Siapa yang menyangka bahwa sebuah desa di Jawa Timur adalah situs di mana gitar kelas dunia dibuat oleh beberapa anak muda? Namun demikianlah kenyataannya. Miftachul Falaq, warga Mojokerto, Jawa Timur, setiap hari bangun pada pukul lima pagi. Setelah mandi, shalat dan mengantarkan putranya ke sekolah, ia menunggu kedatangan rekan-rekannya di rumah unuk sarapan bersama.
Mereka kemudian berkumpul di bengkel kerja yang sangat, sangat sederhana di belakang rumah. Tujuannya? Membuat sesuatu yang tampaknya mustahil dilakukan dengan peralatan yang lebih sangat, sangat sederhana lagi: gitar berkelas dunia.
Dari sekitar pukul sembilan hingga lima sore, Falaq dan keenam rekannya membuat gitar dan gitar saja, tidak lain dari itu, selama enam hari dalam seminggu. Apakah itu gitar listrik atau akustik tidaklah soal bagi mereka.
Di atas sebuah meja kecil dalam bengkel kerja itu, bersama dengan asbak penuh puntung rokok, sekrup, obeng dan peralatan lain, tergeletak tumpukan katalog produsen gitar ternama seperti Ibanez, Fender dan Gibson. Anda tinggal tunjuk model yang diinginkan, negosiasi harga selama satu-dua menit, dan dalam tiga minggu pesanan Anda selesai.
"Selama ini kami selalu tepat waktu," tegas Falaq.
"Modal kami bukan saja keahlian dan semangat kerja, tapi juga kepercayaan pembeli."
Lalu, bagaimana dengan kualitasnya?
Saya berkesempatan menjajal gitar elektrik yang tampilannya dari jarak sekitar dua meter tidak beda dengan Fender Stratocaster, yang biasa digunakan Eric Clapton atau Jeff Beck. Dengan hanya menggunakan amplifier lokal gitar itu berhasil mengeluarkan suara yang menakjubkan karya Falaq cs memang dapat dipertanggungjawabkan.
Demikian juga halnya dengan gitar akustik ala Gibson yang biasa digunakan oleh The Beatles dan model Les Paul, jenis favorit para gitaris jazz gaungnya nyaring, padat dan merdu.
Memang luar biasa, dan itu semua itu dibuat oleh enam orang dengan latar belakang pendidikan yang tidak terlalu hebat namun berbekal bakat dan ketekunan yang luar biasa. (Falaq sendiri hanya memiliki ijazah D3 untuk Bahasa Inggris.)
"Modal kami bukan saja keahlian dan semangat kerja, tapi juga kepercayaan pembeli."
Lalu, bagaimana dengan kualitasnya?
Saya berkesempatan menjajal gitar elektrik yang tampilannya dari jarak sekitar dua meter tidak beda dengan Fender Stratocaster, yang biasa digunakan Eric Clapton atau Jeff Beck. Dengan hanya menggunakan amplifier lokal gitar itu berhasil mengeluarkan suara yang menakjubkan karya Falaq cs memang dapat dipertanggungjawabkan.
Demikian juga halnya dengan gitar akustik ala Gibson yang biasa digunakan oleh The Beatles dan model Les Paul, jenis favorit para gitaris jazz gaungnya nyaring, padat dan merdu.
Memang luar biasa, dan itu semua itu dibuat oleh enam orang dengan latar belakang pendidikan yang tidak terlalu hebat namun berbekal bakat dan ketekunan yang luar biasa. (Falaq sendiri hanya memiliki ijazah D3 untuk Bahasa Inggris.)
Dengan membayar paling sedikit sepersepuluh dari harga aslinya, siapa yang tidak tergiur untuk memiliki gitar buatan Falaq dan kawan-kawan? Dan Anda boleh minta merek apa saja bahkan nama Anda sekalipun ditaruh di kepala gitar.
"Benny Panjaitan dari Panbers memesan satu gitar dengan tandatangannya dipatri di atasnya," demikian Falaq.
Falaq memang memiliki keahlian untuk membuat gitar kelas dunia. Sekitar enam tahun lalu ia bekerja di sebuah pabrik gitar dari Korea di Surabaya. Di situ ia bukan sekedar mencari nafkah tetapi juga menyerap dengan seksama seluruh proses pembuatan instrumen musik itu. Setelah 14 bulan di sana ia merasa siap untuk melakukan hal yang sama namun dalam skala yang jauh lebih kecil.
Setelah Falaq bersama kawan-kawannya beberapa kali berhasil membuat gitar yang memadai, ia memutuskan untuk mendalami usaha tersebut. Namun Falaq memerlukan modal untuk membeli peralatan dan sarana produksi lainnya seperti gergaji dan pemoles listrik tubuh gitar dan lain-lain, tentunya. Tanah seluas nyaris 1000m2, di mana terdapat rumahnya, masih menyisakan tempat untuk mendirikan sebuah bengkel kerja sederhana seluas 100m2. Di situlah Falaq dan rekan-rekannya memulai proses panjang pembuatan gitar.
"Benny Panjaitan dari Panbers memesan satu gitar dengan tandatangannya dipatri di atasnya," demikian Falaq.
Falaq memang memiliki keahlian untuk membuat gitar kelas dunia. Sekitar enam tahun lalu ia bekerja di sebuah pabrik gitar dari Korea di Surabaya. Di situ ia bukan sekedar mencari nafkah tetapi juga menyerap dengan seksama seluruh proses pembuatan instrumen musik itu. Setelah 14 bulan di sana ia merasa siap untuk melakukan hal yang sama namun dalam skala yang jauh lebih kecil.
Setelah Falaq bersama kawan-kawannya beberapa kali berhasil membuat gitar yang memadai, ia memutuskan untuk mendalami usaha tersebut. Namun Falaq memerlukan modal untuk membeli peralatan dan sarana produksi lainnya seperti gergaji dan pemoles listrik tubuh gitar dan lain-lain, tentunya. Tanah seluas nyaris 1000m2, di mana terdapat rumahnya, masih menyisakan tempat untuk mendirikan sebuah bengkel kerja sederhana seluas 100m2. Di situlah Falaq dan rekan-rekannya memulai proses panjang pembuatan gitar.
Ia kemudian mengajukan pinjaman ke koperasi setempat, yang lalu mengusulkan ia mempersiapkan sebuah proposal untuk diteruskan ke kantor Garuda Indonesia di Surabaya.
Maskapai penerbangan nasional ini memang merupakan 'bapak angkat' dari pelbagai usaha kecil, dan usaha yang dilakukan Falaq masuk dalam kategori tersebut.
Harapan Falaq dan kawan-kawan mulai menjelma ketika beberapa petugas Garuda Indonesia yang menangani bidang itu meneliti usahanya. Setelah mereka mensurvei tempat kerja Falaq, rencana kerjanya serta modal yang ia sendiri akan sediakan, mengalirlah dana yang digunakan untuk membeli bahan baku dan peralatan.
"Mereka yakin bahwa usaha saya memiliki prospek baik, dan mereka juga yakin akan keahlian dan keseriusan saya," kata Falaq.
"Saya beterima kasih sekali kepada Garuda Indonesia yang mempercayai saya beberapa tahun lalu dan kini."
Dari bengkel kerja yang kini seluas kurang-lebih 200m2 untuk menampung tempat pembentukan tubuh gitar, ruangan untuk mencoba gitar sekaligus 'showroom', dan pengecatan dan pengeringan serta pemolesan, dihasilkan sekitar 40 gitar dari pelbagai jenis dalam sebulan.
"Omzet saya kira-kira Rp 40-50 juta sebulan dengan keuntungan yang lumayan setelah dipotong bahan baku dan tenaga," kata Falaq.
"Saya beterima kasih sekali kepada Garuda Indonesia yang mempercayai saya beberapa tahun lalu dan kini."
Dari bengkel kerja yang kini seluas kurang-lebih 200m2 untuk menampung tempat pembentukan tubuh gitar, ruangan untuk mencoba gitar sekaligus 'showroom', dan pengecatan dan pengeringan serta pemolesan, dihasilkan sekitar 40 gitar dari pelbagai jenis dalam sebulan.
"Omzet saya kira-kira Rp 40-50 juta sebulan dengan keuntungan yang lumayan setelah dipotong bahan baku dan tenaga," kata Falaq.
Kecuali snar beserta putarannya dan elemen listrik, semua bahan didapat secara lokal, termasuk kayu mahoni yang merupakan faktor penentu kualitas suara gitar.
Apakah ia berambisi untuk meningkatkan usahanya?
"Kalau saya melakukan itu, saya bukan lagi produsen custom-made guitars. Justru ini yang saya ingini, membuat gitar sesuai pesanan. Saya menekankan kualitas, bukan kuantitas seperti yang dikejar pabrik gitar," jelas Falaq.
"Justru apa yang saya lakukan sekarang ini membuat saya puas hati."
Dalam kunjungan kami selama dua jam, kopi, Teh Botol, rokok kretek, pisang dan tempe goreng mengalir tanpa henti, sesuai keramahtamahan khas masyarakat Jawa Timur. 'Ruang pamer' di mana kami berbincang sangat panas dan hanya disejukkan oleh sebuah kipas angin listrik tua yang suku cadangnya kini mungkin sudah tergolong langka. Kami kerap kali menengadah untuk siap menyingkir; kipas angin itu tampaknya sewaktu-waktu dapat lepas dari pegangannya dan jatuh di atas kepala kami.
"Kalau Anda ke sini lain kali, ruangan ini sudah akan memiliki AC," katanya. Setelah menyimak kualitas produk yang dihasilkan Falaq dan kawan-kawannya serta jumlah kliennya yang kian bertambah, kami percaya sekali janji itu akan terpenuhi.
Apakah ia berambisi untuk meningkatkan usahanya?
"Kalau saya melakukan itu, saya bukan lagi produsen custom-made guitars. Justru ini yang saya ingini, membuat gitar sesuai pesanan. Saya menekankan kualitas, bukan kuantitas seperti yang dikejar pabrik gitar," jelas Falaq.
"Justru apa yang saya lakukan sekarang ini membuat saya puas hati."
Dalam kunjungan kami selama dua jam, kopi, Teh Botol, rokok kretek, pisang dan tempe goreng mengalir tanpa henti, sesuai keramahtamahan khas masyarakat Jawa Timur. 'Ruang pamer' di mana kami berbincang sangat panas dan hanya disejukkan oleh sebuah kipas angin listrik tua yang suku cadangnya kini mungkin sudah tergolong langka. Kami kerap kali menengadah untuk siap menyingkir; kipas angin itu tampaknya sewaktu-waktu dapat lepas dari pegangannya dan jatuh di atas kepala kami.
"Kalau Anda ke sini lain kali, ruangan ini sudah akan memiliki AC," katanya. Setelah menyimak kualitas produk yang dihasilkan Falaq dan kawan-kawannya serta jumlah kliennya yang kian bertambah, kami percaya sekali janji itu akan terpenuhi.