Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Pasca Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq dipilih dan disepakati oleh kaum Muslimin melalui musyawarah untuk menjadi pemimpin menggantikan posisi Rasulullah SAW.
Dapat dibayangkan kesulitan Abu Bakar dalam memimpin umat yang sebelumnya kuat dilandasi oleh ikatan kekerabatan (kabilah), tidak mengenal aturan, buta huruf, pelanggaran kehormatan, dan penyerangan terhadap saudara maupun kerabat.
Dapat pula dibayangkan beratnya Abu Bakar dalam mentransformasikan konsep "Jamaah Islamiyah" menjadi "Daulah Islamiyah".
Sadar bahwa suatu bangsa tidak mungkin menjadi besar kecuali telah melampaui proses ratusan tahun, satu jalan alternatif untuk mempercepat akselerasi kebesaran itu antara lain dengan menjalin kesatuan hati dan pemahaman yang sama tentang konsep kekuasaan.
Maka Abu Bakar menerapkan konsep kepemimpinan yang benar, yaitu pemimpin yang ditaati kendati terkadang terdapat perbedaan pandangan dalam melihat beberapa permasalahan.
Program pertama yang digagas Abu Bakar adalah memerangi orang-orang murtad (keluar dari agama Islam) pascawafatnya Rasulullah SAW. Guna menyukseskan gagasan tersebut, Abu Bakar melakukan berbagai rangkaian pendekatan dan konsultasi kepada para sahabat. Sebagian kecil sahabat setuju, sementara sebagian besarnya menentang.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan berbeda pendapat dengan lugas, kemudian tidak menaati Abu Bakar. Mereka tetap taat kepada Abu Bakar karena sadar, sekiranya mereka berselisih, maka Islam tidak akan berdiri tegak.
Perselisihan hanya akan membawa orang-orang murtad menyerang Islam dan melumpuhkan kekuatannya. Oleh karenanya, ketaatan kepada pemimpin menjadi perkara yang wajib bagi para sahabat karena mengandung kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan.
Dalam perjalanannya Abu Bakar menunjuk Usamah memimpin pasukan kaum Muslimin. Sebagian sahabat lagi-lagi kurang setuju dengan penunjukan tersebut. Akan tetapi, ketika Abu Bakar meyakinkan pandangannya dan bertekad melaksanakan gagasannya, semua sahabat tanpa kecuali taat dan menjalankan perintahnya.
Tidak ada seorang pun dari sahabat yang berkata bahwa pendapatnya berbeda secara diametral lalu menentang Abu Bakar. Para sahabat tetap mengambil posisi taat kepada pemimpin karena rahasia kekuatan, kebaikan, kemuliaan dan keagungan yang terkandung di dalamnya.
Maka demikianlah, dalam waktu yang relatif singkat, kaum Muslimin berhasil menjalin persatuan yang kuat, disamping kebaikan, kemuliaan dan keagungan umat Islam. Orang-orang murtad berhasil ditumpas, kendati dengan pengorbanan gugurnya puluhan syuhada dari kelompok penghafal Alquran.
Demikianlah etika mulia dari para sahabat dalam kisah kepemimpinan yang memprioritaskan kepentingan umat dibanding kepentingan diri sendiri maupun kelompok.
Memberikan nasihat kepada pemimpin adalah hak orang yang dipimpin. Namun di dalam pelaksanaan hak dan kewajiban sesungguhnya terdapat pertimbangan kepatutan, sehingga dalam menyampaikan kritik membangun diperlukan cara-cara santun dan proporsional agar tetap patut dan tidak melahirkan cibiran orang. Wallahu a'lam.