Jika Anda adalah seorang yang suka memamerkan barang-barang mewah ataupun foto-foto liburan di luar negeri lewat media sosial (medsos), tapi sering mangkir ketika tagihan pajak menghampiri, berhati-hatilah.
Pasalnya, informasi yang diunggah di medsos itu kini akan dimanfaatkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan untuk mengejar penerimaan negara.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama mengatakan kepada Kontan, biasanya di medsos terdapat data seputar anggota keluarga, kegiatan sosial, lokasi rumah, sekolah, bisnis, hingga liburan ke luar negeri.
Data-data itu dapat menjadi pegangan otoritas pajak untuk mengetahui jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Mekar mencontohkan, anggota keluarga salah satu wajib pajak (WP) yang menempuh pendidikan di luar negeri bisa mengindikasikan sumber penghasilan wajib pajak cukup tinggi, jika tanpa beasiswa.
Selain itu, kepemilikan aset seperti mobil, rumah mewah dan lokasi liburan juga bisa menambah data di profil masing-masing wajib pajak.
Informasi dari media sosial itu kemudian dicek silang dengan rekening tabungan dan setoran pajak, yang didapat dari Bank Indonesia (BI). Jika tidak sinkron, WP akan dipanggil oleh Ditjen Pajak untuk mengklarifikasi.
Ditjen Pajak pun akan menggunakan semua jenis medsos seperti Facebook, Twitter, LinkedIn, Instagram, dan Google+ untuk menggali data potensi pajak. Upaya ini, menurut Mekar, sebenarnya sudah dilakukan sejak medsos muncul.
Namun saat ini memang lebih ditingkatkan, seiring adanya Peraturan Menteri Keuangan PMK nomor 29/PMK 03/2015 dan PMK Nomor 91/PMK03/2015. Namun, otoritas fiskal ini harus berhati-hati, jangan sampai upaya tersebut bertentangan dengan hak privasi.
"Ketika ada data diambil dari media sosial, maka itu masuk ranah privasi, dan bisa kena Undang-Undang ITE (Informasi dan transaksi elektronik)," ujar Ronny Bako, Pengamat Pajak, kepada Kontan, Minggu (11/10).
Menurut dia, sah-sah saja jika pemrerintah menggunakan medsos sebagai sumber tersier. Namun, sebaiknya, perkuat sumber-sumber sekunder terlebih dahulu.
Misalnya, untuk mengetahui jadwal melancong wajib pajak ke luar negeri, mereka bisa bekerjasama dengan Ditjen Imigrasi atau otoritas pelabuhan.
Hingga akhir September 2015, Ditjen Pajak mengungkapkan perkiraan sementara kekurangan penerimaan pajak di tahun anggaran 2015, sebesar Rp112,5 triliun atau 8,7 persen dari target yang mencapai Rp1.294 triliun.
Dilansir Antaranews.com, dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Kamis (8/10/2015), Dirjen Pajak Sigit Pramudito mengatakan sulitnya mencapai target pajak di 2015 karena penguatan kelembagaan yang banyak tertunda, dan beberapa kebijakan optimalisasi pajak yang dibatalkan.
Misalnya, ujar Sigit, pendirian sejumlah kantor wilayah DJP, yang meleset dari rencana di Juli 2015, mengurangi potensi penerimaan pajak. Di sisi kebijakan, batalnya pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan jasa jalan tol, dan penyerahan bukti potong pajak atas bunga deposito, ujar Sigit, juga menganggu penerimaan pajak.
Post a Comment Blogger Facebook