Masalah Jakarta jelas disebabkan oleh para pendatang. Lalu mengapa kita masih tega membebaninya dengan kehadiran kita? Mengapa kita tidak menjadikan musim mudik ini sebagai momentum untuk mudik selamanya?
Oleh Mohammad Sholekhudin
Musim mudik sudah tiba. Kenapa tidak mudik selamanya saja?
Ibarat seorang ibu, Ibukota (sekaligus Ibukita) ini sudah tua renta. Sakit-sakitan menyusui sepuluh juta warganya. Juga jutaan lagi orang luar Jakarta. Segala resep kebijakan sudah dicoba. Gubernur sudah gonta-ganti datang dan pergi. Tapi Jakarta tetap tidak lebih manusiawi. Hanya tampilan fisiknya sedikit lebih rapi tapi umpatan warganya, juga gubernurnya, terbukti tak berkurang sama sekali.
Hingga hari ini belum ada tanda-tanda Ibukita yang renta ini akan sembuh dari penyakitnya. Masalah Jakarta jelas disebabkan oleh para pendatang. Lalu mengapa kita masih tega membebaninya dengan kehadiran kita? Mengapa kita tidak menjadikan musim mudik ini sebagai momentum untuk mudik selamanya?
Satu orang pemudik jelas sangat bermakna bagi Jakarta. Satu orang berarti satu kursi bus, satu sepeda motor, atau bahkan satu mobil di jalan raya. Apalagi jika satu orang ini bergabung dengan satu orang lagi, satu lagi, dan seterusnya. Jakarta sudah punya gerakan #TemanAhok, sudah semestinya kota ini juga punya gerakan #TalakAhok atau #TalakJakarta: gerakan mudik permanen dengan tiket sekali jalan.
Setidaknya ada tujuh alasan kenapa mudik permanen adalah pilihan cerdik.
Hidup di Desa Penuh Berkah
Di desa tak ada macet yang menyebabkan kita sampai mengumpati gubernur, bahkan mantan gubernur. Walaupun dompet tipis, kita tak perlu stres karena setiap saat kita bisa mendapat berkat. Di desa ada dua jenis berkat. Yang satu berasal dari Tuhan, yang satu lagi berasal dari tetangga atau kerabat. Berkat jenis kedua ini khas, hanya ada di kampung-kampung.
Warga desa biasa merayakan hal-hal yang menyenangkan dengan membagi-bagikan nasi ke kerabat dan tetangga. Dalam bahasa Jawa, nasi ini disebut sego berkat. Nasi berkat adalah salah satu makanan paling ajaib di dunia, setidaknya bagi saya. Bumbu dan lauknya mungkin biasa saja, hanya telur Bali dan serundeng tapi entah bagaimana makanan ini sangat menggugah selera.
Dulu ketika masih di jakarta, saya sudah berpuluh kali merasakan masakan restoran dan hotel berbintang. Tapi tidak ada satu pun yang bisa mengalahkan godaan sego berkat. Aneh bin ganjil bin ajaib.
Kawin-mawin Gampang
Poin ini penting terutama buat kaum jomlo yang sampai mudik tahun ini masih takut ditanya kapan kawin. Urusan kawin di desa sangat sederhana. Prosesnya bahkan lebih cepat daripada aplikasi pinjaman tanpa agunan. Tak perlu pedekate, pacaran, apalagi alapyu-alapyuan. Prosesnya hanya sehari perkenalan, sehari lamaran, setelah itu kawinan. Tiga hari kerja efektif.
Soal cinta bagaimana? Inilah beda kawin-mawin ala orang desa dan orang kota. Kalau Anda masih bertanya tentang cinta pranikah, kutipan film Love in the Time of Cholera mungkin bisa memberi jawaban: Cinta itu tak lebih dari respons endokrin. Sama seperti naik turunnya tekanan darah.
Lebih dari itu, gadis-gadis desa sebetulnya juga lebih cantik-cantik daripada gadis kota. Suwer! Gadis kota hanya menang di kosmetik. Mereka lebih pandai berdandan. Dan kita sama-sama tahu, bedak hanya menciptakan kamuflase. Dalam jarak dekat, bedak hanya akan tampak sebagai tepung terigu.
Dalam perkara dandan ini, saya pernah punya pengalaman mengerikan di Jakarta. Satu kali saya punya janji dengan seorang artis perempuan untuk sesi pemotretan. Si artis bilang akan sampai di studio pada pukul empat sore. Sebelum sesi pemotretan, dia harus di-make up dulu.
Dengan lugu, saya datang tepat pukul empat sore di studio yang sudah disepakati. Setahu saya, saudara-saudara perempuan saya kalau berpupur untuk berangkat ke kondangan hanya butuh waktu beberapa belas menit. Tapi ternyata proses make up artis itu membutuhkan waktu sampai tiga jam lebih! Dia baru bersedia menemui saya pukul tujuh malam lewat. Mengerikan sekali.
Itulah realitas di balik wajah-wajah cantik penghuni Jakarta. The power of pupur.
Biaya Hidup Murah
Sebagai gambaran, di dekat rumah saya, biaya Taman Kanak-kanak hanya Rp 2.000 per pertemuan. Bandingkan dengan TK-TK di Jakarta yang uang masuknya saja setara dengan gaji sebulan. Di desa, biaya sekolah dan pesantren tingkat SMP hanya Rp 300.000 sebulan. Tingkat SMA hanya 400.000 per bulan. Itu sudah termasuk SPP, uang asrama, dan uang makan. Komplet. Bagaimana dengan mutu pendidikannya? Yang saya jadikan contoh ini adalah pondok pesantren Al-Ishlah di Sendang, Paciran, Lamongan, dekat rumah saya. Pesantren ini cukup bonafit dan terkenal, santrinya banyak berasal dari luar kabupaten. Kiainya kebetulan cukup unik, almunus Pesantren Gontor, sarjana filsafat UGM, juga sastrawan.
Contoh lain, biaya resepsi pernikahan. Di kota, pengantin harus menyewa gedung dengan biaya jutaan rupiah. Di desa, kita cukup pasang atap terpal dan kursi di gang depan rumah. Beres. Tidak akan ada pengendara motor yang misuh-misuh seperti di Jakarta kalau orang Betawi menggelar hajatan dengan menutup jalan tikus di depan rumahnya. Contoh ini adalah ironi kehidupan Jakarta. Menutup gang buat hajatan adalah tradisi Betawi sejak zaman Gubernur Jan Pieterszoon Coen. Memaksa mereka menyewa gedung untuk mencegah macet pada dasarnya adalah memaksakan ego para pendatang.
Itu soal resepsi. Selanjutnya, kalau bini hamil dan mau melahirkan, tinggal datang saja ke bidan. Rata-rata biayanya hanya ratusan ribu rupiah. Bandingkan dengan kebiasaan perempuan kota yang tidak mau melahirkan kalau tidak ditangani dokter kandungan di rumah sakit. Tentu saja biayanya jutaan rupiah, apalagi kalau lewat operasi cesar.
Di desa, hampir semua perempuan melahirkan sambil mengejan dan mereka baik-baik saja. Kebiasaan bersalin cesar adalah budaya orang kota yang tidak percaya dengan kemampuan mengejan kaum perempuan. Mereka ini adalah target empuk rumah sakit dan dokter-dokter SpOG, DDC (Spesialis Obstetri-Ginekologi, Dikit-Dikit Cesar).
Bekerja di Desa Jauh Lebih Menantang
Kalau Anda suka tantangan, tinggal di desa dan menjadi petani adalah pilihan tepat. Tak ada profesi yang lebih menantang daripada menjadi petani.
Seorang petani harus mampu meramal cuaca dan musim seperti seorang ahli klimatologi. Ia juga harus mengetahui ilmu hama, serangga, jamur, dan bakteri seperti sarjana biologi. Ia juga harus menguasai teknik mesin agar bisa membetulkan sendiri pompa air dan traktornya yang mogok di tengah sawah. Ia juga harus menguasai ilmu kimia dan farmasi agar mengerti cara kerja pupuk dan pestisida. Lebih dari itu, petani harus bisa memprediksi naik turunnya harga gabah, cabai, dan tomat seperti kepala Bulog atau pedagang Pasar Induk Kramat Jati.
Tak ada satu pun profesi yang membutuhkan begitu banyak keahlian selain petani. Inilah tantangan hidup yang sebenarnya. Tidak sekadar my trip my adventure ala orang kota.
Hidup Santai
Saya kira inilah alasan penting kenapa mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji sekarang memilih tinggal di desa dan menjadi petani.
Rata-rata penghasilan orang desa memang tidak sebanyak orang Jakarta. Tapi ini sebanding dengan tingkat stresnya. Saya mengalaminya sendiri. Selama tinggal di desa, saya sering benar-benar kehabisan uang dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Tak ada uang sama sekali di dompet dan ATM. Kalau hal seperti ini terjadi di Jakarta, mungkin keadaannya sudah ketegori gawat darurat. Tapi kondisi gawat ini tidak terjadi di desa. Kalau di rumah tidak ada lauk, tinggal ajak anak istri datang ke rumah mertua dan makan gratis di sana.
Mudik permanen ke desa akan mengembalikan kepribadian santai kita yang mungkin hilang secara tidak disadari saat tinggal di kota. Silakan perhatikan, semua orang yang pergi ke Jakarta akan berubah kepribadiannya. Pak Jokowi mungkin adalah contoh yang paling publik.
Sejak pergi ke Jakarta, dia yang mulanya sangat selow bisa berubah menjadi sering uring-uringan. Bahkan, dia juga mulai belajar mengingkari janji karena terlalu berat menanggung beban.
Kuburan Masih Luas
Ini poin penting lain yang juga harus masuk dalam pertimbangan. Tinggal di Jakarta, hidup susah, mati pun susah. Lahir harus bayar, kencing bayar, mati pun bayar.
Di Jakarta, kuburan sudah penuh sesak. Untuk bersaing mendapatkan tempat transit menuju alam baka saja kita harus membayar beberapa juta rupiah. Di desa, kalau seorang warga meninggal, keluarganya hanya perlu memberi makan tukang gali kubur. Tanah makam bukan persoalan karena lahan masih sangat luas. Mau liang lahat dua kali ukuran normal pun bisa diatur. Jakarta mungkin satu-satunya kota di Indonesia yang bisa menghasilkan cerita tragis soal penguburan.
Anda tentu masih ingat beberapa tahun lalu ada berita heboh, seorang pemulung menggendong jenazah anaknya ke mana-mana mencari kuburan.
Mudik Permanen adalah Gerakan Politik
Di Jakarta sudah terlalu banyak orang pintar. Dan inilah sesungguhnya masalah utamanya. Terlalu banyak orang pintar yang berkumpul di satu tempat hanya seperti pepatah too many cooks spoil the lodeh. Terlalu banyak tangan hanya akan menyebabkan sayur lodeh menjadi acakadut. Tak perlu membayangkan diri sebagai ksatria kebajikan yang berangkat ke Jakarta untuk menumpas kejahatan dan mengubah Indonesia. Anas Urbaningrum pun dulu pasti berpikir demikian.
Saya bukan penganut paham NKRI harga mati. Menurut saya, NKRI harusnya harga nego.
Harga pas hanya akan menutup kemungkinan tawar-menawar untuk mendapatkan opsi yang bisa jadi lebih baik. Bisa saja Indonesia akan menjadi lebih baik kalau menjadi negara federal supaya Jakarta tidak terlalu rakus menyedot uang dan membebankan utang. Otonomi hanya seperti puyer obat sakit kepala. Jakarta masih terlalu hiruk-pikuk. Ibukita yang tua renta ini butuh obat yang lebih mujarab untuk mengurangi penduduknya. Satu orang saja sudah cukup bermakna karena satu orang pemudik setara dengan satu suara di bilik pemilu.
Mari mudik. Mari talak Jakarta.
Post a Comment Blogger Facebook