HUKUM SHALAT IED
Syaikh Al-Albani berkata:
“Yang benar, hukum shalat ‘Ied (Hari Raya) adalah wajib, bukan sunnah. Di antara dalilnya, bahwa shalat ‘Ied dapat menggugurkan shalat Jum’at jika bertepatan di hari yang sama. Sesuatu yang bukan wajib tidak bisa menggugurkan sesuatu yang wajib, sebagaimana dikatakan oleh Shiddiq Hasan Khan dalam ar-Raudhatun Nadiyyah. Dan silahkan merujuk pembahasan lengkapnya dalam kitab as-Sailul Jarrar.” [1]
ADAB-ADAB DI HARI ‘IEDUL FITHRI
1. Memakai Pakaian yang Bagus
Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan, “Rasulullah mengenakan burdah (jubah) berwarna merah di hari ‘Ied.” [2]
2. Menyantap Makanan Sebelum Berangkat
Dari Anas bin Malik, ia berkata, “Rasulullah tidak berangkat pada
pagi hari ‘Iedul Fithri hingga beliau menyantap beberapa butir kurma
dan beliau memakannya sejumlah bilangan ganjil.”[3]
3. Ikut Sertanya Wanita dan Anak-anak
Dari Ummu ‘Athiyyah: “Rasulullah memerintahkan kami untuk
mengeluarkan (membawa) mereka untuk (shalat) ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul
Adh-ha. Yaitu wanita-wanita dewasa, wanita-wanita haidh, dan para gadis.
[4]
4. Mengeraskan Takbir Ketika Berjalan Menuju Lapangan Tempat Shalat ‘Ied
Syaikh Al-Albani berkata: [5]
“Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah berangkat pada hari ‘Iedul Fithri dan beliau bertakbir hingga sampai ke mushalla
(lapangan tempat shalat) bahkan sampai ditunaikannya shalat ‘Ied.
Apabila shalat ‘Ied telah usai ditunaikan, maka beliau menghentikan
takbir. Hadits ini adalah dalil disyari’atkannya amalan kaum Muslimin,
yaitu mengeraskan takbir saat berjalan menuju tempat shalat ‘Ied,
meskipun kebanyakan mereka mulai meremehkan sunnah ini. Hingga
hampir-hampir ini hanyalah dongeng yang telah berlalu.”
Hal ini disebabkan lemahnya semangat beragama kaum Muslimin.
Mereka malu menampakkan Sunnah ini dan mengeraskannya. Dan sangat
disayangkan, di antara mereka ada juga yang bertugas sebagai pembimbing
umat dan mengajar mereka. Tapi, bimbingan mereka sebatas perkara-perkara
yang telah diketahui. Sedangkan perkara-perkara yang sangat perlu untuk
diketahui ummat justru tidak mereka perhatikan, bahkan menganggap
pembahasan dan memperingatkan ummat dengan ucapan dan perbuatan terhadap
perkara-perakara seperti ini adalah masalah remeh dan tidak penting
dalam amal dan ta’lim. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Yang perlu juga kami peringatkan di kesempatan ini, bahwa
mengeraskan takbir tidak disyari’atkan secara berjamaah dengan satu
suara dan komando (koor), seperti yang dikerjakan oleh sebagian
orang, demikian juga bacaan-bacaan dzikir yang disyari’atkan untuk
dibaca keras atau dzikir yang tidak disyari’atkan untuk dibaca keras, maka tidak disyari’atkan untuk membacanya secara berjama’ah. Contohnya adalah adzan jamaah yang populer di Damaskus dengan sebutan adzan al-juuq.
Kebanyakan berjama’ah seperti ini menyebabkan terputusnya lafazh adzan
-baik kata atau kalimat- padahal tidak boleh berhenti padanya, seperti laa ilaaha, pada lafazh tahlil Shubuh dan Maghrib yang sering kami dengar.
Hendaklah kita semua berhati-hati dalam hal ini dan kita selalu ingat sabda Nabi,
“Sebaik-baik petunjuk adlaah petunjuk Muhammad”
Kapan dimulainya mengumandangkan takbir ‘Iedul Fithri? Dan bagaimana caranya?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjawab, “Takbir pada
‘Iedul Fithri dimulai sejak tenggelamnya matahari di hari terakhir bulan
Ramadhan, sampai hadirnya imam untuk melaksanakan shalat ‘Ied. Adapun
sifat takbir adalah:
Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd.
Atau dengan lafazh:
Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar, Allaahu akbar walillaahil hamd.
Bisa dengan tiga kali takbir atau dua kali takbir, semuanya
boleh. Dan hendaklah setiap laki-laki Muslim menampakkan syi’ar Islam
ini bagi laki-laki, baik di pasar-pasar, di masjid-masjid, maupun di
rumah-rumah. Adapun bagi kaum wanita yang lebih utama hendaklah
bertakbir dengan suara yang pelan”. [6]
5. Mengambil Jalan Lain Ketika Pulang
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata, “Ketika hari ‘Ied, Nabi membedakan jalan yang beliau lalui.” [7]
6. Tidak Ada Shalat Sebelum maupun Sesudah Shalat ‘Ied
Dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya Nabi keluar pada hari ‘Iedul Fithri
lalu mengerjakan shalat dua raka’at. Beliau tidak mengajarkan shalat
sunnah sebelum maupun sesudahnya. Ketika itu beliau bersama Bilal. [8]
TATA CARA SHALAT ‘IED
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin menjelaskan, “Tata cara
shalat ‘Ied yaitu imam datang dan mengimami orang-orang sebanyak dua
raka’at. Pada raka’at pertama imam takbiratul ihram, setelah itu ia bertakbir sebanyak 6 (enam) kali. Kemudian membaca surat Al-Fatihah, lalu membaca surah
Qaaf. Kemudian bangkit ke raka’at kedua sambil bertakbir, setelah itu
ia bertakbir lagi sebanyak 5 (lima) kali, lalu ia membaca surat
Al-Fatihah dan membaca ayat surah Al-Qamar. Dua surah inilah yang sering dibaca Nabi ketika shalat ‘Ied.”
Dan jika mau, imam bisa membaca ayat surah Al-A’la di raka’at pertama, sedangkan di raka’at kedua ia membaca surah Al-Ghasyiyah. Ketahuilah bahwa shalat ‘Ied dan shalat Jum’at ada dua surah yang sama-sama dibaca pada kedua shalat tersebut. Ada juga dua surah yang dibaca berbeda sama-saa pada kedua shalat tersebut. Dua surah yang sama-sama dibaca para shalat tersebut adalah surah Al-A’laa dan surah Al-Ghasyiyah. Adapun dua surah yang berbeda adalah surah Qaaf dan surah Al-Qamar pada shalat ‘Ied, dan surah Al-Jumu’ah dan surah Al-Munafiquun pada shalat Jum’at.
Sepatutnya bagi imam shalat untuk menghidupkan Sunnah ini dengan membaca surah-surah itu, sehingga kaum Muslimin dapat mengetahuinya dan tidak mengingkari apabila hal itu terjadi.
Setelah itu, imam berkhutbah dan sebaiknya mengkhususkan -dalam
sebagian khutbahnya- yang ditujukan secara khusus bagi jama’ah wanita,
yaitu dengan memerintahkan mereka supaya mengerjakan amalam-amalan yang
mesti mereka kerjakan, serta memperingatkan mereka supaya menjauhi
perkara-perkara yang mereka jauhi. Hal ini sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Rasulullah. [9]
Dari ‘Abdulllah bin ‘Amr bin al’-Ash, ia berkata bahwa Nabi bersabda,
“Takbir untuk shalat ‘Iedul Fithri itu 7 kali pada raka’at pertama dan 5 kali pada raka’at kedua. Sedangkan membaca surah Al-Qur’an adalah setelah itu di setiap raka’at. [10]
Syaikkh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz berkata, “Tujuh kali takbir ini termasuk takbir saat Takbiiratul Ihram (di raka’at pertama). Adapun takbir di raka’at kedua dilakukan sebanyak 5 (lima) kali, tidak termasuk takbir intiqaal (yaitu takbir saat bangkit ke raka’at kedua).” [11]
Mengangkat Kedua Tangan Setiap Kali Takbir
Syaikh Al-Albani berkata:
“Yang benar, hal itu tidak disunnahkan. Sebab hal itu tidak ada
yang shahih dari Nabi. Adapun yang diriwayatkan dari ‘Umar dan
puteranya, tidak bisa menjadikannya sebagai Sunnah. [12]
UCAPAN SELAMAT HARI RAYA
Apa hukum mengucapkan selama pada hari raya? Apa ada ucapan tertentu?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin menjawab, “Mengucapkan
selamat hari raya adalah boleh. Dan tidak ada ucapan tertentu. Namun,
yang biasa dilakukan manusia selama tidak ada unsur dosa adalah boleh.”
[13]
Dari Jubair bin Nufail, ia berkata, “Apabila para Shahabat Nabi saling bertemu pada hari ‘Ied, mereka mengucapkan:
taqabbalallahu minna wa minkum
“Semoga Allah menerima (amal-amal) kami dan (amal-amal) kalian” [14]
Sumber: Tim Editor Media Tarbiyah (2012). Sifat Puasa Nabi: “Seakan-akan Anda berpuasa bersama Rasulullah”. Bogor: Media Tarbiyah. hlm. 137-144
Catatan Kaki:
[1] Tamaamul Minnah fii Takhriiji Fiq-his Sunnah.
[2] Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath. Syaikh Al-Albani berkata, “Sanad hadits ini jiyyad” Lihat Ash-Shahiihah (no.1279).
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.953), at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Lihat Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (I’233) karya Syaikh Al-Albani.
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no.324, 351, 971) dan Muslim (no. 890)
[5] Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (I/331, hadits no. 171)
[6] Liqaa-aat al-Baabil Maftuuh (no. 97), dinukil dari kitab al-Fataawaa al-Muhimmah lisy Syaikh Ibni ‘Utsaimin.
[7] HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi. Lihat al-Irwaa’(III/104-105).
[8] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 989) dan Muslim (no. 884)
[9] Liqaa-aat al-Baabil Maftuuh (no. 608), dinukil dari kitab al-Fataawaa al-Muhimmah lisy Syaikh Ibni ‘Utsaimin.
[10] Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan lainnya. Lihat al-Irwaa’ (III/108) karya Syaikh Al-Albani.
[11] Dinukil dari Shalaatul Mu’min karya Syaikh DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani. Beliau berkata, “Saya mendengarnya dari guru kami, Syaikh Ibnu Baaz mengatakannnya di tengah penjelasan atas hadits no. 519 dari kitab Buluughul Maram”
[12] Tamaamul Minnah fii Takhriiji Fiq-his Sunnah (hlm. 348). Adapun Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Al-’Utsaimin berpendapat bahwa mengangkat tangan setiap shalat ‘Ied adalah sunnah.
[13] Dinukil dari kitab al-Fataawaa al0Muhimmah lisy Syaikh Ibni ‘Utsaimin.
Follow @wisbenbae