GuidePedia

0


SEORANG penggemar tiba-tiba menghampiri Kartolo di dalam gedung DPRD Jatim pada Minggu malam (20/7). Gedung itu memang menjadi ruang transit, ruang persiapan sebelum Kartolo, Kastini, dan Sapari menuju panggung Festival Ramadan Jawa Pos 2014 di Jalan Indapura. Laporan Thoriq S. Karim, Surabaya =========================== 


Penggemar pria itu lantas meminta foto bersama Kartolo. Sang maestro pun bersedia. Eh, begitu kamera stand by, Kartolo malah balik kanan. Dia memunggungi si pemotret. "Gegerku ae sing difoto. Cek aku isa nontok gegerku dhewe (Punggung saja yang difoto, biar saya bisa melihat punggung saya sendiri, Red)", celetuk Kartolo. Kontan penggemar dan panitia di ruang transit itu pun ngakak bareng. 

Ya, itulah Kartolo. Banyolannya selalu spontan. Simpel. Apa pun di sekitarnya selalu bisa diracik sebagai guyonan. Tak heran, selama lebih dari tiga dekade berkarir, nama Kartolo masih nyantol di hati penggemarnya. Sebab, itulah jualan Kartolo. Sesuatu yang sederhana, sesuatu yang njekethek, ngglethek. Karena itu, pas kiranya Kartolo dipilih sebagai bintang tamu pada perhelatan yang digelar Jawa Pos sejak 2009 tersebut. 

Nama Kartolo dan grupnya sudah pasti lekat di hati dan benak masyarakat. Meski begitu, menurut Ketua Panitia Festival Ramadhan Sholahuddin, Kartolo tidak hanya hadir sebagai penarik massa. Menghadirkan Kartolo ini yang bisa kami persembahkan buat peserta dan masyarakat, kata Sholahuddin. Sepekan sebelum grand final festival, Sholahuddin menugaskan Doan Widhiandono, redaktur Metropolis Jawa Pos, untuk membikin scenario ludruk guyonan yang menampilkan Kartolo Cs. Dua wartawan pun diminta tampil. Akhirnya, jadilah saya dan Doan yang ditugaskan untuk nunut Kartolo di panggung festival. 

Awalnya, pentas tersebut diberi nama Ludruk Riyayan Kartolo Cs dengan judul Jagat Gonjang- ganjing. Ceritanya mengenai sebuah desa yang kisruh pada momen pemilihan kepala desa. Kekisruhan itu diakibatkan terbitnya harian Obong-Obong yang isinya hanya fitnah sana-sini. Tiga hari menjelang tampil, sinopsis cerita diserahkan ke Kartolo. 

Itulah kali petama kami bertemu dengan dedengkot seniman tersebut. Pertemuan itu terjadi setelah tengah malam di rumahnya nan asri di kawasan Kupang Jaya. "Wadhuh, kok isuk men tekane (kok datang pagi sekali, Red)", sambut lelaki kelahiran Watu Agung, Prigen, Pasuruan, itu. Guyonan pertama itu langsung mencairkan suasana. Masukan demi masukan kami terima dari Kartolo. Misalnya, soal istilah ludruk. Menurut suami Kastini itu, ludruk kudu komplet. Harus dibuka dengan remo, lalu ada pakem-pakem yang tak boleh terlupa. Maka, disepakati nama pentas itu adalah Jula-Juli Riyayan Kartolo Cs. Istilah jula-juli itu juga dipakai Kartolo dalam kaset-kasetnya yang jumlahnya lebih dari 100 album. 

Pembahasan sinopsis cerita itu pun tak jarang membuat perut mengeras karena terkikik. Misalnya, saat Kartolo mengusulkan agar selain Kades, muncul tokoh Budes (ibu kepala desa) dan Bedes (bendahara desa). Meski begitu, pertemuan malam itu tidak melulu berbicara tentang hahahihi. Kartolo juga terlihat cukup serius mempersiapkan pentasnya. Dia meminta panitia menuliskan secara detail nama acara, sejarah festival, nama-nama undangan, termasuk nama ketua panitia. "Gawe bahan ngidung", ungkap lelaki yang kumisnya sepanjang paku dudur (paku besar) itu. 

Kartolo juga memastikan bahwa tema lawaknya jauh dari unsur politis. Itu benar-benar dia jauhi. Karena itu, Kartolo sama sekali ogah melawak untuk partai atau caleg pada pemilu lalu. Dia tetap memilih jalur sendiri, jalur bersahaja yang disukai rakyat berbagai lapisan. Itu, rasanya, yang membuat namanya tak pernah cemar lantaran menjadi partisan. 

Ya, Kartolo memang beda. Banyak seniman lawak yang hanya lucu di panggung. Di luar itu, seriusnya luar biasa. Tapi, Kartolo enggak. Lucunya luar dalam, atas bawah. Itu terasa betul saat kami menjemput Kartolo di rumahnya menjelang pentas. Sebagai penampil profesional, dia sudah mempersiapkan semua. Kartolo, Sapari, dan Kastini sudah siap dengan kostum pentas plus riasan sendiri. 

Nah, semobil dengan Kartolo adalah pengalaman mengesankan. Ketika itu, kami duduk di depan. Sedangkan tiga pelawak tersebut duduk ngruntel di barisan jok tengah. Sepanjang perjalanan, kami rasanya seperti menyetel kaset lawakan Kartolo. Bedanya, ini tanpa kaset. Pelawaknya benar-benar hidup dan bercakap-cakap di belakang kami! Misalnya, saat mobil melintas di Pasar Simo, Sapari tiba-tiba nyerocos. "Wingi ndik kene onok wong dodol melon, mari diambungi, terus dikamplengi (Kemarin di sini ada penjual melon, setelah dicium-cium, lalu ditampar-tampar, Red)", katanya. Kartolo langsung menyahut, "Lha iya, ngono ae bojone ngamuk (Lha iya, begitu saja kok suaminya marah, Red)". 

Tentu, yang dimaksud Sapari bukanlah kekerasan dalam rumah tangga. Yang dikamplengi dan diambungi itu adalah melonnya, bukan penjualnya. Tawa pun meledak. Demikian pula saat Sapari menggerutu karena ditarik uang parkir ketika sedang duduk di motor saat di pasar. "Gak ngarah ilang, sepedaku. Wong iki wis tak jaga dhewe, tak lungguhi dhewe. Mosok katene ilang (Sepedaku tidak mungkin hilang. Ini sudah saya jaga sendiri, saya duduki sendiri. Masa bisa hilang, Red)", kata Sapari. Kartolo menimpali lagi, "Ngomongo ngene, Ri, Koen ngerti aku sopo? Engkuk lak wonge gak eruh." 

Banyolan demi banyolan itu memang berawal dari kebiasaan mereka. Betapa tidak, Kartolo sudah jatuh cinta kepada Kastini pada 1971 saat dia bergabung dengan Ludruk RRI Surabaya. Sedangkan Sapari bergabung dengan Kartolo Cs sejak era 1980-an, masa jaya mereka. Ketika itu, ada tiga orang lagi yang menjadi anggota. Yakni, Munawar, Basman, dan Sokran. Tiga orang tersebut sudah menghadap Sang Khalik. "Lha iya, ngelawake bareng, kok matine gak isa bareng. Antri situk-situk," ujar Sapari. 

Karena itu, melawak pun terasa mudah bagi mereka. Improvisasi dan pingpong banyolan mereka lakukan setiap hari. Tema-tema sederhana itu terbukti cespleng meledakkan tawa penonton Festival Ramadan. Pejabat tinggi yang hadir di acara itu mereka buat terpingkal-pingkal. Misalnya, Wakil Gubernur Saifullah Yusuf, Kapolda Jatim Irjen Pol Unggung Cahyono, dan Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta. Begitu juga, beberapa pejabat yang lain. Tidak jarang dari nama-nama itu terkena sindiran oleh Kartolo yang tampil pertama di panggung pukul 21.30 itu. 

Misalnya, Wagub Saifullah Yusuf yang disebut-sebut sering tukar pendapat dengan Kartolo. Pria berkumis itu dinilai sangat terbuka untuk tukar pendapat dengan seniman sepertinya. Namun, berbeda sikap ketika diajak tukar pendapatan. "Jelas lebih banyak Gus Ipul (sapaan akrab Saifullah Yusuf, Red) dibandingkan saya", celoteh pria 69 tahun itu. 

Kalau di panggung itu, Kartolo berjaya. Duo wartawan Jawa Pos yang tampil justru kesulitan membikin penonton tersenyum. Soal itu, Kartolo mafhum "Ancen angel. Aku ae lek gak nggawe kidungan yo angel nggarai wong ngguyu," ujarnya. Meski begitu, Kartolo tetap bersedia kalau suatu saat nanti kami nunut manggung lagi. Tentu ada trik yang diajarkan Kartolo. "Jangan tampil di pentas sendiri. Keluarnya bareng saya. Nanti saya bantu gojlok-gojlokannya", ungkapnya. 

Kartolo juga punya trik lain. Dia tidak pernah melantunkan kidung yang pernah muncul di kaset. Kidung yang disajikan selalu baru. Biasanya disesuaikan dengan tema dan pesan untuk masyarakat. Misalnya, pesan Ramadan, pesan persatuan, dan kerukunan. Kebiasaan itu ternyata memiliki manfaat tersendiri. Penonton tidak bosan. Selain itu, ada lawakan-lawakan baru yang tidak ketinggalan zaman. Karena itu, saya selalu mencari bahan-bahan baru melalui perkembangan informasi untuk dijadikan lawakan, ucapnya. Malam itu Kartolo memang membuktikan kepiawaiannya. Di jagat jula-juli guyonan, dia masih menjadi raja. 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top