Penulis: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Sebuah peristiwa tragis kembali menimpa kaum muslimin. 70 shahabat pilihan yang merupakan para qurra` (ahli membaca Al-Qur`an, yakni ulama) dibantai dengan hanya menyisakan satu orang saja. Peristiwa ini mengguratkan kesedihan yang mendalam pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun mendoakan kejelekan kepada para pelakunya selama satu bulan penuh. Inilah awal mula adanya Qunut, namun tentu saja bukan seperti yang dipahami oleh masyarakat kebanyakan di mana dilakukan terus menerus setiap Shalat Shubuh.
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau mengutus shahabat-shahabatmu kepada penduduk Najd untuk mengajak mereka kepada Islam, aku berharap mereka akan menyambutnya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`: “Aku yang menjamin mereka.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an, termasuk pemuka kaum muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`r Ma’unah, sebuah daerah yang terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setibanya di sana, mereka mengutus Haram bin Milhan, saudara Ummu Sulaim bintu Milhan, membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amir bin Thufail. Namun ‘Amir bin Thufail tidak menghiraukan surat itu, bahkan memberi isyarat agar seseorang membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombaknya dan Haram melihat darah, dia berkata: “Demi Rabb Ka’bah, aku beruntung.”
Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang-orang Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat lainnya, namun mereka menolak karena adanya perlindungan Abu Barra`. Diapun menghasut Bani Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah, Ri’l, dan Dzakwan. Merekapun datang mengepung para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yang ketika itu terluka dan terbaring bersama jenazah lainnya. Dia hidup hingga terjadinya peristiwa Khandaq.
Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari juga memaparkan kisah yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, antara lain beliau mengatakan:
“Bahwasanya ada perjanjian antara kaum musyrikin dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah kelompok yang tidak ikut memerangi beliau. Diceritakan oleh Ibnu Ishaq dari para gurunya, demikian pula oleh Musa bin ‘Uqbah dari Ibnu Syihab, bahwa yang mengadakan perjanjian dengan beliau adalah Bani ‘Amir yang dipimpin oleh Abu Barra` ‘Amir bin Malik bin Ja’far si Pemain Tombak. Sedangkan kelompok lain adalah Bani Sulaim. Dan ‘Amir bin Thufail ingin mengkhianati perjanjian dengan para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diapun menghasut Bani ‘Amir agar memerangi para shahabat, namun Bani ‘Amir menolak, kata mereka: “Kami tidak akan melanggar jaminan yang diberikan Abu Barra`.” Kemudian dia menghasut ‘Ushaiyyah dan Dzakwan dari Bani Sulaim dan mereka mengikutinya membunuh para shahabat…” demikian secara ringkas.
Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan terhadap orang-orang yang membunuh para qurra` shahabat-shahabat beliau di Bi`r Ma’unah. Belum pernah para shahabat melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini.
Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan ketika para qurra` itu terbunuh. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu berduka dibandingkan ketika kejadian tersebut.”
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dalam Tarikh-nya, sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (3/247), bahwa pada saat pembantaian tersebut, ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamari dan Al-Mundzir bin ‘Uqbah bin ‘Amir tinggal di pekarangan kaum muslimin. Mereka tidak mengetahui adanya peristiwa pembantaian itu melainkan karena adanya burung-burung yang mengitari tempat kejadian tersebut. Akhirnya mereka melihat kenyataan yang memilukan tersebut.
Mereka berembug apa yang mesti dilakukan. ‘Amr bin Umayyah berpendapat sebaiknya mereka kembali untuk menceritakan kejadian pahit ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Al-Mundzir menolak dan lebih suka turun menyerang kaum musyrikin. Diapun turun dan menyerang hingga terbunuh pula. Akhirnya ‘Amr tertawan, namun ketika dia menyebutkan bahwa dia berasal dari kabilah Mudhar, ‘Amir memotong ubun-ubunnya dan membebaskannya.
‘Amr bin Umayyah pun pulang ke Madinah. Setibanya di Al-Qarqarah sebuah wilayah dekat Al-Arhadhiyah, sekitar 8 pos dari Madinah dia berhenti berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian datanglah dua laki-laki Bani Kilab dan turut berteduh di tempat itu juga. Ketika keduanya tertidur, ‘Amr menyergap mereka dan dia beranggapan bahwa ia telah membalaskan dendam para shahabatnya. Ternyata keduanya mempunyai ikatan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak disadarinya. Setelah tiba di Madinah, dia ceritakan semuanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun berkata:
“Sungguh kamu telah membunuh mereka berdua, tentu saya akan tebus keduanya.”1
Inilah antara lain yang juga menjadi penyebab terjadinya perang Bani An-Nadhir yang akan dikisahkan pada edisi mendatang, Insya Allah.
Dari kisah ini, ulama menyimpulkan bahwa qunut yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah qunut nazilah. Dan itupun beliau lakukan selama satu bulan, mendoakan kejelekan terhadap Bani Lihyan, ‘Ushaiyyah dan lain-lain. Bukan terus-menerus sebagaimana dilakukan sebagian kaum muslimin hari ini.
Ini diriwayatkan juga oleh Al-Imam Ahmad dan lainnya dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan lalu meninggalkannya.”
Demikian pula yang disimpulkan oleh Ibnul Qayyim dalam pembahasan masalah qunut ini, lihat kitab Zaadul Ma’ad (1/273-285).
Terakhir, beliau mengatakan bahwa yang diriwayatkan dari shahabat tentang qunut ini ada dua, yaitu:
a. Qunut ketika ada musibah atau bencana yang menimpa (nazilah) seperti qunut yang dilakukan Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu ketika para shahabat memerangi Musailamah Al-Kadzdzab dan ahli kitab. Juga qunut yang dilakukan ‘Umar dan ‘Ali ketika menghadapi pasukan Mu’awiyah dan penduduk Syam.
b. Qunut yang mutlak, yang dimaksud adalah memanjangkan rukun shalat (seperti berdiri, sujud, dan lainnya) untuk berdoa dan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Lihat Tarikh Ath-Thabari 2/81, Tafsir Ibnu Katsir 1/429, 4/332.
Sumber: http://www.asysyariah.com/