Oleh: Adhie M. Massardi*
Dibolehkan bagi kalian mengeritik pemerintahan, bahkan mempersalahkan pemerintahan itu, sekalipun baru berjalan beberapa bulan.
Kita paham, dalam Islam, jabatan -lebih-lebih dalam pemerintahan-, adalah amanah. Maka menjalankan pemerintahan bagi presiden (pemimpin), merupakan ibadah.
Disebut ibadah karena tujuan (menjalankan) pemerintahan, sebagaimana dirumuskan para pendiri negeri dalam pembukaan UUD 1945: "membangun masyarakat adil dan makmur".
Islam menghendaki terbangunnya masyarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. "Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur" (negara yan baik dan Tuhan Yang Maha Pengampun).
Ada juga adagium: "Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin haruslah terkait langsung dengan kesejahteraan mereka (tasyarruf al-imam 'ala ar-ra'iyyah manuutun bi al-maslahah).
Makanya indikator keberhasilan pemimpin tiada lain kecuali diukur dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Sebagaimana sholat yang sudah ditentukan arahnya (kiblat), demikian pula (kiblat) pemerintahan. Dalam perspektif (negara) demokrasi, kiblat pemerintahan adalah "janji kampanye" Sebab "janji kampanye" itu yang membuat rakyat makmum kepadanya memilih dalam pemilu.
Dalam hal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, kita semua tahu, "Nawacita" dan "Trisakti" merupakan kiblat pemerintahannya.
Maka sebagaimana ibadah sholat, kita bisa langsung menegur dan meluruskannya apabila kita melihat saudara kita salah dalam menghadap kiblat. Tidak perlu menunggu sampaiatahiyatul akhir.
Demikianlah dalam pemerintahan. Sudah bisa dikritik dan dipersalahkan apabila (sejak) langkah pertama mengganti kiblat dari menyejahterakan rakyat jadi memanjakan konglomerat (pemilik modal). Dari nasionalisme menjadi neo-liberalisme.
Maka apabila harus ditunggu sampai "atahiyatul akhir", bukan saja kita berdosa, tapi akan lebih banyak lagi rakyat jadi korban akibat kebijakan pemerintahannya.[]
*Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB)
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook