GuidePedia

0

STASIUN TV One Yogyakarta diserbu kader dan simpatisan PDIP. Konon, serbuan itu dipicu pemberitaan stasiun tv milik taipan Aburizal Bakrie itu yang menyebut PDIP sarang komunis. Versi lain, menyebutkan kemarahan warga Partai Banteng Moncong Putih itu disebabkan TV One menyamakan PDIP dengan komunis.

Saya ikuti berulang-ulang tayangan berita TV One yang dianggap menghebohkan itu lewat Youtube. Ternyata, di sana tidak ada sepotong kalimat pun yang secara eksplisit menyebutkan PDIP sama dengan partai komunis, PDIP sarang komunis atau yang sejenisnya. Tidak ada! Jadi, bagaimana mungkin para petinggi PDIP, khususnya Sekjen Tjahjo Kumolo bisa menerjemahkan berita itu dengan sangat sumir? Bukankah sebagai petinggi partai, dia seharusnya cukup cerdas untuk mencerna narasi sebuah pemberitaan?


Agar lebih jelas, di sini saya turunkan ulang narasi berita TV One tersebut:
Terkait laten komunis, ternyata Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membina hubungan erat dengan partai komunis Tiongkok atau CPC. Selain menerima kunjungan perwakilan dari partai komunis Tiongkok, PDIP juga mengirimkan sejumlah kadernya untuk mengenyam ilmu di partai komunis itu. Kunjungan partai komunis Tiongkok ke Indonesia dilakukan akhir 2012 lalu.

Pertemuan dihadiri oleh delegasi partai komunis dan petinggi PDIP, di antaranya Wasekjen Hasto Kristiyanto dan Rokhmin Dahuri. Kunjungan ini disebut-sebut sebagai kunjungan penting untuk pembelajaran pembangunan kader akar rumput bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Tak hanya itu, PDIP juga mengirim 15 kadernya ke Tiongkok untuk memenuhi undangan partai komunis Tiongkok. Pengiriman kader ini dilakukan untuk studi banding berbagai masalah pembangunan. Sejumlah nama petinggi PDIP seperti Eva Sundari, Vanda Sarundajang, serta kepala daerah asal PDIP juga mengenyam ilmu politik dari partai komunis tersebut.

Silakan anda baca dan simak baik-baik, pada bagian manakah dari narasi berita itu yang menyebutkan PDIP sama dengan partai komunis, PDIP sarang komunis atau yang sejenisnya? Tidak ada, kan? Paling jauh, di sana cuma disebutkan, “membina hubungan erat dengan partai komunis Tiongkok atau CPC.”

Sangat mengherankan kalau narasi seperti ini disalahmengerti oleh seorang Tjahjo. Lalu dengan serampangan dia membuat SMS-pasti dia tahu benar bahwa-kemudian menyebar secara luas. Dia juga pasti paham benar, bahwa SMS semacam itu akan dengan mudah memantik kemarahan di akar rumput. Kalau untuk hal-hal semacam ini saja dia tidak bisa memahami, alangkah ironisnya partai sebesar PDIP memiliki Sekjen dengan kualitas seperti Tjahjo.

Supaya gamblang, di sini saya tuliskan ulang sms Tjahjo yang memprovokasi massa itu:
“Sikap saya sebagai sekjen Partai-anggota kader PDI PERJUANGAN segera kami ‘SIAGA SATU’ disiapkan segera mengepung studio TVone- surat Ijin ke Polda Metro kami siapkan. Partai minta pertanggung jawaban bukti siapa nama anggota PKI yang diberitakan TvOne tersebut. Ini menyangkut harga diri kehormatan partai dan Ibu Megawati Soekarnoputri yang dilecehkan oleh berita tvONE. (TjahjoKumolo-sekjen PDIPERJ).”

Saya sengaja menulis ulang SMS berantai ini. Pada bagian tertentu, saya juga sengaja menuliskan dengan huruf italic dan bold. Sekadar penekanan saja, bahwa Tjahjo memang memprovokasi warga PDIP.

Yang lebih ‘lucu’ lagi adalah tanggapan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Seperti dikutip Liputan6.Com, Mega berkata,: “Pemuatan berita tersebut telah mengabaikan kaidah dan etika jurnalistik, serta ‎secara sepihak menyerang Bapak Joko Widodo, itu semestinya tidak boleh terjadi,” ucapnya.

Mega pun menilai, pemberitaan tersebut merupakan bagian dari kampanye hitam yang ditujukan kepada Jokowi. Selain itu, pemberitaan tersebut dianggap menodai kesucian bulan Ramadan, di mana seluruh umat muslim di Indonesia tengah menjalankan ibadah puasa. (Baca: Sebut PDIP Komunis, Megawati: TV One Abaikan Etika Jurnalistik)

Bagian mana dari narasi berita itu yang “secara sepihak menyerang Bapak Joko Widodo?” Bu Mega, saya kasih tahu, ya, tidak ada sepotong kalimat pun, bahkan secuil kata pun pada narasi itu yang menyebut Jokowi. Jadi, bagaimana mungkin Anda bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Siapa pembisik di sekitar Anda yang memberi feeding informasi sesat dan menyesatkan seperti itu?

Dan, satu lagi, sejak kapan Anda jadi merasa paling paham dengan soal kaidah dan etika jurnalistik? Kaidah dan etika jurnalistik mana yang Anda maksudkan?

Tapi pertanyaan pentingnya, memangnya kenapa dengan narasi itu? Bagian manakah dari narasi itu yang disebut Tjahjo sebagai menyangkut harga diri kehormatan partai dan Ibu Megawati Soekarnoputri yang dilecehkan oleh berita TV One? Saya ulangi pertanyaan tadi; memangnya kenapa dengan narasi itu?

Bukan berita baru
Sejatinya, narasi berita TV One itu bukanlah barang baru. Jauh sebelum itu, pada Senin, 14 Oktober 2013, AntaraNews.Com sudah menurunkan berita dengan judul Kader PDIP belajar di China. Pada berita yang bisa dibaca ulang dengan mengklik: Kader PDIP belajar di China, antara lain dituliskan sebagai berikut;
“Sebelum bertolak menuju China, Senin pagi, Eva Kusuma Sundari selaku pimpinan delegasi PDI Perjuangan kepada Antara menjelaskan bahwa kader partainya yang belajar di sekolah partai itu merupakan angkatan ketiga pada tahun ini.”

Kenapa pula PDIP harus berang kalau orang menyimpulkan narasi berita TV One, bahwa PDIP punya hubungan erat dengan Partai Komunis Cina?

Bukankah keberangkatan Eva dan kawan-kawannya itu merupakan angkatan ketiga? Artinya, sebelum dia sudah ada dua rombongan yang berangkat ke China untuk keperluan serupa. Angkatan ketiga. Artinya lagi, PDIP dan Partai Komunis China merasa cocok satu dan lainnya, sehingga mengirimkan rombongan untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Bahasa gaulnya, ketagihan!

Apalagi, pada berita itu Eva juga mengatakan: “Ia lantas menjelaskan pelbagai kegiatan di Shanghai, yakni delegasi akan meninjau lapangan untuk mempelajari bagaimana cabang dan ranting partai bekerja, melakukan observasi di pusat perawatan kesehatan anak-anak, dan melihat bagaimana sektor pertanian di perdesaan dikembangkan.”

Perhatikan baik-baik bagian yang saya tulis ulang dengan menggunakan huruf italic dan bold. Bukankah kalimat Eva itu menjelaskan dengan sangat fasih, bagaimana mesranya hubungan PDIP dengan PKC?

Jadi, sangat aneh dan mengherankan kalau berita TV One ditanggapi dengan sangat emosional seperti itu. Seharusnya, jauh sebelum TV One, AntaraNews.Com juga mendapat perlakuan yang sama dari PDIP, dong?

Bahkana jauh sebelum AntaraNews.Com menulis, berita senada sebelumnya juga diturunkan Merdeka.Com pada Selasa, 11 September 2012. Judulnya tidak kalah ‘seram’. Perkuat kaderisasi, PDIP belajar dari Partai Komunis China”. Hmm…
Berita itu antara lain menulis, “Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kedatangan Partai Komunis China (The Communist Party of China/CPC). Partai nasionalis itu ingin belajar sistem pengkaderan CPC yang dikenal berhasil.” 
 Sebagai manusia beradab, tidak semestinya petinggi PDIP mengirim warganya untuk menyerbu kantor stasiun televisi. Ada mekanisme yang bisa ditempuh. Mulai dari mengadukan ke Dewan Pers sampai melapor ke polisi dan berakhir di meja hijau. Bukan dengan serbuan massa!
Tjahjo aktor intelektual penyerbuan?
Tapi jika persoalan ini memang mau dibawa ke ranah hukum, semestinya polisi juga harus menyeret Tjahjo untuk dimintai pertanggungjawabannya. Bukankah mantan politisi Golkar yang meloncat ke PDIP itu telah memprovokasi massa? Tjahjo adalah aktor intelektual penyerbuan tersebut.

Polisi tidak boleh tebang pilih dalam menyelesaikan kasus. Pastinya, TV One sudah dirugikan karena kantornya diacak-acak dengan aksi vandalisme. Ya, hanya kaum vandalis yang bisa melakukan perbuatan seperti itu.

Jadi, sekali lagi saya bertanya, bagian mana dari narasi berita TV One yang menyinggung dan melecehkan Megawati dan PDIP, sehingga stasiun tv itu diganjar dengan gerudukan dan aksi vandalisme? Lha, fakta-fakta yang ada dengan terang-benderang menjelasan bagaimana mesranya hubungan PDIP dengan Partai Komunis Cina. Satu lagi, berita-berita di media online itu mengutip sumber para petinggi partai, lho. Bukan orang pinggir jalanan!

Sebagai penutup, saya ingin bertanya kepada para petinggi PDIP, kenapa kalian marah dan menjadi beringas disebut punya hubungan dengan PKI/komunis? Apa karena komunis barang busuk dan menjijikkan?

Saya ingin memberi ilustrasi sangat sederhana. Seseorang akan marah, manakala dipadankan atau disebut punya hubungan dengan sesuatu yang buruk, yang tidak disuka, atau yang jahat. Kalimat seperti, maaf, “monyet, lu!” bisa memicu kemarahan orang. Kenapa? Karena monyet, maaf lagi, dianggap makhluk buruk rupa. Orang akan marah jika disebut-sama dengan-monyet yang buruk rupa itu.

Bagaimana dengan PKI dan komunisme di mata kalian, wahai para petinggi PDIP? Kalau PKI dan komunis buruk, mengapa kalian begitu bernafsu membela? Bukankah kalian yang ngotot akan menghapuskan Tap MPR XXV/1996. Bukankah dalam kampanye kalian sesumbar, kalau Jokowi-JK menang, akan mengizinkan PKI hidup kembali?
Jangan aneh bin ajaib gitu dong, ah…! [***}
Edy Mulyadi
Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top