Sama-sama muda, keduanya bertalenta. Kesemuanya merupakan bingkai yang merangkum beribu pesona yang unik dan menawan. Lah, tapi yang satu lahir di komik Marvel, yang satu lagi lahir di madrasah peradaban Nabi Muhammad. Yang satu muncul tiba-tiba dan langsung menyeruak media, ditiru banyak penggemar dan muda-mudi dalam menjalani laku hidup, yang satu kini namanya ‘diredupkan’ sejarah yang kian hari kian terbalik. Kejam nian.
Spider-Man dan Usamah bin Zaid. Kesemuanya memiliki prestasi dan cakupan popularitas yang besar. Keduanya sama-sama berkiprah dalam jagat kepahlawanan, heroes, bravery, dan keduanya ada sebagai produk sebuah misi. Ya, misi yang berlawanan.
Biar saya perkenalkan, yang satu, namanya Spider-Man alias Peter Parker. Mahasiswa tekun yang mencintai seorang bernama Marry Jane. Kehidupannya rapuh, ia hidup dari cinta semu dan karena sebuah keberuntungan, ia digigit seekor laba-laba misterius saat sedang studi ke Laboratorium Biologi. Seketika ia berubah menjadi kekar, tak perlu lagi berkacamata, laku hidupnya berubah 180 derajat, hingga akhirnya ia memesan baju ketat dengan lambang laba-laba di dada, bergelantungan di dinding-dinding New York, menangkap penjahat, sesekali bertemu Marry Jane dan… sesuatu yang tidak halal terjadi. Dan (anehnya) dia menjadi pahlawan
Perkenalkan, yang satu ini wajahnya hitam, badannya kekar dan ia bukan apa-apa sebelumnya. Pemuda yang terus belajar dan mencintai Cintanya Sang Maha Cinta. Ia bukan anak saudagar, tapi sebuah risalah telah datang dan mengubah segalanya tentang Arab, termasuk dirinya. Masa kecilnya telah diasuh oleh Seorang Guru Peradaban, karakter, jiwa, perangai, hingga taktik dan keberanian telah dikecapnya, bersama Ayah yang juga kesayangan nabi. Hingga, usia 17 tahun hidupnya, mempertemukannya dengan takdir kepahlawanan yang spektakuler ; memimpin balatentara terbaik melawan Imperium terbesar saat itu, Romawi.
Dan (jelaslah) dia menjadi pahlawan. Pahlawan sungguhan.
Namun bukan dunia jika tidak penuh tipu daya. Bandingkan, Spider-Man yang pahlawan fiktif itu menjadi poster dan cover-cover majalah, merembes menjadi ikon kepahlawanan bagi anak-anak Gambarnya dipasang di wallpaper computer, topengnya dijual di pasar-pasar, dari Ujung Spanyol sampai papua Nugini. Seorang tokoh fiktif yang kemudian lahir tiba-tiba, dan langsung terkenal, membawa sebuah misi; Mind Control, menjadi mindset ikon kepahlawanan.
Hingga terurai dalam sebuah riset, 75% anak-anak kecil menyatakan pertama kali melihat adegan perzinaan, adalah ketika mereka menyaksikan film Spider-Man. Memang benar ia Pahlawan, pahlawan bagi Mafia Pengeksploitasi moral.
Spider-Man adalah produk Perang Pemikiran.
Mengenaskan.
Dan, disudut yang lain. Nama Sang pahlawan muda yang begitu populer di kalangan langit itu terkubur di pentas ikon kepahlawanan. Bahkan kita sendiri kadang-kadang tak tahu siapa Usamah bin Zaid. Ikon Superhero muda yang menggelora itu ditenggelamkan pasar dan kepentingan bisnis yang mementingkan untung, hingga generasi ini lebih peka mendengar Spider-Man, Power Ranger dan kawan-kawannya ketimbang Superhero Usamah bin Zaid, Muzhaffar Quthuz, Khalid bin Walid, atau Muhammad Al-Fatih.
Padahal Usamah bin Zaid adalah cetakan generasi emas Islam.
Ini bukan sebuah permainan semata. Spider-Man, menurut saya adalah salah satu sampel dari sekian ratus ikon bohong yang digunakan untuk menelikung orientasi generasi. Wah wah, nampaknya terkesan dalam sekali ya? Ya, memang benar kan? Keteladanan memegang faktor utama dalam membentuk karakter individu. Jika apa yang dilakukan legenda-legenda fiktif itu dilihat, diperhatikan, diamalkan, wah.. sudah jadi generasi ompong namanya. Berkhayal tiada batas, sementara peradaban terus berlari.
Alhamdulillah, setelah sekian lama generasi ini ditantang tontonan superhero khayalan, suatu kali saya menjumpai anak-anak kecil di pusat kota, sedang bermain perang-perangan. Yang satu berteriak
“Aku jadi Nabi sulaiman!”
“Aku pokoknya jadi Shalahuddin!”
“Ah, jangan… itu aku….!”
Ayah dan Ibu mereka tertawa renyah. Mensyukuri.
Anak-anak TK itu bermain pedang-pedangan, seru sekali nampaknya. Alhamdulillah. Saya bukan bersyukur karena mereka main perang-perangan, melainkan tingkah polos mereka yang sudah terpatri deretan nama-nama Agung, mereka telah disuapi hikayat dan cerita kepahlawanan yang agung nan semerbak wanginya….. yang kelak akan mereka teladani, hingga mereka lahir kembali sebagai penerus keemasan pendahulunya.
Antara Spider-Man dan Usamah bin Zaid. Keduanya terkenal. Yang satu terkenal di penjuru media karena film dan komik-komik, yang satunya berbeda, ia terkenal di penjuru langit karena keshalihan dan keluhuran budi pakertinya.
Antara Spider-Man dan Usamah bin Zaid, Keduanya hebat, yang satu hebat bohongan yang dijadikan proyek uang bagi Bisnisman tak bertanggung jawab, hebat main sarang laba-laba dan pandai main ayunan di dinding-dinding kota. Yang satunya hebat, baru 17 tahun sudah memboyong kemenangan spektakuler memukul Mundur Romawi di masa-masa tenarnya. Hebat Karena ditunjuk menahkodai Sahabat Senior, Umar bin Khottob, Abdurrahman bin Auf dan sahabat superhero lain juga.
Antara Spider-Man dan Usamah bin Zaid. Keduanya membawa misi yang berlawanan. Yang satu hanya tokoh fiktif namun menjerumuskan orientasi sebuah generasi. Yang satunya membawa misi kemanusiaan, mengantarkan manusia dari penghambaan pada manusia menuju pada penghambaan pada Tuhannya Manusia, misi cerdas yang unik dan menawan.
Antara Spider-Man dan Usamah bin Zaid, keduanya superhero, entah di alam nyata atau hanya fiktif belaka. Dan keduanya adalah perlambangan perang yang takkan pernah usai, antara kebenaran dan kebatilan. Anak-anak yang bermain perang-perangan dengan menyebut deretan nama Kamen Raider dan Power Ranger tentu sangatlah berbeda dengan mereka yang sudah hafal nama Ahmad Yassin, Yahya Ayyash, Imad Aqil dan memerankannya dalam petak umpet intifadhah mereka.
Kini dunia menunggu, apakah akan lahir generasi baru yang terinspirasi Superhero gadungan yang berwarna-warni, ataukah dunia akan terperangah dengan kelahiran kembali generasi emas itu, generasi yang terinspirasi dari laku bijak dan luhur pendahulunya, yang mengecap jejak-jejak yang telah ditempuh leluhur besar mereka, para manusia yang berdiri tegak mengumpulkan kerikil dan serakan hikmah menjadi bangunan kokoh bernama peradaban. Peradaban sungguhan tentunya.
Follow @wisbenbae