Museum Simalungun, ini adalah salah satu objek yang nggak sengaja saya datangi saat berada di Pematang Siantar. Museum ini nggak ada di daftar itinerary saya. Lucunya, saat saya jalan kaki dari Vihara Avalokitesvara melintasi Jalan Jenderal Sudirman menuju ke arah pusat kota, saya malah ketemu dengan Museum Simalungun. Letaknya mudah dijangkau karena berada di tengah kota. Bangunannya diapit oleh dua bangunan besar yaitu Gereja GKPS Sudirman dan Kantor Polres Sudirman. Nggak perlu berpikir panjang dong saya langsung mampir.
Bangunan Museum Simalungun yang terletak di Kota Pematang Siantar ini berbentuk rumah adat yang sangat menarik. Namun jangan dikira bentuknya seperti Rumah Bolon (rumah adat Sumatera Utara) yang banyak di temui di sekitaran Pulau Samosir. Bentuknya sangat berbeda dengan Rumah Bolon. Mungkin bentuk bangunan seperti ini adalah ciri khas bangunan asal Simalungun. Hal yang paling membedakan adalah bentuk atapnya. Sedangkan untuk fungsi bangunannya sepertinya sama saja, berupa rumah panggung yang ruang utamanya ada di lantai dua. Selain pada atap, ornamen-ornamen yang menghiasi bangunan rumah adat ini juga sudah sangat berbeda. Namun warna merah, putih, dan hitam masih sangat mendominasi.
Daripada bengong di luar, mending langsung masuk saja ke ruang utama museum di lantai atas dengan naik beberapa anak tangga. Awalnya saya agak bingung juga karena museum ini sangat sepi pengunjung. Sewaktu saya datang, yang berkunjung cuma ada dua orang anak SMP yang sepertinya sedang diberi tugas sekolah. Itupun mereka sudah selesai melakukan kunjungan dan akan segera pulang.
Di dalam bangunan museum saya disambut, seorang cewek yang bertugas menjaga pada hari tersebut. Seperti biasalah kami sedikit berkenalan dan berbasa-basi dulu dengan menanyakan asal saya. Setelah tahu kalau saya tamu dari jauh, si mbak kemudian menemani saya untuk melihat koleksi yang ada di Museum Simalungun. Sambil melihat-lihat koleksi, dia menerangkan tentang barang-barang yang sedang saya lihat tersebut. Nah mbaknya ini menerangkan dengan suara yang pelan dan kalau saya tebak mbaknya adalah seorang yang cukup pendiam. Kadang masih agak kaku menjelaskan dengan detail. Kalau saya belum cukup mengerti atau saya penasaran bertanya tentang sebuah koleksi, mbaknya malah memberi jawaban yang kurang meyakinkan bahkan terkadang mengelengkan kepala. Hehe.. Nggak apa-apa deh, mungkin lagi apesnya dia aja dapat tamu saya. Namun saya sangat mengapresiasi usahanya menjelaskan kepada saya.
Secara garis besar, koleksi Museum Simalungun terdiri dari peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, peralatan perikanan, alat-alat kesenian, dan perhiasan. Nama-nama peralatan yang menjadi koleksi museum ditulis dalam bahasa batak misalnya hudali (cangkul), pinggan pasu (piring untuk raja), hail (kail), dan lain sebagainya. Dari segi ragam koleksi nggak terlalu banyak jenisnya. Sebagian barangnya ya itu-itu aja walaupun disimpan di tempat yang berbeda.
Karena ini adalah Museum Simalungun, jadi koleks-koleksi yang ada memang benar-benar ciri khas Simalungun yang berbeda dengan daerah lain di Sumatera Utara. Misalnya saja untuk pakaian adat. Pakaian adat Simalungun tidak disebut Ulos, melainkan Hiou. Kalau yang saya lihat sih jenisnya serupa, hanya ornamen-ornamen pada kainnya saja yang lebih ramai dengan berbagai motif.
Kebudayaan Simalungun yang tergambar di Museum Simalungun nggak melulu asli dari wilayah Simalungun. Ada juga beberapa kebudayaan yang mengadopsi dari Jawa. Yang paling terlihat adalah pada alat musik yang menyerupai gamelan. Ada gendang, gong, dan sejenisnya. Saya lupa apa namanya kalau di daerah Simalungun. Namanya benar-benar sulit diingat kalau nggak dicatat. Maklumlah nggak ngerti sama sekali dengan Bahasa Batak.
Selesai berkeliling di ruang utama yang tidak terlalu luas ini saya sebenarnya sudah berpamitan sama si mbak yang jaga, tapi saya malah nggak boleh pulang dulu. Nah lhoo, mau diapain nih saya. Haha.. Rupanya si mbak masih ingin memperlihatkan beberapa koleksi lagi yang terletak di ruang bawah. Sepertinya ruang bawah ini jarang dibuka untuk pengunjung. Terbukti si mbak sibuk nyari kunci setelah saya menyetujui untuk melihat koleksi di ruang bawah. Mungkin si mbak ingin memberi kesan yang baik untuk pengunjung dari jauh seperti saya ini. Hoho..
Sambil berjalan ke ruang bawah, si mbak terus bercerita tentang bangunan museum ini. Dulunya museum full terbuat dari kayu. Bahkan beberapa bagian bangunan menggunakan kayu-kayu utuh gelondongan yang disusun seolah seperti bertumpukan untuk menyangga bangungan di atasnya. Karena semakin lama termakan usia, kayu-kayu itu digantikan oleh semen beton namun sudah dicat menyerupai sebuah kayu alami. Untuk membuktikannya saya ketok deh itu kayu-kayu penyangga, dan memang benar sudah diganti dengan semen. :D
Pada ruang di bawah ini koleksi yang ada sebenarnya nggak jauh beda dengan koleksi yang ada di ruang atas. Ada piring-piring dan mangkuk dari tembaga yang biasa digunakan untuk menghidangkan makanan raja. Ada peralatan pertanian seperti cangkul dan alat untuk membajak. Untuk alat perikanan ada bubu yang merupakan alat penangkap ikan dari bambu, jaring, dan penampung ikan. Selain itu ada juga benda-benda hasil kerajinan tangan seperti topeng dan patung. Barang yang paling banyak ya alat-alat makan untuk raja yang terbuat dari tembaga.
Secara keseluruhan Museum Simalungun cukup menarik. Sayangnya objek wisata sejarah yang satu ini sepertinya sangat tertinggal dan tidak dikenal seperti layaknya Danau Toba di Parapat yang juga masih masuk dalam Kabupaten Simalungun. Perawatan museum sepertinya juga kurang. Ada beberapa koleksi yang rusak, ntah sudah menua atau memang dimakan rayap. Sebagian besar juga berdebu seperti jarang dibersihkan. Lebih miris lagi ketika mendengar cerita mbak yang jaga kalau pengunjungnya sangat minim, bahkan hanya beberapa kunjungan saja perbulan. Kalau diibaratkan Museum Simalungun ini “hidup segan matipun tak mau”. Padahal wisata Museum Simalungun bisa saja dipaketkan dengan wisata Danau Toba di Parapat yang hanya berjarak 50 km kalau saja dikelola dengan baik. Toh sebagian besar pelancong yang mengunjungi Danau Toba akan melalui Pematang Siantar. Apalagi bisa dibilang tiketnya juga murah lho. Cuma 5.000 rupiah saja, kita bisa berwisata sekaligus belajar sejarah dan budaya..
Bangunan Museum Simalungun yang terletak di Kota Pematang Siantar ini berbentuk rumah adat yang sangat menarik. Namun jangan dikira bentuknya seperti Rumah Bolon (rumah adat Sumatera Utara) yang banyak di temui di sekitaran Pulau Samosir. Bentuknya sangat berbeda dengan Rumah Bolon. Mungkin bentuk bangunan seperti ini adalah ciri khas bangunan asal Simalungun. Hal yang paling membedakan adalah bentuk atapnya. Sedangkan untuk fungsi bangunannya sepertinya sama saja, berupa rumah panggung yang ruang utamanya ada di lantai dua. Selain pada atap, ornamen-ornamen yang menghiasi bangunan rumah adat ini juga sudah sangat berbeda. Namun warna merah, putih, dan hitam masih sangat mendominasi.
Daripada bengong di luar, mending langsung masuk saja ke ruang utama museum di lantai atas dengan naik beberapa anak tangga. Awalnya saya agak bingung juga karena museum ini sangat sepi pengunjung. Sewaktu saya datang, yang berkunjung cuma ada dua orang anak SMP yang sepertinya sedang diberi tugas sekolah. Itupun mereka sudah selesai melakukan kunjungan dan akan segera pulang.
Di dalam bangunan museum saya disambut, seorang cewek yang bertugas menjaga pada hari tersebut. Seperti biasalah kami sedikit berkenalan dan berbasa-basi dulu dengan menanyakan asal saya. Setelah tahu kalau saya tamu dari jauh, si mbak kemudian menemani saya untuk melihat koleksi yang ada di Museum Simalungun. Sambil melihat-lihat koleksi, dia menerangkan tentang barang-barang yang sedang saya lihat tersebut. Nah mbaknya ini menerangkan dengan suara yang pelan dan kalau saya tebak mbaknya adalah seorang yang cukup pendiam. Kadang masih agak kaku menjelaskan dengan detail. Kalau saya belum cukup mengerti atau saya penasaran bertanya tentang sebuah koleksi, mbaknya malah memberi jawaban yang kurang meyakinkan bahkan terkadang mengelengkan kepala. Hehe.. Nggak apa-apa deh, mungkin lagi apesnya dia aja dapat tamu saya. Namun saya sangat mengapresiasi usahanya menjelaskan kepada saya.
Secara garis besar, koleksi Museum Simalungun terdiri dari peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, peralatan perikanan, alat-alat kesenian, dan perhiasan. Nama-nama peralatan yang menjadi koleksi museum ditulis dalam bahasa batak misalnya hudali (cangkul), pinggan pasu (piring untuk raja), hail (kail), dan lain sebagainya. Dari segi ragam koleksi nggak terlalu banyak jenisnya. Sebagian barangnya ya itu-itu aja walaupun disimpan di tempat yang berbeda.
Karena ini adalah Museum Simalungun, jadi koleks-koleksi yang ada memang benar-benar ciri khas Simalungun yang berbeda dengan daerah lain di Sumatera Utara. Misalnya saja untuk pakaian adat. Pakaian adat Simalungun tidak disebut Ulos, melainkan Hiou. Kalau yang saya lihat sih jenisnya serupa, hanya ornamen-ornamen pada kainnya saja yang lebih ramai dengan berbagai motif.
Kebudayaan Simalungun yang tergambar di Museum Simalungun nggak melulu asli dari wilayah Simalungun. Ada juga beberapa kebudayaan yang mengadopsi dari Jawa. Yang paling terlihat adalah pada alat musik yang menyerupai gamelan. Ada gendang, gong, dan sejenisnya. Saya lupa apa namanya kalau di daerah Simalungun. Namanya benar-benar sulit diingat kalau nggak dicatat. Maklumlah nggak ngerti sama sekali dengan Bahasa Batak.
Selesai berkeliling di ruang utama yang tidak terlalu luas ini saya sebenarnya sudah berpamitan sama si mbak yang jaga, tapi saya malah nggak boleh pulang dulu. Nah lhoo, mau diapain nih saya. Haha.. Rupanya si mbak masih ingin memperlihatkan beberapa koleksi lagi yang terletak di ruang bawah. Sepertinya ruang bawah ini jarang dibuka untuk pengunjung. Terbukti si mbak sibuk nyari kunci setelah saya menyetujui untuk melihat koleksi di ruang bawah. Mungkin si mbak ingin memberi kesan yang baik untuk pengunjung dari jauh seperti saya ini. Hoho..
Sambil berjalan ke ruang bawah, si mbak terus bercerita tentang bangunan museum ini. Dulunya museum full terbuat dari kayu. Bahkan beberapa bagian bangunan menggunakan kayu-kayu utuh gelondongan yang disusun seolah seperti bertumpukan untuk menyangga bangungan di atasnya. Karena semakin lama termakan usia, kayu-kayu itu digantikan oleh semen beton namun sudah dicat menyerupai sebuah kayu alami. Untuk membuktikannya saya ketok deh itu kayu-kayu penyangga, dan memang benar sudah diganti dengan semen. :D
Pada ruang di bawah ini koleksi yang ada sebenarnya nggak jauh beda dengan koleksi yang ada di ruang atas. Ada piring-piring dan mangkuk dari tembaga yang biasa digunakan untuk menghidangkan makanan raja. Ada peralatan pertanian seperti cangkul dan alat untuk membajak. Untuk alat perikanan ada bubu yang merupakan alat penangkap ikan dari bambu, jaring, dan penampung ikan. Selain itu ada juga benda-benda hasil kerajinan tangan seperti topeng dan patung. Barang yang paling banyak ya alat-alat makan untuk raja yang terbuat dari tembaga.
Secara keseluruhan Museum Simalungun cukup menarik. Sayangnya objek wisata sejarah yang satu ini sepertinya sangat tertinggal dan tidak dikenal seperti layaknya Danau Toba di Parapat yang juga masih masuk dalam Kabupaten Simalungun. Perawatan museum sepertinya juga kurang. Ada beberapa koleksi yang rusak, ntah sudah menua atau memang dimakan rayap. Sebagian besar juga berdebu seperti jarang dibersihkan. Lebih miris lagi ketika mendengar cerita mbak yang jaga kalau pengunjungnya sangat minim, bahkan hanya beberapa kunjungan saja perbulan. Kalau diibaratkan Museum Simalungun ini “hidup segan matipun tak mau”. Padahal wisata Museum Simalungun bisa saja dipaketkan dengan wisata Danau Toba di Parapat yang hanya berjarak 50 km kalau saja dikelola dengan baik. Toh sebagian besar pelancong yang mengunjungi Danau Toba akan melalui Pematang Siantar. Apalagi bisa dibilang tiketnya juga murah lho. Cuma 5.000 rupiah saja, kita bisa berwisata sekaligus belajar sejarah dan budaya..
http://www.wijanarko.net/2011/10/nggak-sengaja-ketemu-museum-simalungun.html
Post a Comment Blogger Facebook