GuidePedia

0
energy deregulation2 206x300 Filsafat dan Gosip
Oleh : DAVID JONES
Sebelum membaca tulisan ini, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada anda. Pernahkah anda bergosip? Semoga jawaban anda adalah pernah, karena jika anda menjawab tidak pernah, saya rasa anda adalah orang yang “hebat”. Menurut hemat saya, tentu semua orang –baik secara sadar atau tidak- pernah menggosip. Setuju nggak sih?

Gosip Menurut Pandangan Masyarakat
Gosip telah menjadi suatu fenomena yang tidak asing lagi bagi masyarakat dewasa ini. Hampir di setiap stasiun televisi memiliki program yang namanya gosip. Acara ini selalu menghiasi layar kaca mulai dari pagi sampai sore hari. Acara gosip memiliki rating tinggi, dan hal itu adalah tanda bahwa gosip cukup digemari oleh masyarakat. Singkat kata gosip telah populer di telinga masyarakat dewasa ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat memandang gosip dengan cara yang negatif. Gosip lebih diidentikkan dengan hal-hal yang buruk, misalnya: ngomongin yang jelek-jelek tentang orang, melebih-lebihkan fakta, dsb.

Sebagaimana dikutip saya dari Wikipedia, gosip mempunyai makna “sebuah pembicaraan mengenai kabar burung atau rumor, terutama mengenai persoalan pribadi seseorang yang bisa jadi menyangkut hubungannya dengan orang lain, dimana kebenarannya kebanyakan tidak dapat dibuktikan dengan fakta. Dan dalam sosiologi sendiri, gosip dapat digunakan untuk “menyerang” lawan ketika kita berada dalam situasi kontravensi (lebih dari persaingan tetapi belum/tidak menjadi konflik terbuka) dengan orang lain”.

Namun saya tidak sependapat dengan itu. Bagi saya orang-orang seperti itu belum melihat realitas secara holistik (menyeluruh). Padahal jika kita mau melihat fenomena gosip dari sisi yang lain, maka niscaya kita akan banyak menemukan sisi positif dari gosip itu sendiri, dan bahkan dapat menggali keindahan di dalamnya.

Saya mengajukan sebuah argumen oposisi dari pendapat umum yang ada mengenai gosip. Argumen saya adalah gosip sebagai simbol kebebasan berpendapat dan aktualisasi diri manusia. Pertama-tama saya akan mulai dengan melihat fenomena gosip dari sudut pandang fenomenologi Martin Heiddeger, yaitu melihat gosip sebagai sesuatu yang apa adanya dan netral dari penilaian-penilaian. Kemudian saya akan memaparkan argumen utama saya, bahwa gosip merupakan manifestasi kebebasan berpendapat, dan aktualisasi diri manusia.

Fenomenologi Gosip
“Fenomenologi adalah pendekatan yang dirumuskan oleh Edmund Husserl pada awal abad ke-20. Kata fenomenologi berarti ilmu (logos) tentang hal-hal yang menampakkan diri (phainomenon). Dalam bahasa Yunani phainesthai berarti ‘yang menampakkan diri’. Apa yang menampakkan diri? Bisa macam-macam: perasaan, benda, peristiwa, pikiran, lembaga sosial, dan seterusnya. Segala sesuatu yang terlihat oleh kesadaran kita bisa disebut sebagai fenomen.

Kita cenderung menafsirkan fenomena yang kita lihat sehingga suatu fenomena tidak lagi menampakkan diri apa adanya. Bukan hanya itu fenomen yang kita lihat, misalnya operasi jantung, sering sudah dimuati anggapan-anggapan masyarakat, sehingga operasi jantung tidak tampak apa adanya. Fenomenologi tidak puas dengan cara mendekati fenomen, seperti yang kita lakukan sehari-hari. Pendekatan ini menyingkap fenomena asli sebelum ditafsirkan oleh masyarakat atau kebudayaan, yakni fenomena apa adanya. Operasi jantung -misalnya- jangan pertama-tama dilihat sebagai tindakan penyelamatan medis, melainkan sebagai aktivitas manipulasi fisik manusia, yakni sebagai sesuatu yang netral dari penilaian-penilaian. Sebab itu fenomenologi adalah suatu pendekatan deskriptif murni, bukan normatif”.1

Dengan demikian gosip -ditinjau dari segi fenomenologi- adalah pembicaraan mengenai sesuatu hal. Hal ini adalah usaha saya untuk menetralkan makna gosip, sebelum mendapat cap-cap negatif dari masyarakat. Dengan melihat fenomenologi gosip sebagai pembicaraan mengenai sesuatu hal, maka hal itu dapat dimengerti sebagai bagian dari sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia pasti selalu berelasi dengan orang lain, dan dari sinilah hasrat untuk berbicara dan berpendapat itu muncul sebagai suatu sifat yang natural.

Ditinjau dari teori Martin Heidegger, bahwa manusia ada di dalam dunia dan hidup bersama pengada lain (manusia) di dunia ini, maka manusia tentu tidak akan lepas dari aktivitas berbicara (berelasi) dengan orang-orang di sekitarnya. Maka dari itu manusia pasti akan selalu mengadakan kontak dengan sesamanya. Hal itu terwujud nyata dalam komunikasi yang terjalin di antara mereka, yaitu berbicara. Jadi gosip merupakan suatu tanda, bahwa manusia ada di dalam dunia, dan mengadakan relasi dengan manusia-manusia yang lainnya.

Setelah menganalisa gosip dari sudut pandang fenomenologi, berikut akan dijelaskan argumen-argumen tambahan yang memperkuat argumen pro saya terhadap gosip.

Gosip sebagai Manifestasi Kebebasan Berpendapat
Gosip menurut saya juga dapat diartikan sebagai seseorang yang berpendapat mengenai sesuatu. Maka dari itu sebenarnya sah-sah saja orang mengeluarkan pendapatnya, entah itu baik/buruk, karena hal itu merupakan salah satu bentuk kebebasan dalam berpendapat.

Bagi saya sih, ya biarkan saja orang mau ngomong itu kek – ini kek, karena mereka punya mulut ya untuk berbicara, dan itu merupakan hak mereka untuk berbicara. Justru kalau kita mengintervensi orang yang menggosip, kita sebenarnya malah sudah membatasi hak orang lain untuk berbicara. Jadi hal ini sudah menyalahi sifat dasar yang alamiah dari diri manusia, yaitu kebebasan: bebas untuk berpendapat.

Kebebasan berpendapat harus dijunjung tinggi. Biarkan orang berpendapat mengenai apapun, karena hal itu mencerminkan dirinya sebagai makhluk yang memiliki kebebasan. Biarkan pendapat-pendapat itu muncul dengan sendirinya ke permukaan. Di dalam proses pasti akan ada seleksi alam dengan sendirinya. Kebenaran pada akhirnya pasti akan berbicara.

Gosip sebagai Sarana Aktualisasi Diri
Ketika membuka internet saya menemukan sebuah tulisan dari seseorang yang berbicara mengenai gosip. Bagi orang ini gosip sudah menjadi bukan sekedar hobi lagi, melainkan sebuah kebutuhan yang hakiki. Kutipan tulisannya adalah “Jika satuuuu hari aja ga ngomongin orang, hidup gue langsung terasa hampa, badan pegel-pegel, dan perasaan gue langsung ga enak”, itulah komentarnya yang saya kutip langsung dari internet.

Dengan membaca pendapat orang tersebut, saya menjadi teringat akan teori dari Abraham Maslow. Ia mengatakan bahwa kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri. Di sinilah manusia dapat dikatakan telah mencapai kepenuhannya dalam tataran tertentu. Menurut saya orang di internet tersebut memperoleh aktualisasi dirinya melalui bergunjing atau gosip. Jika bergunjing atau menggosip telah menjadi bagian dari dirinya sendiri, dan melalui hal itu ia dapat menemukan identitas dirinya, maka tak bijak kalau menilai gosip sebagai sesuatu hal yang melulu negatif saja. Justru melalui gosip orang dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan demikian gosip dapat menjadi sarana untuk aktualisasi diri.

Di penghujung tulisan ini saya akan menggaris bawahi beberapa sisi positif dari gosip. Hal ini bertujuan agar pembaca dapat melihat, bahwa ternyata ada juga sisi positif dari gosip dan tidak hanya terjebak dengan opini publik semata yang menilai bahwa gosip itu adalah hal yang melulu buruk.

Pertama, gosip sebagai sarana obrolan yang murah meriah, dan cocok untuk mengisi waktu luang bersama orang lain. Dengan demikian gosip dapat menjadi semacam sarana yang membina kedekatan antar subjek sebagai makhluk sosial. Kedua, gosip sebagai sarana manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan bergunjing seseorang akan sangat mungkin mendapatkan kepuasan batin dalam dirinya.

Ketiga, gosip juga dapat digunakan oleh seorang pimpinan untuk mengecek suatu kebijakan yang akan dikeluarkannya. Hal ini digunakan untuk melihat tanggapan dari publik atas kebijakan yang akan diambil. Jika kebijakan tersebut ketika “dilempar” ke publik hasilnya buruk, lebih baik tidak usah dikeluarkan. Dan keempat, gosip bisa digunakan sebagai alat pengendalian sosial. Biasanya orang yang digosipin justru akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan bertingkah laku. Disitu peranan gosip sebagai alat pengendalian sosial jadi terlihat jelas.

Kesimpulan:
Hahaha…ternyata gosip sungguh memiliki banyak manfaat juga. Dalam menulis ini, saya terinspirasi kata-kata dari Immanuel Kant, Sapere Aude (Berpikirlah secara Mandiri). Saya sudah berani untuk berpikir mandiri mengenai sesuatu hal (dalam konteks gosip), agar tidak terjebak pada opini masyarakat semata. Gosip -setelah ditinjau dari berbagai perspektif (di atas)- ternyata tak seburuk opini publik, bahkan banyak sisi positif dan keindahan di dalamnya. Hidup gosip!!!

Sumber Acuan:
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003.
Diakses pada Hari Kamis, 5 November 2009; pukul 11.00 WIB.
Diakses pada Hari: Sabtu, 7 November, 09, pukul 16.00 WIB.

Gambar diolah dari http://www.eaba.eu/
1 F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, Suatu Pengantar Menuju Sein Und Zeit, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2003, hlm. 21-22.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top