USIANYA masih sangat muda, 21, tapi karyanya sudah mendunia. Dialah Adhyatmika. Seorang pemuda asal Bintaro, Jakarta, yang memenangi kompetisi tahunan Democracy Video Challenge (DVC) 2010 di Amerika Serikat. ZULHAM MUBARAK, Jakarta FILM pendek berjudul Democracy is Yet to Learn (Masih Belajar Demokrasi) itu berdurasi 2 menit 10 detik. Ketika Jawa Pos melihatnya di YouTube tadi malam (17/9), sudah ada 28.855 pengunjung yang telah mengeklik video tersebut. Film tersebut mengambil setting di kelas sebuah SD. Seorang guru menulis pertanyaan di papan apa itu demokrasi. Kelas tersebut berisi sembilan murid yang mewakili unsur-unsur sosial dalam masyarakat. Yakni, pengusaha, anggota parlemen, polisi, petani, wartawan, dokter, artis, insinyur, dan anak SD. Namun, tak ada satu pun yang bisa menjawab pertanyaan ibu guru. Tiap karakter saling melempar tanggung jawab dan menggeleng. Sampai akhirnya, si anak SD memberanikan diri maju ke depan untuk menjawab pertanyaan apa itu demokrasi. Spidol sudah di tangan, namun belum sampai si anak menuliskan jawabannya, bel pulang sekolah berdering. Akhirnya, tak ada satu pun yang bisa menjawab apa itu demokrasi. Lalu, adegan ditutup dengan kalimat: Masih Belajar. Siapa menyangka, video singkat yang disutradari Adhyatmika itu mampu mengharumkan nama Indonesia di forum internasional. Karya pemuda kelahiran Jakarta, 21 Januari 1989, tersebut mengalahkan 700 kontestan lain dalam kompetisi video pendek tentang demokrasi yang diadakan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS). Film pendek berjudul Democracy Is Yet to Learn itu menggambarkan kehidupan demokrasi di Indonesia yang ternyata masih dalam taraf belajar. Meski berdurasi pendek, Adhyatmika mampu menyampaikan pesan dan kritiknya dengan baik. "Emang sejak awal saya ingin membuat film satire yang menjadi potret sosial tanah air," ujar Adhyatmika ketika dihubungi dari Jakarta Kamis (16/9). Mulai 5 September lalu, putra pasangan penerbit buku Pandu Ganesa dan pramugari Kusuma Ernayani itu berada di Negeri Paman Sam untuk menerima penghargaan dari pemerintah AS. Malam penghargaan dilangsungkan pada 10 Oktober. Selama dua minggu, Adhyatmika bersama karyanya tur keliling AS untuk presentasi di forum-forum kajian demokrasi. "Saya benar-benar tidak menyangka bisa sampai sejauh ini," tuturnya. Selain Adhyatmika, pemenang lain yang berasal dari Iran, Spanyol, Kolombia, Nepal, dan Etiopia memperoleh biaya perjalanan penuh ke Washington DC, Hollywood, dan New York. Di New York dan Hollywood, para pemenang mengunjungi lokasi pembuatan film/TV, bertemu dengan sutradara, teknisi film, agen pencari bakat profesional, dan ahli media. Kemudian, di Washington DC para pemenang akan bertemu dengan penggiat demokrasi, kalangan media, serta pejabat pemerintah AS. Penggemar film karya Steven Spielberg itu mengisahkan, film pendeknya tersebut dibuat dalam waktu cukup singkat pada Januari 2010. Lulusan Puttnam School of Film, Lasalle College of The Arts, Singapura, itu menyatakan tidak menyangka bisa memenangi lomba film pendek tentang demokrasi tersebut. Sebab, pada awalnya, dia dan teman-temannya hanya ingin berekspresi tentang keresahan terhadap kondisi pemerintahan di Indonesia yang karut-marut. Adhyatmika membutuhkan waktu dua minggu untuk merancang skenario dan mengumpulkan sepuluh karakter dalam video itu. Pengambilan gambarnya dilakukan di salah satu ruang kelas SMPN Tangerang Selatan 05 yang berlokasi tak jauh dari rumahnya. "Saya minta izin ke kepala sekolah untuk tugas kuliah dan alhamdulillah dipermudah. Padahal, untuk lomba," ujarnya, lantas tertawa. Dibantu sejumlah teman dekat, Adhyatmika mengumpulkan orang-orang yang bersedia menjadi pemain dalam film pendek tersebut. Mereka bersedia jadi "bintang film" tanpa bayaran karena memiliki visi yang sama tentang kondisi politik dalam negeri. Apalagi, ketika film itu dibuat, kasus Century sedang mencuat ke permukaan. Untuk membuat film itu, Adhyatmika hanya membutuhkan dana Rp 1,8 juta. Menurut dia, biaya yang paling besar digunakan untuk membuat kostum. Dia harus menjahit sendiri kostum anggota polisi dan seragam murid SD yang berukuran orang dewasa. Yang mengesankan, kamera yang digunakan untuk membuat film pendek tersebut adalah kamera yang biasa dipakai untuk syuting pernikahan dan hajatan. "Kebetulan saat itu sedang tidak ada job," tutur alumnus SMUN Pembangunan Jaya, Bintaro, itu. Bersama tim yang berjumlah 16 orang dan sebagian besar merangkap pemain, Adhyatmika menyusun adegan dan menuntaskannya dalam waktu satu hari saja. "Editing-nya juga cuma seminggu," kata dia. Setelah pembuatan film tuntas, kompetisi pun dimulai. Adhyatmika mendaftarkan karya video tersebut kepada panitia dan di-posting di situs YouTube. Pada saat penjurian yang berlangsung lima bulan, video karya Adhyatmika mampu masuk dalam tiga besar di wilayah Asia Tenggara. Selanjutnya, tiga video itu lolos ke tahap kedua yang disaring di AS dengan juri para pakar media, dosen, aktivis LSM, produser film, dan wakil Deplu AS. "Waktu itu, saya masuk menjadi semifinalis," lanjutnya. Ketika memasuki tahap voting online, berbekal status semifinalis, dia pun mempromosikan video tersebut di sejumah situs pertemanan populer di Indonesia, mulai Facebook, Twitter, sampai forum kaskus. Beruntung, hingga akhir masa voting, karyanya mampu mengantongi sedikitnya 6 ribu dukungan. Mimpi memenangkan kompetisi film pendek kelas dunia pun sudah di depan mata. "Semua karena Allah, nggak ada yang lain," ujarnya. Kebanggaan yang tiada tara dirasakannya ketika menerima trofi dan pujian langsung dari Menlu AS Hillary Clinton. Dia dan lima pemenang lain pun berkesempatan berbincang-bincang dengan istri mantan Presiden AS Bill Clinton itu selama setengah jam. Hillary, kata Adhyatmika, memujinya karena menjadi pemenang termuda dan mengapresiasi karya yang sangat otentik tersebut. Film pendek karya Adhyatmika kemudian diputar dalam forum PBB dan disaksikan puluhan duta besar dan perwakilan khusus dari negara-negara anggota perserikatan bangsa-bangsa tersebut. Setelah presentasi, sejumah hadirin menyalaminya dan mengatakan bahwa pesan satire dalam film itu sangat lugas. "Beberapa bahkan mengatakan, hal serupa dalam adegan film saya itu terjadi di negara mereka," ujarnya. Kejutan lain yang didapat dalam tur di AS itu adalah ketika Adhyatmika menghadiri sebuah acara di stasiun televisi NBC dengan host Rob Stewart. Dia tidak menyangka bahwa tamu lain yang diundang dalam acara tersebut adalah mantan PM Inggris Tony Blair. Ketika itu, dia mengatakan tidak bisa berkata-kata saat bertatap muka secara langsung dengan tokoh dunia tesebut. "Saya benar-benar terkesan karena ternyata para politikus dunia sangat ramah dan tidak jemawa. Berbeda dengan pejabat di Indonesia," kata pemuda yang ingin menempuh pendidikan perfilman itu. Adhyatmika punya obsesi untuk bisa memutar karyanya di Istana Negara dan disaksikan presiden serta para menteri. Dia berharap pesan satire tentang demokrasi bisa didengar publik luas di tanah air. "Ini mimpi kecil saya," tegasnya. (*/c6/ari) |
Spoiler for videonya gan:
Democracy is Yet to Learn (Masih Belajar Demokrasi)
Adhyatmika
sumber: jpnn
Post a Comment Blogger Facebook