MENYAJIKAN kopi bisa dilakukan dengan beragam cara. Nah, Ronald Prasanto memilih teknik molecular gastronomy. Dia menggabungkan skill memasak dengan ilmu kimia dan fisika. Kreasi pertamanya yang bertajuk Espresso Ravioli menjadi sajian restoran di Spanyol.
-------- NORA SAMPURNA, Jakarta -------- SEMUANYA berawal dari ruangan seluas sekitar 15 meter persegi yang awalnya merupakan garasi. Dari tempat itu Ronald menghasilkan beragam eksperimen menu molecular gastronomy. Tidak seperti dapur pada umumnya, ruangan tersebut lebih menyerupai laboratorium kimia. Di dalamnya terdapat tabung liquid nitrogen yang tersambung dengan pipa, coffee grinder, gelas ukur, dan aneka peralatan lain. Ruangan itu merupakan wilayah ”kekuasaan” Ronald di rumah. ”Istri saya pun tidak boleh masuk kalau saya sedang tidak di sini,” kata pria kelahiran Jakarta, 25 Januari 1981, tersebut saat ditemui di rumahnya di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
Bukan tanpa alasan Ronald begitu ketat menjaga ruangan itu. Sebab, di dalamnya terdapat berbagai bahan dan peralatan yang bisa berbahaya bila tidak paham cara penggunaannya. Molecular gastronomy merupakan penggabungan teknik memasak dengan ilmu kimia-fisika. Mulai dikenal luas pada 1992, molecular gastronomy bertujuan melakukan revolusi dalam dunia memasak dengan menggunakan teknik yang tidak biasa dan menghasilkan sense of art dari tampilan menu yang disajikan. Misalnya bentuk emulsi, gel, dan busa.
Ronald sendiri bukanlah seorang ahli kimia atau fisika. Perkenalan alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini dengan molecular gastronomy bermula ketika dirinya bekerja di salah satu pabrik saus. Di sana dia mempelajari ilmu food chemical. Dia lantas mengombinasikan dengan kopi yang merupakan minuman favoritnya sejak SMP. ”Dulu saya sebenarnya ingin sekolah kopi di Australia atau Singapura, tapi orang tua tidak mengizinkan,” ujarnya. Sering muncul kekhawatiran terhadap berbagai zat kimia yang digunakan dalam penyajian dengan molecular gastronomy. Amankah dikonsumsi? Ronald menjelaskan, sebenarnya semua makanan yang kita konsumsi pada dasarnya mengandung unsur kimia. ”Tubuh manusia punya batas maksimal terhadap asupan bahan kimia tertentu, selama tidak berlebihan, aman,” beber pria yang memfavoritkan kopi Arabica dari Indonesia Timur itu.
Kecintaan Ronald pada kopi memang sangat besar. Tidak hanya menjadi penikmat, dia juga mempelajari karakteristik kopi dari berbagai daerah. Dia pernah bertemu dengan Toni Wahid, coffee blogger. Dari obrolan mereka, teknik penyajian kopi selama ini tidak menunjukkan banyak pengembangan. Bagaimana supaya kopi bisa disajikan dengan lebih unik dan menghasilkan sensasi tersendiri. ”Paling banter latte art. Itu sudah banyak yang bikin. Saya bilang kepada Toni, kasih waktu gue satu bulan untuk bikin kopi yang beda,” ujarnya. Ketika itu pria yang menjadi konsultan untuk beberapa coffee shop tersebut sudah mulai bermain-main dengan molecular gastronomy.
Suami Melissa Latief itu lantas menggabungkan kecintaannya pada kopi dengan teknik yang dipopulerkan Ferran Adria, maestro molecular gastronomy dari Spanyol. Ronald lantas mengkreasikannya sendiri. Menu eksperimen pertama Ronald diberi nama Espresso Ravioli. Yakni segelas susu yang di dalamnya terdapat bulatan hitam menyerupai jelly. Gumpalan kecil tersebut berisi espresso cair. Cara menikmatinya, setelah menyeruput susu terlebih dulu, lalu menelan bulatan jelly. Begitu jelly espresso masuk ke mulut, akan didapatkan sensasi rasa yang unik. Menghasilkan pengalaman menikmati espresso dengan cara yang berbeda. Bagaimana membuat espresso cair itu terbungkus lapisan jelly dan baru pecah ketika masuk ke dalam mulut? ”Pada prinsipnya, membungkus liquid dengan jelly. Saya menggunakan sodium alginate, yaitu jelly khusus yang hanya menjadi jelly ketika bertemu kalsium klorida. Espresso Ravioli itu sebenarnya espresso yang dicampur sodium alginate, kemudian diteteskan ke dalam larutan kalsium klorida,” urainya.
Kreasi pertamanya itu banyak diminati masyarakat dan menjadi trademark Ronald. Bahkan, sang mahaguru Ferran Adria tertarik dengan menu tersebut dan meminta izin untuk menyajikannya di Restoran El Bulli, Spanyol. ”Dia menghubungi saya untuk menyajikan Espresso Ravioli selama satu bulan di restoran miliknya,” kata Ronald yang berkomunikasi dengan Ferran melalui e-mail. Selain Ferran, Ronald juga mengenal akrab Adrian Ishak, chef Indonesia yang menggeluti molecular gastronomy. Ronald mengatakan, di antara mereka yang menggeluti molecular gastronomy, terdapat budaya saling menghormati. Teknik yang dilakukan Ronald bisa dilakukan orang lain yang juga mempelajari molecular gastronomy. ”Apa yang saya bikin, Adrian ataupun Ferran juga pasti bisa. Tapi, ketika saya duluan yang mengeluarkan menu, mereka akan bilang ketika mau membuat hal yang sama. Begitu pula kalau saya mau bikin es teh panas yang identik dengan Adrian Ishak, saya bilang dulu sama dia,” paparnya. Itulah mengapa dia tidak mematenkan kreasi yang dia ciptakan. Dia justru senang apabila makin banyak orang yang bisa mempraktikkan dan menghasilkan kreasi-kreasi baru.
Ketika menemui Jawa Pos di rumahnya, Ronald sedang kedatangan seorang pelajar sekolah perhotelan yang ingin belajar teknik molecular gastronomy. Dia tidak segan berbagi ilmu. ”Yang penting pemahaman basic tentang bahan-bahan yang digunakan, misalnya nitrogen cair itu suhunya berapa, bagaimana reaksinya bila bertemu liquid. Bila sudah paham, tinggal berkreasi. Yang penting have fun, jangan dibayangkan ribet,” tuturnya. Ronald mempraktikkan proses membentuk jelly seperti pada pembuatan Espresso Ravioli. Bedanya, dia menggunakan bahan kurma dan keju, disajikan dengan coffee sorbet. Untuk membuat sorbet, proses pembekuannya menggunakan nitrogen cair bersuhu minus 198 derajat Celsius. Bila proses pembekuan dengan freezer perlu waktu sekitar dua jam, dengan cara ini hanya dibutuhkan sekitar 15 menit.
Dalam bereksperimen, tentu tidak sekali jadi langsung berhasil. Anak kedua di antara tiga bersaudara itu mengakui sering gagal. Meski tidak pernah mengalami kejadian yang membahayakan, pernah suatu kali bahan-bahan yang dia pakai dalam eksperimen berhamburan dan mengotori dinding ruangan. ”Akhirnya dicat ulang,” kenangnya. Ronald mengakui, belum banyak yang menekuni molecular gastronomy. Salah satu penyebabnya, investasi yang diperlukan tergolong besar. Untuk peralatan yang ada di ”laboratorium” miliknya, Ronald menyebut menghabiskan di atas Rp 200 juta. ”Saya senang kalau makin banyak yang main molecular gastronomy. Bisa makin seru sharing-nya. Tapi, balik lagi, modal yang dibutuhkan besar. Kalau mau bisnis, orang pasti berpikir, mending beli mesin espresso daripada beli alat-alat ini,” kata dia. ”Mungkin cuma orang yang nyentrik yang memilih beli alat-alat seperti saya,” terangnya.
Saat ini Ronald tengah menyiapkan kafe yang menyediakan menu-menu dessert seperti gelato, ice cream, sorbet, dan kopi dengan teknik molecular gastronomy. Kafe yang diberi nama Ron’s Laboratory tersebut bakal di-launching akhir September. Konsep dan menu-menu sudah siap, tinggal menata interior kafe. Ronald ingin memberikan pengalaman yang berbeda kepada para pengunjung kafenya nanti: bisa menyaksikan cara pembuatannya dan menikmati sajian dessert dengan cara yang unik.
Follow @wisbenbae