Keputusan Hadi mengabulkan permohonan keberatan pajak Bank BCA tahun 1999 menyimpan banyak kejanggalan. Pada saat yang hampir bersamaan, dua bank lain, Bank Danamon dan Bank Internasional Indonesia, juga melayangkan keberatan yang sama, tapi permohonan keduanya ditolak mentah-mentah. Pengamat pajak Yustinus Prastowo mengingatkan KPK agar berhati-hati. Pasalnya, Hadi sangat rapi dalam memberikan keputusan. Bank BCA merupakan satu-satunya bank yang permohonan keberatan pajaknya dikabulkan oleh Hadi. Dua bank lain, Bank Danamon dan BII, ditolak hingga mengajukan proses keberatan lewat Pengadilan Pajak. Apakah penetapan tersangka Hadi Purnomo ada unsur Politis.
Bank Danamon mengajukan permohonan keberatan pajak atas nilai transaksi Rp 17 triliun. Pada 21 April 2004, Pengadilan Pajak menolak keberatan ini. Anehnya, kasus ini serupa tapi keputusannya berbeda. Prastowo mengingatkan, rentang waktu keputusan Pengadilan Pajak atas keberatan pajak Bank Danamon tiga bulan lebih awal dari keputusan Dirjen Pajak terhadap Bank BCA. “Ini bisa saja Hadi Poernomo mempelajari dulu keputusan Bank Danamon, sehingga rapi sekali,” ungkapnya. Karena itu, secara prosedural, keputusan Hadi tidak bermasalah. Keputusan tersebut sudah sesuai dengan kewenangannya selaku Dirjen Pajak. Hanya, Prastowo memberikan catatan atas nota dinas Hadi kepada Direktur Pajak Penghasilan.
Keputusan Hadi Purnomo mengabulkan permohonan keberatan pajak BCA menyimpan banyak kejanggalan
Nota itu tidak menyinggung soal transaksi NPL sebesar Rp 5,7 triliun. Rekomendasinya justru mendrop penghitungan laba program rekapitalisasi dari penghasilan luar usaha Bank BCA sebesar Rp 10,7 triliun. “Angka inilah yang harusnya menjadi perhatian KPK,” imbau Prastowo. Gerak-gerik Hadi boleh saja sangat licin. Tetapi sumber majalah detik menyebutkan BPK sudah lama mengawasi mantan bos pajak itu. Ia menyebutkan auditor BPK sudah melakukan pemeriksaan atas keputusan Hadi terhadap keberatan pajak Bank BCA pada tahun 2006. Audit dilakukan selama hampir tiga tahun dengan temuan ada kerugian negara. Sayang, laporan ini di-“drop” ketika proses akhir menjadi laporan hasil pemeriksaan (LHP) pada tahun 2009, saat Hadi sudah terpilih sebagai Ketua BPK. “Tahun 2006, masalah ini pernah diperjuangkan di BPK, tetapi kandas ketika Hadi naik,” ungkapnya. Sekjen BPK Hendar Ristriawan membantah informasi ini. Menurutnya, BPK sama sekali tidak pernah melakukan audit terkait kebijakan keberatan pajak.
Namun KPK tak patah arang, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan tidak mainmain menetapkan Hadi sebagai tersangka. Dia memastikan pemeriksaan pajak ini bermasalah sejak awal. Sebab, tahun pajak adalah 1999, tapi pemeriksaan baru dilakukan pada 2002 dan keberatan baru disampaikan satu tahun setelahnya, 2003. “Jadi ada perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang sebagai Dirjen Pajak,” ungkapnya. Komisi antirasuah itu sudah meminta keterangan lima ahli dari berbagai disiplin ilmu. KPK sudah cukup mantap menjerat Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Informasi yang diterima majalah detik menyebutkan KPK juga sudah memeriksa konsultan pajak Bank BCA, Hari Mulyanto, dan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja. Hari diperiksa KPK selama 10 jam pada 8 April 2014. Hari mengaku proses pemeriksaan permohonan keberatan pajak BCA sangat panjang tapi memenuhi prosedur, sehingga tidak ada permasalahan dari sisi kliennya. Ia mengaku masih ingat, proses pemeriksaan keberatan pajak kliennya terbagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama, Direktorat Jenderal Pajak membeberkan 20 item pengenaan pajak, namun dapat dikurangi menjadi 15 item. Pada sesi kedua, keberatan yang diajukan kliennya meliputi tiga item, yakni terkait angka transaksi NPL sebesar Rp 5,7 triliun.
Namun ia membantah jika keberatan pajak yang diajukan pada 2003 dikatakan sebagai pelanggaran. Pemeriksaan pajak Bank BCA berbeda dengan pelaporan SPT biasa. Karena itu, pemeriksaan baru dilakukan pada 2002 dan keberatan diajukan pada 2003. “SPT (surat pemberitahuan tahunan pajak) nya tidak harus ada pembayaran atau harus ada klaim restitusi. Makanya di sini baru diperiksa pada 2002. Sebetulnya mau diperiksa 2003 boleh, mau 2004 boleh, karena belum kedaluwarsa,” kata Hari kepada majalah detik. Malah pemrosesan keberatan pajak saat itu sangat ketat karena Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengharuskan komunikasi surat-menyurat antara Dirjen Pajak dan wajib pajak sehingga tidak ada pertemuan fisik. Sedangkan Undang-Undang Pajak yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, mengatur pertemuan fisik wajib pajak dengan Dirjen Pajak dilakukan saat mendekati pengumuman kesimpulan atas pengajuan keberatan pajak. Pertemuan tersebut mengatur mengenai argumentasi atas kesimpulan sebelum diumumkan.
Pengakuan Presiden Direktur Bank BCA Jahja Setiaatmadja bernada sama. Bank BCA menempuh prosedur yang sudah ditetapkan. “Masalah penetapan Hadi Poernomo, saya tidak pada tempatnya memberi komentar. Hanya, yang kami ketahui, proses keberatan yang BCA lakukan, secara perpajakan itu sudah cukup kuat,” tuturnya. Jahja menyebutkan proses pengajuan keberatan pajak berpangkal pada krisis ekonomi 1998. Semua bank di Indonesia mengalami kerugian fiskal akibat kredit macet. Bank BCA juga terkena dampaknya. Bank ini menelan kerugian fiskal sebesar Rp 29,17 triliun. Alhasil, pemerintah menetapkan status Bank BCA sebagai bank take over. Pemerintah melakukan rekapitulasi penguasaan 92,8 persen saham Bank BCA dan mendudukkan kendali bank pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Keberatan pajak diajukannya karena Dirjen Pajak menganggap proses jual-beli NPL dari Bank BCA ke BPPN sebagai pemasukan. Padahal BCA menganggap jual-beli ini dilakukan atas instruksi Menteri Keuangan dengan nomor 117/KMK.017/1999 dan Gubernur BI dengan nomor 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1998. Seharusnya hak tagihnya ada di BPPN, bukan di Direktorat Jenderal Pajak. KPK terus mendalami kasus ini.
Apalagi Hadi dan Sumihar Petrus Tambunan punya catatan buruk di KPK. Keduanya menjadi sorotan cukup besar setelah angka pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mereka tercatat melonjak pada 2010. Berdasarkan data LHKPN 2007, harta Sumihar mencapai Rp 14,19 miliar atau naik sekitar Rp 8 miliar dibanding pada 2003, yakni Rp 6,8 miliar. Sedangkan harta Hadi Poernomo melonjak dari Rp 24,8 miliar pada 2006 menjadi Rp 38,8 miliar pada 2010. Namun pengacara Hadi menyatakan harta Hadi tidak terkait dengan kasus pajak BCA. Ia menantang agar KPK membuktikan adanya pemberian gratifikasi kepada Hadi.” Dicek saja apakah BCA pernah memberikan kickback,” ujar Yanuar. Lembaga antirasuah ini pun siap meladeni tantangan Hadi. “Itu yang sedang dikembangkan,” terang Ketua KPK Busyro Muqoddas.
KPK kembali menelusuri kasus ini semenjak Hadi Purnomo ditetapkan sebagai tersangka. Kita semua berharap KPK dapat menyelesaikan kasus ini hingga tuntas. Mari bersama kita pantau kasus ini secara seksama.
Post a Comment Blogger Facebook