Avram Noam Chomsky (lahir di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, 7 Desember 1928; umur 80 tahun) adalah seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts. Salah satu reputasi Chomsky di bidang linguistik terpahat lewat teorinya tentang tata bahasa generatif. Kepakarannya di bidang linguistik ini mengantarkannya merambah ke studi politik. Chomsky telah menulis lebih dari 30 buku politik, dengan beragam tema. Dan sejak 1965 hingga kini, dia menjelma menjadi salah satu tokoh intelektual yang paling kritis terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku-buku bertema politiknya kerap dianggap terlalu radikal untuk diresensi atau ditampilkan media AS.
Selama lima dasawarsa ini, Chomsky telah menjalin kontrak secara langsung dengan lebih dari 60 penerbit di seluruh dunia dan sudah menulis lebih dari 30 buku bertema politik. Dan baris-baris kalimat dalam tulisannya muncul di lebih dari 100 buku, mulai dari karya ilmiah tentang linguistik, politik, hingga kumpulan kuliah, wawancara dan esai.
Tidak banyak barangkali sosok penulis best seller yang bersikap seperti seperti Noam Chomsky. Bagi dia, menulis buku adalah perpanjangan dari aktivitas politiknya. Bila sebagian besar penulis menghabiskan energinya mencemaskan tentang promosi dan penjualan buku mereka, tidaklah demikian dengan Chomsky. Kritikus yang aktif mengomentari kebijakan politik luar negeri AS ini, selalu menolak melakukan tur standar untuk mempromosikan bukunya. Chomsky bahkan tidak begitu peduli dengan urusan uang muka royalti, pasal-pasal dalam kontrak, dan hak-hak yang diberikan penerbit.
Perjalanan Hidup dan Karirnya
Noam Chomsky yang kemudian sering disebut Chomsky dikenal sebagai tokoh intelektual yang berani “melawan arus” mapan (atau istilah populernya sebagai antikemapanan), baik terhadap kalangan kolega yang disebut-sebutnya sebagai “pembebek garis resmi kebijakan Amerika Serikat” ataupun para elit pemerintahan di Amerika Serikat. Tulisan dan artikelnya serta pendapatnya yang sering menyentakkan publik dan elit pemerintahan Amerika Serikat terutama dalam perspektif dia yagn berbeda seputar peran Amerika Serikat di berbagai tempat di dunia mulai dari Nikaragua, Amerika Tengah, Vietnam hingga Timur Tengah.
Pendapatnya yang sering berbeda dengan opini umum dan memberikan perfektif dan arti baru berbagai istilah dan peristiwa, mengundang serangan dari kalangan tertentu, dan pemahaman baru terhadap hal-hal yang tak terbayangkan sebelumnya pada kalangan lainnya. Semua gagasannya yang mengundang kalangan penentang dan pendukung selalu ditampilkan secara berbobot (powerfull).
Masalah antara jarak dan realitas dan pemaknaan media besar dalam berbagai kasus seperti “Perang Dingin”, Tatanan Dunia Baru,Demokrasi dan lainnya merupakan objek utama Chomsky. Motivasinya adalah rasa ingin tahu yang besar. Ia selalu terjud dalam berbagai opini yang selalu bertentangan dan berbeda, lalu mencari makna sebenarnya dalam gagasan yang saling bertentangan dan berbeda dan bahkan saling bertabrakan itu. Menurut guru besar linguistik MIT ini, pandangan monolitik media-media besar yang tampil secara konsisten harus dicurigai sebagai upaya untuk mempertahankan status quo yang ada.
Yang mula-mula menjadi inspirasi terbesar ke lapangan ini adalah George Orwell yang karya-karyanya sudah memukau Chomsky semenjak remaja. Novel “Animal Farm, 1984?, esai semacam “Language in the Service of Propaganda” atau “Homage to Catalonia”, merupakan sedikit dari deretan karya Orwell yang mempengaruhi Chomsky.
Chomsky bahkan gemar membandingkan dirinya dengan
novelis itu. Untuk mencari kebenaran sejati, Orwell berkelana dari satu
tempat ke tempat lain untuk memperoleh informasi dari tangan pertama.
Sedangkan Chomsky mengeksplorasi kebenaran itu dari buku dan khasanah
teks yang ia baca. Ditambah kegemaran masa kecilnya, membaca seri
ensiklopedi Compton.
Noam Chomsky lahir pada 7 Desember 1928 di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dibesarkan di tengah keluarga berpendidikan tinggi, pasangan Dr William Zev Chomsky dan Elsie Simonofsky.
Ayahnya dikenal dikenal sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani, yang disebut harian New York Times sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani terkemuka yang menulis sejumlah karya gramatika bahasa itu. Pada usia 12 tahun, Chomsky sudah membaca salah satu karya berat ayahnya tentang tata bahasa Ibrani abad ke-13. Selain memperkenalkan bahasa dan warisan budaya leluhurnya, Yahudi, ayah Chomsky juga memperkenalkan tradisi intelektual yang kelak melekat dalam diri Chomsky.
Noam Chomsky lahir pada 7 Desember 1928 di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dibesarkan di tengah keluarga berpendidikan tinggi, pasangan Dr William Zev Chomsky dan Elsie Simonofsky.
Ayahnya dikenal dikenal sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani, yang disebut harian New York Times sebagai ahli gramatika bahasa Ibrani terkemuka yang menulis sejumlah karya gramatika bahasa itu. Pada usia 12 tahun, Chomsky sudah membaca salah satu karya berat ayahnya tentang tata bahasa Ibrani abad ke-13. Selain memperkenalkan bahasa dan warisan budaya leluhurnya, Yahudi, ayah Chomsky juga memperkenalkan tradisi intelektual yang kelak melekat dalam diri Chomsky.
Sementara ayahnya mewarisi tradisi kebebasan
intelektual, ibunya yang memiliki kecenderungan kekiri-kirian
(antikemapanan) menekankannya pentingnya keseimbangan untuk bertindak
sebagai pemikir yang sekaligus aktivis.
Sang paman, suami kakak ibunya, ikut mempengaruhi arah watak intelektual Chomsky dengan memperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran terkemuka, Sigmund Freud dan berbagai aliran Komunis seperti Karl Marx, Stalinis, Trotskys, Leninisme dan yang lain-lainnya. Toko Pamannya, yang menjual berbagai koran dan majalah di New York, menjadi tempat berkumpulnya para intelektual Yahudi di New York. “
Sang paman, suami kakak ibunya, ikut mempengaruhi arah watak intelektual Chomsky dengan memperkenalkannya tokoh-tokoh pemikiran terkemuka, Sigmund Freud dan berbagai aliran Komunis seperti Karl Marx, Stalinis, Trotskys, Leninisme dan yang lain-lainnya. Toko Pamannya, yang menjual berbagai koran dan majalah di New York, menjadi tempat berkumpulnya para intelektual Yahudi di New York. “
Kelas pekerja Yahudi di New York memang berbeda.
Intelektualitas mereka sangat tinggi, sekalipun sangat miskin. Banyak di
antara mereka yang tidak memiliki pekerjaan . Tapi mereka hidup di
tengah lingkungan yang kaya secara intelektual. Saya pikir ini merupakan
masa yang paling berpengaruh di masa usia remaja saya.” kenang Chomsky.
Yang menarik seperti halnya ditulis dalam buku, Noam Chomsky, “A Life of Dissent” yang ditulis oleh Robert F. Barsky, asisten gurubesar Sastra Inggris di Universitas Western Ontario Kanada, yang disebut-sebut sebagai buku biografi intelektual dan politik Chomsky, Chomsky sempat bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang mendorong beremigrasinya kaum Yahudi Amerika ke negeri harapan yang baru dibentuk, Israel. Ia memang tidak secara resmi terdaftar sebagai organisasi Yahudi berhaluan kiri seperti Avukah yang mendorong berdirinya negeri “binasional” (Arab-Yahudi) di Palestina. Tapi karena bersentuhannya dengan kelompok-kelompok tersebut, keinginan untuk tinggal di Israel sempat terlintas di benaknya.
Pada saat tercatat sebagai anggota Harvard’s Society Fellow, berdua dengan istrinya, Carol, ia mengunjungi negeri itu pada tahun 1953. Mereka tinggal di kibbutz, pemukiman baru Yahudi di Palestina selama kira-kira enam minggu. Dia menggambarkan lingkungannya itu sebagai miskin, hanya sedikit makanan dan yang lebih penting lagi: “Benar-benar sesuai dengan lingkungan ideologis”. Yang terakhir itulah yang kemudian merisaukannya. Bagi dia, tidak mudah menerima lingkungan yang dia sebut sebagai ekslusif dan rasis tersebut.
Ketika ia berada disana, Chomsky melihat bagaimana masyarakat non-Yahudi terpinggirkan, terancam dan ketakutan, pengalaman inilah, yang menunjukkan standar ganda keadilan, membuat dia merasa ragu perlunya membentuk negara Yudaisme untuk etnik Yahudi. Pada masa berikutnya, Chomsky malah dikenal sebagai salah satu intelektual Amerika Serikat yang berani berkonfrontasi secara langsung, menentang pencaplokan Israel atas tanah Palestina. “Satu tanah dua negara, ini merupakan esensi utama masalah Israel-Palestina” katanya dalam buku “The Chomsky Reader”.
Watak kritis ini sebagai ahli linguistik yang banyak menulis soal-soal politik internasional, selain dibentuk oleh banyak gagasan yang mempengaruhinya, juga dibentuk dari bidang yang ditekuninya, “Cartesian Linguistics”. Menurut Chomsky, sekali ia menerima perspektif Cartesian dalam bahasa, pada tahap berikutnya ia harus mendukung hak alami manusia dan melawan segala macam otoritarianisme yang menindas manusia.
Keterlibatannya di aktivisme politik merembet tidak cuma sebatas menulis artikel. Ia pun mengirim petisidan memprotes berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggapnya menindas negara lain. “Saya menyadari bahwa mengirim petisi, menumbang uang, mengadakan pertemuan itu tak cukup. Saya berpikiradalah penting jika kita ikut ambil bagian secara lebih aktif….dan saya sadar benar apa akibatnya”, kata Chomsky.
Yang menarik seperti halnya ditulis dalam buku, Noam Chomsky, “A Life of Dissent” yang ditulis oleh Robert F. Barsky, asisten gurubesar Sastra Inggris di Universitas Western Ontario Kanada, yang disebut-sebut sebagai buku biografi intelektual dan politik Chomsky, Chomsky sempat bersentuhan dengan kelompok-kelompok yang mendorong beremigrasinya kaum Yahudi Amerika ke negeri harapan yang baru dibentuk, Israel. Ia memang tidak secara resmi terdaftar sebagai organisasi Yahudi berhaluan kiri seperti Avukah yang mendorong berdirinya negeri “binasional” (Arab-Yahudi) di Palestina. Tapi karena bersentuhannya dengan kelompok-kelompok tersebut, keinginan untuk tinggal di Israel sempat terlintas di benaknya.
Pada saat tercatat sebagai anggota Harvard’s Society Fellow, berdua dengan istrinya, Carol, ia mengunjungi negeri itu pada tahun 1953. Mereka tinggal di kibbutz, pemukiman baru Yahudi di Palestina selama kira-kira enam minggu. Dia menggambarkan lingkungannya itu sebagai miskin, hanya sedikit makanan dan yang lebih penting lagi: “Benar-benar sesuai dengan lingkungan ideologis”. Yang terakhir itulah yang kemudian merisaukannya. Bagi dia, tidak mudah menerima lingkungan yang dia sebut sebagai ekslusif dan rasis tersebut.
Ketika ia berada disana, Chomsky melihat bagaimana masyarakat non-Yahudi terpinggirkan, terancam dan ketakutan, pengalaman inilah, yang menunjukkan standar ganda keadilan, membuat dia merasa ragu perlunya membentuk negara Yudaisme untuk etnik Yahudi. Pada masa berikutnya, Chomsky malah dikenal sebagai salah satu intelektual Amerika Serikat yang berani berkonfrontasi secara langsung, menentang pencaplokan Israel atas tanah Palestina. “Satu tanah dua negara, ini merupakan esensi utama masalah Israel-Palestina” katanya dalam buku “The Chomsky Reader”.
Watak kritis ini sebagai ahli linguistik yang banyak menulis soal-soal politik internasional, selain dibentuk oleh banyak gagasan yang mempengaruhinya, juga dibentuk dari bidang yang ditekuninya, “Cartesian Linguistics”. Menurut Chomsky, sekali ia menerima perspektif Cartesian dalam bahasa, pada tahap berikutnya ia harus mendukung hak alami manusia dan melawan segala macam otoritarianisme yang menindas manusia.
Keterlibatannya di aktivisme politik merembet tidak cuma sebatas menulis artikel. Ia pun mengirim petisidan memprotes berbagai kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggapnya menindas negara lain. “Saya menyadari bahwa mengirim petisi, menumbang uang, mengadakan pertemuan itu tak cukup. Saya berpikiradalah penting jika kita ikut ambil bagian secara lebih aktif….dan saya sadar benar apa akibatnya”, kata Chomsky.
Dan karena gagasan-gagasannya yang radikal mengenai berbagai soal kebijakan luar negeri Amerika Serikat itu, namanya sempat masuk dalam daftar musuh Gedung Putih pada masa pemerintahan Richard Nixon. Ia pun pernah ditangkap dan diinterogasi petugas kemanan karena gagasan-gagasannya itu, yang kemudian pernah membuat dia bertanya-tanya, apakah dia tinggal di Amerika atau di negeri lainnya.
Tapi ia tidak kenal jera. Ia bahkan menyebutnya sebagai akibat tanggungjawabnya sebagai intelektual. “Bertrand Russell dan Albert Einstein sama-sama dikenal sebagai intelektual hebat. Keduanya sepakat bahaya tengah mengancam umat manusia. Tapi mereka memilih jalan yang berbeda untuk meresponnya.
Einstein hidup dengan enak di Princeton dan
mengabdikan dirinya semata-mata untuk riset seraya sesekali menyampaika
orasi ilmiah, sementara Russell memilih demonstrasi di jalan”, kata
Chomsky yang memasang foto Russell di ruang kerjanya di MIT. “Ingin tahu
hasilnya? Russel dikutuk sementara Einstein dipuji selangit seperti
laiknya malaikat. Apakah itu semua mengejutkan kita? Tidak”, kata
Chomsky yang sadar benar akibat dari pilihannya. [yy/theglobal-review.com]
Follow @wisbenbae