunjungi pulau komodo atau destinasi lain di Flores. Entah kenapa, kelimutu begitu membetot perhatian saya sejak saya mengenalnya di selembar uang kertas Rp. 5000 sedari saya duduk di bangku sekolah dasar. Saat beberapa teman saya berhasil menyambangi danau – danau cantik di kelimutu, saya semakin berhasrat untuk mendatanginya bagai mana pun caranya. Dan disinilah kuasa tuhan yang berperan. Kita cukup bermimpi dan berdoa, biarkan allah yang mengatur segalanya , dan dia akan memuluskan jalan kita. Jadi jangan pernah berhenti bermimpi ya, apapun itu.
***
Semburat fajar belum nampak jelas saat saya sudah rapi dan siap dengan backpack saya. Pagi ini saya dan hendra harus meninggalkan riung , meninggalkan keluarga dan teman baru yang begitu baik, demi melihat keindahan danau tiga warna (Danau Kelimutu) yang berada di kabupaten Ende. Sebelum melepas kepergian kami, ibu , bapak serta niuk menemani kami sarapan sembari menunggu bis yang akan menjemput kami (no telpon supir bis (Pak Gerord) 081353990737 ). Pagi ini kami sarapan roti khas flores (lupa namanya) dan secangkir kopi flores yang nikmat. Pukul 6 pagi, bis yang akan kami tumpangi sudah menjemput ke depan rumah, dengan berat hati saya harus meninggalkan keramahan niuk dan keluarga. Perjalanan dari Riung ke Ende akan kami tempuh selama kurang lebih 4 jam. Mobil bis yang kami tumpangi berukuran lebih kecil dari bis yang membawa kami ke Riung dari Bajawa, mobil ini serupa dengan mobil elf. Selain bis (elf) di sini juga terdapat damri yang siap mengantar kita ke Ende, tapi damri tidak tersedia setiap hari, dan kebetulan hari itu damri sedang tidak beroprasi. Dari Riung mobil yang kami tumpangi akan melewati Mbay. Perjalanan dari Mbay menuju Ende adalah perjalanan yang begitu indah, namun karena posisi duduk yang kurang nyaman dan pandangan saya terhalang , jadi saya harus puas memejamkan mata saja menikmati perjalanan ini.
Memasuki wilayah ende, bis akan berjalan persis di pinggir pantai yang memiliki bebatuan berwarna hijau tua. Dari kejauhan, pulau ende juga nampak begitu anggun di sebrang lautan.
Memasuki wilayah ende, bis akan berjalan persis di pinggir pantai yang memiliki bebatuan berwarna hijau tua. Dari kejauhan, pulau ende juga nampak begitu anggun di sebrang lautan.
Tak begitu lama, mobil yang kami tumpangi sampai di terminal Ndao (Terminal untuk mobil – mobil yang akan ke arah barat; Bajawa,Ruteng atau Labuan Bajo). Berdasarkan petunjuk dari ayah dan ibunya niuk, kami jangan turun di terminal ini, dan kami meminta sama supirnya untuk di turunkan di terminal / tempat mobil yang akan ke moni. Untuk hal itu kami harus memberi uang “jatah” pada ojek – ojek (kata salah satu penumpang sih mereka itu ojek) yang gaya nya sok preman yang mangkal di terminal itu, 3k / orang.
Tak perlu bingung bagaimana memberi jatah pada preman – preman itu, karena begitu mobil mampir di terminal, maka akan ada banyak orang yang masuk ke mobil dan meminta jatah itu, dan jangan kaget jika mendengar adu argumen antara “si Preman” dan para penumpang lokal yang menolak memberi uang pada para preman (Kalau saya jadi orang lokal, saja juga pasti akan menolak, toh ini bukan sesuatu yang resmi). Saya sama sekali tak mengerti kenapa ada sistem seperti ini, dan hal ini membuat suasana tak begitu nyaman, sehingga menciptakan kesan pertama kota Ende yang buruk bagi saya. Lepas dari cengkraman para preman,mobil bis yang kami tumpangi menurunkan kami di sebuah pertigaan yang entah apa namanya (di pertigaan ini tertulis petunjuk arah ke Maumere dan ke IPI), setelah sebelumnya kami membayar tarif bis sebesar 40k / orang. Pak supir berkata kalau kami bisa menunggu bis yang akan ke Maumere (bis ini akan melewati Moni) di sini. Karena perut sudah sangat keroncongan , kami berjalan menyusuri jalan raya ke arah Maumere sembari berharap menemukan penjual nasi.
Kami terus berjalan sampai kami melewati sebuah pagar bertuliskan “Terminal Wolowona” yang sepertinya sudah berganti menjadi sebuah pasar tradisional, karena di terminal ini sudah tak ada mobil lagi melainkan lapak – lapak pedagang. Meski pun ini adalah kawasan pasar tradisonal, tapi kami cukup kesulitan menemukan warung makan, jika ada pun pasti sedang tutup. Kami terus berjalan sembari berharap bis ke Maumere akan segera lewat. Sampai ahirnya kami di serbu oleh beberapa bapak – bapak yang berlarian ke arah kami, mereka bertanya kemana tujuan kami. Begitu mengetahui tujuan kami adalah Moni, mereka langsung menawarkan harga 40k/ orang untuk mengantarkan kami sampai ke moni. Setelah tawar menawar, ahirnya kami sepakat di harga 25k/ orang (seharusnya bisa lebih murah 5k/ orang). Kami di suruh menunggu sebentar di sebuah pangkalan mobil travel (mobil – mobil ini khusus mobil travel yang ke arah timur ; Mumere dan Larantuka ) sembari menunggu penumpang lain.
Tak perlu bingung bagaimana memberi jatah pada preman – preman itu, karena begitu mobil mampir di terminal, maka akan ada banyak orang yang masuk ke mobil dan meminta jatah itu, dan jangan kaget jika mendengar adu argumen antara “si Preman” dan para penumpang lokal yang menolak memberi uang pada para preman (Kalau saya jadi orang lokal, saja juga pasti akan menolak, toh ini bukan sesuatu yang resmi). Saya sama sekali tak mengerti kenapa ada sistem seperti ini, dan hal ini membuat suasana tak begitu nyaman, sehingga menciptakan kesan pertama kota Ende yang buruk bagi saya. Lepas dari cengkraman para preman,mobil bis yang kami tumpangi menurunkan kami di sebuah pertigaan yang entah apa namanya (di pertigaan ini tertulis petunjuk arah ke Maumere dan ke IPI), setelah sebelumnya kami membayar tarif bis sebesar 40k / orang. Pak supir berkata kalau kami bisa menunggu bis yang akan ke Maumere (bis ini akan melewati Moni) di sini. Karena perut sudah sangat keroncongan , kami berjalan menyusuri jalan raya ke arah Maumere sembari berharap menemukan penjual nasi.
Kami terus berjalan sampai kami melewati sebuah pagar bertuliskan “Terminal Wolowona” yang sepertinya sudah berganti menjadi sebuah pasar tradisional, karena di terminal ini sudah tak ada mobil lagi melainkan lapak – lapak pedagang. Meski pun ini adalah kawasan pasar tradisonal, tapi kami cukup kesulitan menemukan warung makan, jika ada pun pasti sedang tutup. Kami terus berjalan sembari berharap bis ke Maumere akan segera lewat. Sampai ahirnya kami di serbu oleh beberapa bapak – bapak yang berlarian ke arah kami, mereka bertanya kemana tujuan kami. Begitu mengetahui tujuan kami adalah Moni, mereka langsung menawarkan harga 40k/ orang untuk mengantarkan kami sampai ke moni. Setelah tawar menawar, ahirnya kami sepakat di harga 25k/ orang (seharusnya bisa lebih murah 5k/ orang). Kami di suruh menunggu sebentar di sebuah pangkalan mobil travel (mobil – mobil ini khusus mobil travel yang ke arah timur ; Mumere dan Larantuka ) sembari menunggu penumpang lain.
Penginapan Sao Ria |
Kurang lebih 30 menit kami menunggu, ahirnya mobil travel yang kami tumpangi mulai meninggalkan pangkalan dan membelah jalanan Ende menuju Moni. Jalanan menuju Moni sama halnya seperti jalan – jalan di daratan flores lain, berliku – liku dan berbatasan dengan jurang. Di sepanjang jalan kami melihat begitu banyak tanaman jeruk yang sudah siap di panen. Daerah sekitar Moni memang merupakan penghasil buah – buahan di flores (kata bapaknya niuk) , jadi tak heran jika melihat lapak – lapak penjual buah – buahan segar di sepanjang jalan menuju Moni. Saat mobil mulai mendekati kawasan Moni, salah seorang penumpang menunjuk ke sebuah gapura di persimpangan jalan dan dia berkata itu adalah jalan ke Kelimutu.
Sontak kami menoleh,di dekat persimpangan ini terdapat penginapan mewah (baca; mahal) yaitu Kelimutu Eco Lodge yang di kelola oleh pemerintah. Setelah berkendara selam kurang lebih 1 jam, kami di turunkan di sebuah rumah makan bernama Nusa Bunga (kami yang meminta di turunkan di sini pada pak supir). Pemilik rumah makan Nusa Bunga ini memiliki sebuah penginapan yang harganya sesuai dengan kantong kami (nama penginapannya juga Nusa Bunga). Sayang, hari itu semua kamar di penginapan Nusa Bunga sedang penuh. Tapi untunglah mba – mba penjaga rumah makan Nusa Bunga memberitahu kami kalau di sebelah rumah makan ini juga ada sebuah penginapan, namanya Home stay Jhon (Sao Ria). Si mba penjaga rumah makan mengantarkan kami pada pemilik penginapan, om jhon namanya. Walau penginapan ini terlihat sangat kumuh dan usang, tapi tak apa lah, toh kami hanya menginap semalam saja dan harga yang di tawarkan cukup murah, 60k / malam untuk 2 orang dengan fasilitas dua buah tempat tidur dan kamar mandi di dalam.
Sontak kami menoleh,di dekat persimpangan ini terdapat penginapan mewah (baca; mahal) yaitu Kelimutu Eco Lodge yang di kelola oleh pemerintah. Setelah berkendara selam kurang lebih 1 jam, kami di turunkan di sebuah rumah makan bernama Nusa Bunga (kami yang meminta di turunkan di sini pada pak supir). Pemilik rumah makan Nusa Bunga ini memiliki sebuah penginapan yang harganya sesuai dengan kantong kami (nama penginapannya juga Nusa Bunga). Sayang, hari itu semua kamar di penginapan Nusa Bunga sedang penuh. Tapi untunglah mba – mba penjaga rumah makan Nusa Bunga memberitahu kami kalau di sebelah rumah makan ini juga ada sebuah penginapan, namanya Home stay Jhon (Sao Ria). Si mba penjaga rumah makan mengantarkan kami pada pemilik penginapan, om jhon namanya. Walau penginapan ini terlihat sangat kumuh dan usang, tapi tak apa lah, toh kami hanya menginap semalam saja dan harga yang di tawarkan cukup murah, 60k / malam untuk 2 orang dengan fasilitas dua buah tempat tidur dan kamar mandi di dalam.
Selesai dengan urusan penginapan, kami kembali ke rumah makan nusa bunga untuk mengisi perut yang sedari pagi belum terisi. Harga makan di sini bisa di bilang mahal, tapi tak apalah toh kami binggung mau mencari makanan di mana lagi. Untunglah mba – mba yang menjaga rumah makan ini begitu baik, jadi kami senang makan di tempat ini. Kami mengobrol banyak hal dengan si mba penjaga rumah makan, dari mulai cerita beliau yang baru beberapa bulan bekerja di rumah makan ini, sampai asal desa dia. Si mba juga memiliki 2 orang anak yang masih kecil – kecil, dan salah satunya adalah anak laki – laki yang baru berumur sekitar 5 tahun yang sedari tadi memperhatikan kami. Anak ini begitu menggemaskan (Jadi pengen punya anak,haha), dia begitu berani dan tak malu untuk mendekati kami, senyumnya yang manis dan kegemarannya di foto di depan kamera membuat kami sangat senang memotretnya.
Si mba menayakan apakah kami akan ke danau Kelimutu, dan apakah kami sudah memiliki kendaraan (ojek) yang akan mengantarkan kami ke sana. Setelah mengetahu kalau kami belum mempunyai kendaraan ke sana, si mba menawarkan untuk mencarikan ojek / motor untuk kami pakai. Si mba pun mengenalkan sodaranya pada kami, dia ini yang akan menyewakan motornya untuk kami. Sempat terjadi penawaran yang cukup alot sebelum ahirnya kami deal di harga 80k (sudah termasuk bensin). Dari rumah makan, kami menjelajah sudut kota moni yang lain dengan berjalan kaki. Sampai ahirnya kami bertemu dengan hamparan sawah dan kebun sayur. Di sana saya melihat seorang nenek renta sedang mengambil air untuk menyirami kubis – kubis yang dia tanam. Merasa tak tega (ke inget nenek saya), saya berinisiatif membantu si nenek untuk mengambil air, sampai ahirnya anaknya datang untuk membantu si nenek. Dari kebun sayur, kami kembali ke penginapan dan beristirahat lebih awal, karena besok sebelum subuh saya harus sudah berangkat ke kelimutu.
***
Pukul 3:30 pagi saya sudah terjaga dan sudah siap berangkat ke kelimutu. Sarung tangan, kaos kaki dan jaket tebal sudah melekat di tubuh saya. Bermodal motor sewaan yang sudah kami persiapkan tadi malam, kami mulai melaju di jalanan moni yang super dingin ke arah Kelimutu. Sebenarnya kami sama sekali tak paham jalan yang menuju ke kelimutu, kami hanya tahu di mana letak gerbang masuk menuju Kelimutu. Tapi untunglah, jalan ke kelimutu hanya ada satu jalan (tidak ada percabangan jalan) jadi ini sedikit mempermudah perjalanan kami. Motor terus hendra pacu menyusuri jalanan yang begitu sepi. Kondisi jalanan yang berliku dengan tanjakan – tanjakan curam serta tak ada penerangan jalan membuat hendra begitu berhati-hati mengendarai motor.
Saat hendra sibuk mencermati jalanan yang akan di lalui motor, saya juga sibuk dan terkesima melihat taburan bintang yang begitu memukai . Subuh itu langit begitu cerah, tak ada awan setitikpun, hal ini semakin memperjelas penglihatan saya akan ribuan bintang yang bertaburan di pekatnya malam Flores. Dari kejauhan saya melihat kerlap – kerlip lampu di moni yang sudah nampak begitu jauh.
Setelah menempuh perjalanan yang bisa di bilang exstrim selama kurang lebih 30 menit, kami sampai di pos pintu masuk menuju kelimutu. Subuh itu baru kami berdua saja wisatawan yang tiba di pos, bapak penjaga pos menyarankan kami menunggu wisatawan lain untuk menuju kelimutu (tempat parkir yang jaraknya masih sekitar 2-3 KM lagi dari pos masuk ini). Setelah membayar tiket masuk seharga 2,5k / orang dan mengisi daftar kunjungan , kami putuskan untuk melaju ke kelimutu dan tak menunggu wisatawan lain (Ngapain coba nungguin orang lain,heheh. Tapi saya tahu niat bapak itu baik, mungkin dia takut kami kenapa –kenapa).
Saat hendra sibuk mencermati jalanan yang akan di lalui motor, saya juga sibuk dan terkesima melihat taburan bintang yang begitu memukai . Subuh itu langit begitu cerah, tak ada awan setitikpun, hal ini semakin memperjelas penglihatan saya akan ribuan bintang yang bertaburan di pekatnya malam Flores. Dari kejauhan saya melihat kerlap – kerlip lampu di moni yang sudah nampak begitu jauh.
Setelah menempuh perjalanan yang bisa di bilang exstrim selama kurang lebih 30 menit, kami sampai di pos pintu masuk menuju kelimutu. Subuh itu baru kami berdua saja wisatawan yang tiba di pos, bapak penjaga pos menyarankan kami menunggu wisatawan lain untuk menuju kelimutu (tempat parkir yang jaraknya masih sekitar 2-3 KM lagi dari pos masuk ini). Setelah membayar tiket masuk seharga 2,5k / orang dan mengisi daftar kunjungan , kami putuskan untuk melaju ke kelimutu dan tak menunggu wisatawan lain (Ngapain coba nungguin orang lain,heheh. Tapi saya tahu niat bapak itu baik, mungkin dia takut kami kenapa –kenapa).
Jalan menuju puncak kelimutu (gambar di ambil pas pulang) |
Sesampainya di parkiran, di tengah remang – remang subuh kami di hampiri oleh ibu penjual minuman dan makanan kecil. Saya dan hendra memesan mie instan dalam cup untuk mengganjal perut dan memberi sedikit energi untuk tracking menuju danau kelimutu yang masih sekitar 1 KM lagi.
Tak begitu lama, bermunculan lah para wisatawan lain yang hampir semuanya adalah wisatawan asing. Udara di sini sangat dingin, jadi jangan lupa membawa jaket tebal dan meminum obat masuk angin sebelum naik biar badan hangat. Dari parkiran, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah tertata rapi. Danau pertama yang kami temui adalah Danau Tiwu Ata Polo, matahari belum muncul saat saya sampai di tepi danau. Saya tak terlalu lama di danau ini karena belum ada yang bisa di lihat (semua serba hitam), nanti saja saya melihatnya pas perjalanan pulang.
Tujuan saya selanjutnya adalah puncak tertinggi di sini (Puncak gunung Kelimutu), di mana ada bangunan berupa sebuah tugu yang menyajikan pemandangan ke semua danau yang ada di Kelimutu. Semburat cahaya jingga berpadu cantik dengan langit gelap subuh itu. Sadar waktu semakin siang, saya semakin mempercepat langkah menuju puncak Kelimutu. Jalana yang kami lewati sudah berupa jalanan beton dengan beberapa puluh anak tangga. Semakin lama, langkah kaki semakin berat dan napas mulai menderu – deru (maklumlah sudah lama tak pernah tracking lagi,hehe). Tepat sebelum matahari muncul, saya sudah duduk manis di undakan tangga tugu sembari menyaksikan momen – momen yang selalu di tunggu para wisatawan (Sunrise).
Tak begitu lama, bermunculan lah para wisatawan lain yang hampir semuanya adalah wisatawan asing. Udara di sini sangat dingin, jadi jangan lupa membawa jaket tebal dan meminum obat masuk angin sebelum naik biar badan hangat. Dari parkiran, kami berjalan menyusuri jalan setapak yang sudah tertata rapi. Danau pertama yang kami temui adalah Danau Tiwu Ata Polo, matahari belum muncul saat saya sampai di tepi danau. Saya tak terlalu lama di danau ini karena belum ada yang bisa di lihat (semua serba hitam), nanti saja saya melihatnya pas perjalanan pulang.
Tujuan saya selanjutnya adalah puncak tertinggi di sini (Puncak gunung Kelimutu), di mana ada bangunan berupa sebuah tugu yang menyajikan pemandangan ke semua danau yang ada di Kelimutu. Semburat cahaya jingga berpadu cantik dengan langit gelap subuh itu. Sadar waktu semakin siang, saya semakin mempercepat langkah menuju puncak Kelimutu. Jalana yang kami lewati sudah berupa jalanan beton dengan beberapa puluh anak tangga. Semakin lama, langkah kaki semakin berat dan napas mulai menderu – deru (maklumlah sudah lama tak pernah tracking lagi,hehe). Tepat sebelum matahari muncul, saya sudah duduk manis di undakan tangga tugu sembari menyaksikan momen – momen yang selalu di tunggu para wisatawan (Sunrise).
Sunrise |
Dengan anggunnya matahari muncul di balik awan tipis, perlahan tapi pasti bola jingga kecil itu semakin besar dan semakin banyak memancarkan sinarnya. Di depan saya tersaji 2 buah danau yang menakjubkan, kedua danau itu bernama Danau Tiwu Nuamuri Koofat dan Danau Tiwu Ata Polo, sementara di belakang saya terhampar satu danau yang saat itu warnanya Hitam pekat bernama Danau Tiwu Ata Bupu. Hari itu Danau Tiwu Nuamuri Koofat sedang berwarna biru muda sementara Danau Tiwu Ata Polo sedang berwarna biru kehijauan. Warna air di danau ini memang selalu berubah setiap waktu, kadang merah,hijau,putih dan masih banyak variasi warna lainya.
Pagi itu perasaan senang bercampur rasa haru dan sukur menggelayut di benak saya. Bagaimana tidak, karena saya bisa menginjakan kaki di sebuah mahakarya tuhan yang luar biasa ini. Tak henti – hentinya saya mengucap rasa sukur bisa mengunjungi tempat yang sudah lama saya impikan ini. Matahari mulai meninggi, beberapa wisatawan mulai turun dan meninggalkan tempat ini, sementara saya dan hendra masih betah berlama – lama di sini. Berbagai sudut keindahan danau sudah saya potret tapi tetap saja rasanya tak puas, ingin rasanya tetap di sini sampai matahari terbenam, namun apa boleh buat siang ini kami harus ke Ende dan keadaan di sini pun tidak memungkinkan, karena jika sudah siang akan turun kabut dan menutup permukaan danau. Dengan rasa sedikit tak rela, saya mulai turun meninggalkan puncak, warna Danau Tiwu Ata Polo yang tadi subuh tak terlihat, kini nampak begitu indah dengan warnanya yang menarik. Sesampainya di parkiran, kami langsung tancap gas kembali ke desa moni. Terimakasih tuhan untuk pagi yang begitu luar biasa ini di tempat yang begitu luas biasa juga.
Pagi itu perasaan senang bercampur rasa haru dan sukur menggelayut di benak saya. Bagaimana tidak, karena saya bisa menginjakan kaki di sebuah mahakarya tuhan yang luar biasa ini. Tak henti – hentinya saya mengucap rasa sukur bisa mengunjungi tempat yang sudah lama saya impikan ini. Matahari mulai meninggi, beberapa wisatawan mulai turun dan meninggalkan tempat ini, sementara saya dan hendra masih betah berlama – lama di sini. Berbagai sudut keindahan danau sudah saya potret tapi tetap saja rasanya tak puas, ingin rasanya tetap di sini sampai matahari terbenam, namun apa boleh buat siang ini kami harus ke Ende dan keadaan di sini pun tidak memungkinkan, karena jika sudah siang akan turun kabut dan menutup permukaan danau. Dengan rasa sedikit tak rela, saya mulai turun meninggalkan puncak, warna Danau Tiwu Ata Polo yang tadi subuh tak terlihat, kini nampak begitu indah dengan warnanya yang menarik. Sesampainya di parkiran, kami langsung tancap gas kembali ke desa moni. Terimakasih tuhan untuk pagi yang begitu luar biasa ini di tempat yang begitu luas biasa juga.
Narsis dikit ora nopo-nopo yo, hehe |
Tiwu Ata Polo |
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !