GuidePedia

0


SEMAKIN banyak anak muda Indonesia yang go international. Yang terbaru adalah Bagus Nugroho yang terpilih sebagai salah seorang peneliti untuk program misi Lembaga Penelitian Antariksa Jepang (JAXA) menuju planet Mars. Namun, keahliannya belum bisa dimanfaatkan di tanah air sendiri. 

--------------- Trimujoko Bayuaji, Jakarta -------------- 

INFORMASI adanya mahasiswa Indonesia yang terpilih sebagai peneliti intern di JAXA muncul di salah satu situs berita Australia. Saat Aing mengirimkan draf wawancara via e-mail, Bagus Nugroho, anak muda yang masih berkuliah S-3 di Melbourne University Australia itu, tengah berada di Jepang. Dia sedang menjalankan tugasnya sebagai salah seorang peneliti JAXA untuk ekspedisi planet Mars. 

"Saya merasa beruntung bisa terlibat di proyek ini. Karena saya apply (melamar, Red) di hari terakhir batas pengumpulan aplikasi," ujar Bagus menjawab pertanyaan Aing awal pekan lalu. 

Keterlibatan Bagus dalam proyek itu terjadi secara tidak sengaja. Sebab, awalnya dia hanya iseng membuka web JAXA saat sedang memikirkan tesis yang di-submit pada Agustus nanti. 

"Di web JAXA itulah saya membaca bahwa mereka sedang membuka lamaran bagi peneliti untuk ekspedisi planet Mars," ungkapnya. 

Sekitar tiga bulan setelah Bagus mengirimkan aplikasi, JAXA membalas dengan sejumlah pertanyaan. Mereka ingin mengetahui sosok Bagus secara lebih detail. Sebulan kemudian JAXA memberi tahu bahwa Bagus diterima sebagai peneliti intern selama satu bulan di Jepang. 

"Saingan saya waktu itu ada puluhan dari berbagai institusi dunia. Tapi, JAXA hanya menerima dua orang. Selain saya, ada mahasiswa dari salah satu universitas elite di Prancis," ujar calon doktor bidang mekanika fluida tersebut. 

"Misi Jepang ke Mars pada 2020", jelas Bagus, "adalah misi mahapenting. JAXA berencana mengirimkan robot atau probe untuk meneliti planet itu. Mereka ingin mengetahui tanda-tanda kehidupan di sana. Eksperimen yang saya kerjakan adalah menyelidiki parasut supersonik mereka yang akan digunakan pada misi ke Mars," terang pria 31 tahun tersebut. 

"Parasut itu, jelas Bagus, harus dapat menahan robot pada saat memasuki atmosfer Mars. Robot akan masuk di atmosfer Mars dengan kecepatan sangat tinggi dan parasut akan membantu mendaratkannya dengan aman di permukaan Mars," papar ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia 2012-2013 itu. 

Bagus sudah sekitar satu minggu berada di JAXA saat wawancara tersebut dilakukan. Dia menyatakan, banyak eksperimen yang sudah dilakukan. Fokus tugasnya ada pada pekerjaan menggunakan wind tunnel atau terowongan angin serta berbagai model parasut yang dikembangkan. Dia dibimbing ilmuwan Jepang, salah satunya guru besar Universitas Tokyo. Tugas Bagus menganalisis data setiap eksperimen. 

"Kurang lebih ada 60 eksperimen yang saya kerjakan selama di Jepang," kata dia. 

Bagi Bagus, riset di sebuah fasilitas terowongan angin bukan hal yang baru. Di kampusnya, Melbourne University, terdapat terowongan angin boundary layer (subsonik) terbesar dan terbaik di dunia. 

"Eksperimen saya di kampus menggunakan terowongan subsonik, sementara bekerja di terowongan supersonik seperti di Jepang ini adalah pengalaman baru," ujarnya. 

"Terowongan angin supersonic milik JAXA," kata Bagus, merupakan salah satu yang paling impresif yang pernah dilihatnya. Fasilitasnya luar biasa besar karena berada di dalam gedung seluas lapangan sepak bola dengan ketinggian ruangan hampir 30 meter. JAXA juga memiliki fasilitas komputer serta sistem akuisisi paling modern yang pernah dilihatnya. 

"Ruangannya sangat bersih dan steril. Bahkan, di ruang kontrol, sepatu dilarang masuk," bebernya. 

Bagus menggambarkan, ruang kontrol terowongan angin JAXA mirip ruang kontrol pesawat antariksa seperti yang terlihat dalam film-film Hollywood. Apresiasi peneliti JAXA terhadap Bagus sangat tinggi. Dia menuturkan, setiap hari sebelum pulang, dirinya wajib menyelesaikan analisis eksperimen pada hari itu dan diberikan kepada mentornya. Selain itu, Bagus dibebaskan untuk memodifikasi atau mengembangkan lebih jauh eksperimen yang sudah dikerjakan ilmuwan di JAXA. 

"Mereka sangat menghargai input orang lain. Terutama dari orang baru karena akan memberikan perspektif baru dan segar. Mereka sangat butuh sudut pandang lain yang dapat menambah pengetahuan dan menyelesaikan eksperimen dengan cepat serta tepat," jelasnya. 

Menurut Bagus, perhatian pemerintah Jepang terhadap JAXA dalam hal penyediaan peralatan dan berbagai macam eksperimen sangat tinggi. Itu belum termasuk fasilitas peluncuran satelit mereka yang hanya bisa disaingi negara-negara besar seperti Rusia, AS, Tiongkok, dan Uni Eropa. Bagus mengaku terkesan atas kedisiplinan, kerja sama, serta rasa hormat setiap personel di JAXA terhadap setiap riset. Personel yang dimaksud bukan hanya para profesor, peneliti, maupun mekanik, tetapi juga para petugas cleaning service mereka. 

"Setiap pagi seluruh personel di JAXA tanpa kecuali bertemu untuk melakukan rapat. Mereka membahas hasil eksperimen sebelumnya dan apa yang akan dilakukan hari itu. Walau cleaning service, dia tetap berhak memberikan pendapat serta berbicara tentang hasil eksperimen kemarin. Semua harus mengerti apa yang telah terjadi kemarin dan apa yang akan terjadi hari ini," ujar kontributor untuk majalah Angkasa itu. 

Latar belakang Bagus terbilang komplet. Saat masih mengenyam pendidikan S-1 di Australia, dia berkesempatan menjadi peneliti intern di sejumlah perusahaan/badan usaha di Indonesia. Di antaranya, di Daimler Mercedes-Benz, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan PT Garuda Maintenance Facility (GMF). Saat di DI, Bagus mengaku membantu insinyur senior menyelidiki performa CN 235 NG. Ketika di GMF, dia membantu tugas harian insinyur, dalam hal ini membuat program komputer sederhana untuk mendukung kerja harian mereka. 

"Kebetulan, di dua penelitian internal itu, minat saya di bidang aerospace," ucap lulusan S-1 bidang fisika dan mekanika University of Melbourne tersebut. 

Prestasi dan nilai akademik istimewa yang didapat Bagus di jenjang S-1 membuat dirinya mendapat izin untuk langsung mengambil kuliah S-3, tanpa harus mengenyam pendidikan S-2 terlebih dahulu. Pemerintah Australia juga mengeluarkan program untuk kampus di Melbourne bahwa mahasiswa S-3 bidang sains, teknik, dan kedokteran dibekali kemampuan berbisnis dengan mengambil program pascasarjana sampingan di Melbourne Business School. 

"Saya ambillah program itu karena mereka memberikan uang tambahan untuk biaya hidup, biaya konferensi atau riset USD 10.000," ujar Bagus. 

Karena itu, selama kuliah S-3 Bagus juga nyambi kuliah di kelas bisnis tiga kali seminggu selama setahun. Uang tambahan yang dia peroleh juga digunakan untuk sekolah yang lain. Dia tercatat sebagai lulusan pascasarjana bidang nano teknologi di Universitas Oxford, Inggris. Kuliah di Oxford dilakukan secara online, hanya sesekali dia harus terbang ke Inggris untuk mengambil kelas langsung. 

"Kuliah itu penting karena mengajar saya pengetahuan dari segi scientific, ekonomi, etika, dan kebijakan pemerintah di bidang nano teknologi," ujar pemuda asal Jogjakarta itu. 

Meski punya keahlian di bidang ilmu langka, Bagus kesulitan menerapkan di Indonesia. Pasalnya, perusahaan-perusahaan yang dilamarnya tidak pernah mau memanfaatkan keahlian Bagus. 

"Aplikasi saya ditolak semua karena tidak sesuai dengan yang mereka cari. Kenyataannya memang susah untuk orang seperti saya bekerja di Indonesia dengan latar belakang keilmuan saya," imbuhnya. 

Bagus mengaku agak sedih dengan kenyataan itu. Sebab, di Australia, latar belakang pendidikan Bagus benar-benar dicari. Tahun lalu Bagus pernah ditawari untuk bekerja di badan riset Departemen Pertahanan Australia. 

"Namun, karena berbagai pertimbangan, saya urung untuk apply. Terutama karena syaratnya harus menjadi warga negara Australia. Jujur saja, godaannya sangat banyak", tuturnya. 

Godaan itu, misalnya, Dephan Australia menawari Bagus bekerja dalam tim yang mendesain kapal selam militer masa depan mereka. Program tersebut sungguh menantang bagi peneliti pemula seperti dia. Apalagi, gaji yang dijanjikan menggiurkan. 

"Baru masuk menjadi PNS di Dephan Australia, gajinya sudah sekitar Rp 50 juta. Itu belum termasuk tunjangan dan benefit lain," ujar Bagus. 

Bagus kini mengerti mengapa banyak orang bilang: seorang yang memiliki latar belakang scientific tertentu susah bekerja di Indonesia. Pengalamannya menunjukkan, saat ini baru Australia dan Jepang yang mengapresiasi latar belakang pendidikan itu. 

"Saya tentu saja ingin kembali ke Indonesia, berbuat lebih. Namun, tampaknya saat ini belum bisa. Keadaan di Indonesia masih belum mengizinkan," tuturnya. 

Lajang yang tahun depan menikah itu mengatakan masih memiliki obsesi melanjutkan sekolah. Kali ini dia ingin mengambil master bidang kebijakan teknologi di Cambridge University. Reputasi Cambridge sebagai tempat lahir fisika klasik dan modern serta kampus dengan alumni penerima Nobel terbanyak membuat Bagus tertarik mencoba. 

Program yang akan dia ambil mengajarkan seseorang bagaimana membuat keputusan dengan menggabungkan teknologi, riset, manajemen, serta kebijakan. 

"Saya rasa ini program yang penting. Negara kita memiliki banyak ilmuwan pintar yang tersebar di berbagai negara. Apabila kita tidak bisa me-manage dan memiliki plan serta kebijakan yang baik, niscaya mereka akan enggan kembali pulang, " tandas dia. 

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top