Setelah tertunda-tunda beberapa waktu lamanya, akhirnya rencana kami untuk mendaki Gunung Tambora, 2851 mdpl di Pulau Sumbawa dapat terealisasi juga. Puncak Tambora dapat dicapai dari beberapa jalur, diantaranya melalui desa Pancasila (jalur yang paling umum dilalui para pendaki), desa Doropeti (jalur yang relatif baru) dan desa Doromboha (biasa disebut jalur off road karena sampai pos 3 dapat dilalui dengan motor trail atau jeep, dari pos 3 ke bibir kaldera ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 2jam)
Rencana awal kami adalah mendaki melalui desa Doropeti kemudian turun via desa Pancasila, namun akibat terlalu lama browsing mengenai letusan Gunung Tambora tahun 1815 yang dinyatakan sebagai letusan terdahsyat yang pernah dicatat dalam sejarah, sampai membentuk kaldera dengan diameter sekitar 7km membuat kami agak terobsesi dengan kaldera. Sebaris kicauan yang kami temukan menginformasikan bahwa kaldera Tambora memang dapat dituruni sampai ke dasarnya menguatkan niat kami untuk menjelajah dasar kaldera Tambora dan menyambangi Doro Afi To’i atau Gunung Api Baru yang terbentuk di dasar kaldera.
Sayangnya 2 nomor ponsel pemandu yang kami peroleh dari rekan-rekan sesama pendaki, yaitu Bang Adun (Dompu) dan Bang Jon (Doropeti) sudah tidak aktif lagi sehingga kami tidak bisa memperoleh detail jalur yang akan kami lalui untuk mencapai kaldera serta perlengkapan yang harus dibawa. Satu-satunya informasi yang kami miliki adalah untuk menemui Pak Harris yang bertugas di Kantor Pengamatan Gunung Tambora yang berada di belakang Puskesmas Pembantu Doropeti.
Menuju ke Doropeti, tibanya di Calabai
Senin, 3 Desember 2012 :
Jakarta-Denpasar dengan pesawat Air Asia, tiba di Denpasar sekitar pk. 18:00 WITA. Kami sempat mampir di supermarket untuk mengisi perbekalan dan makan malam kemudian langsung diantar oleh kakaknya Otong ke pelabuhan Padang Bai,
Selasa, 4 Desember 2012 :
Tiba di Padang Bai pk. 23:45, dari pelabuhan Padang Bai menuju pelabuhan Lembar, ferry berangkat setiap 2 jam, kami langsung naik ferry yang berangkat pk. 00:15 dan sampai di Lembar sekitar pk. 05:00 pagi.
Pelabuhan Lembar – Terminal Mandalika, Bertais, Cakranegara, naik angkutan umum dengan biaya Rp.15.000, lama perjalanan sekitar 30menit
Dari terminal Mandalika ke desa Doropeti, naik bus jurusan Calabai/Kadindi. Bus pagi berangkat pk. 10:00 dan bus siang berangkat pk. 15:00 (tidak on time tentunya dan banyak sekali calo di terminal Mandalika sehingga perlu berhati-hati dan jangan terburu-buru membayar bus-nya). Lama perjalanan sekitar 15 jam, ongkosnya Rp.120.000, penumpangnya tidak terlalu penuh tapi bus bolak-balik berhenti menaikkan penumpang dan barang, Barang yang diangkut jumlahnya sangat banyak, termasuk 2 sepeda motor yang diikat di belakang bus, sementara barang-barang lainnya, termasuk carrier kami ditaruh di atas bus
Sore hari kami menyerberang ke Sumbawa melalui pelabuhan Khayangan (Lombok Timur) menuju ke pelabuhan Poto Tano (Sumbawa Barat), lama penyeberangan sekitar 2.5 jam. Dengan menambah Rp.5000 di ferry, bisa masuk ke ruangan VIP, lumayan lah ada matras dan ac, diputarkan film lama Harrison Ford dan kondisi nya cukup bersih
Setibanya di Sumbawa, bus bolak-balik berhenti menurunkan penumpang dan barang, sehingga kondisi di bus mulai sepi, Sekitar pk. 22:00 bus tiba di Cabang Banggo dan mengambil arah ke kiri, menuju Calabai. Kantuk pun mulai menyerang dan kami semua tertidur dengan sangat tidak nyenyak karena kondisi jalan mulai bergelombang dan pak sopir memutar lagu India dengan bersemangat.
Rabu, 5 Desember 2012
Kami dibangunkan sekitar pk. 03:30, langsung turun dan menerima carrier yang dioper dari atas bus dengan agak bingung dan ngantuk, sekitar kami remang-remang, hanya ada beberapa lampu yang menyala … “Itu puskesmas nya”, kata si abang kenek bus sambil menunjuk ke seberang jalan dan segera kembali melaju meninggalkan kami.
Karena tidak ada yang bisa dihubungi dan hari pun masih gelap, maka kami memutuskan untuk menunggu pagi di teras puskesmas, menggelar beberapa jas hujan, dan menyelesaikan kantuk yang tersisa.
Pk. 06:00, kami terbangun mendengar suara motor, ternyata mbak Ririn yang bertugas di puskesmas mendapat panggilan mendadak dan sangat terkejut melihat kami, setelah berkenalan dan minta ijin, kamipun meneruskan istirahat
Pagi itu, kami menuju ke Kantor Pengamatan Gunung Tambora yang terletak tidak jauh di belakang Puskesmas, dan ditemui Bang Jaya karena Pak Harris sedang tidak ada di tempat. Ternyata Bang Jaya ini urang Bandung, dan seneng ketemu temen satu kampung, jadi setelah kami menyampaikan maksud untuk mendaki Tambora via Doropeti, muncak di puncak Doropeti lalu muncak di puncak Pancasila, kemudian turun ke kaldera, dengan bersemangat beliau mencarikan pemandu, memperlihatkan film tentang ekspedisi ke kaldera Tambora 2009 yang dilakukan oleh Mr, Erik, dan berbagi cerita tentang Tambora.
Ternyata Bang Jon yang diharap-harapkan bisa memandu kami sedang berada di gunung, dua orang pemandu lain yang kami temui juga tidak bisa memandu karena yang satu tidak bisa berbahasa Indonesia dan yang seorang lagi sedang sakit, kedua nya pun tidak bisa diharapkan karena tidak ada yang tahu jalur dari puncak Doropeti ke puncak Pancasila, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa memandu menuruni kaldera.
Bang Jaya sempat pula menghubungi Bang Ipul di KPATA, desa Pancasila, tapi di sana pun tidak ada yang tahu jalur memotong dari Doropeti ke Pancasila apalagi turun ke kaldera.
Beruntung akhirnya Bang Jon bisa dihubungi, namun beliau menolak memandu, karena baru sore nanti beliau akan turun, terlalu capek katanya, lagipula beliau juga tidak tahu jalur turun ke kaldera, tapi kemudian Bang Jon memberitahu bahwa ada kelompok yang pernah mencapai dasar kaldera, yaitu kelompok GAMPPING dari Calabai, namun karena Bang Jaya tidak memiliki kontaknya maka beliau menyarankan untuk naik dari Pancasila dan kembali turun via Pancasila, that’s final … huhuhu … nangis kuciwa deh kitaaaa …..
Kembali ke puskesmas dengan patah hati, kami berkemas untuk kembali naik bus menuju ke Calabai lalu meneruskan ke Pancasila … Saat menunggu bus, kami iseng menghubungi Bang Jon, melalui nomor barunya dan ternyata beliau malah memberikan nomer ponsel seorang anggota GAMPPING yaitu mbak Eci.
Semangat timbul lagi setelah menghubungi mbak Eci, yang menyatakan meskipun belum tentu ada yang bisa memandu kami menuruni kaldera karena sedang ada kegiatan diklat, namun GAMPPING memang pernah mencapai dasar kaldera dan mbak Eci juga berjanji akan menanyakan apakah ada yang bersedia memandu kami.
Bus yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang juga pk. 12:00, segera kami menaiki bus, membayar ongkos dan tertidur hingga akhirnya bus berhenti. Sialnya meskipun tertera besar di jendela bus tulisan DOMPU-CALABAI, perjalanan bus tidak berakhir di Calabai melainkan di Kedindi! Calabai sudah terlewat sekitar 10km … LOL … untungnya ada seorang bapak yang menawarkan untuk naik mobilnya karena beliau akan kembali ke Dompu, dan ngobrol punya ngobrol ternyata beliau sempat pula kuliah di Universitas Parahyangan, Bandung dan ikut kegiatan MAHITALA … haha … Bandung memang TOB!!
Sampai di Calabai, ponsel tidak mendapatkan signal, sehingga kami tidak bisa melakukan kontak lagi dengan mbak Eci. Kamipun berhenti di lapangan bola, karena nampak sekelompok orang sedang melakukan latihan fisik, dan ternyata memang benar, anggota GAMPPING sedang berkumpul di sana, melaksanakan diklat dan sudah menantikan kami.
Setelah kenalan singkat kami menuju ke sekretariat GAMPPING, 100m dari lapangan bola, di sana kami berbincang dengan Bang Chris, wakil ketua GAMMPING yang merintis jalur menuruni kaldera Tambora sejak tahun 2004 hingga akhirnya berhasil turun sampai ke dasar kaldera tahun 2009. Bang Chris menyatakan mampu memandu kami menuruni kaldera Tambora, tapi karena mereka kurang hafal dengan jalur dari desa Doropeti maka kami harus naik dan turun melalui desa Pancasila, dan tentu saja dengan senang hati kami menyetujuinya.
GAMPPING sendiri merupakan kependekan dari Generasi Muda Penjelajah Rimba dan Pendaki Gunung merupakan kelompok pencinta alam yang ngetob di Calabai, kegiatan utamanya adalah berusaha untuk memajukan pariwisata di daerahnya, baik dengan memandu pendakian ke Gunung Tambora maupun memandu eksplorasi pantai dan pulau di sekitarnya. Mereka juga melakukan penanaman kembali hutan yang sempat digunduli akibat pengambilan kayu secara besar-besaran beberapa tahun silam
Karena malam itu Bang Chris harus berangkat ke Dompu, maka ia tidak bisa memandu kami, dan kami diperkenalkan dengan Bang Edi yang akan menjadi salah seorang pemandu kami. Kami pun diajak menginap di rumah Bang Arifin, ketua GAMPPING. Setelah berkenalan dengan ibu mertua Bang Arifin, Bang Edi mengajak kami ke dermaga, dan akhirnya bertemu dengan mbak Eci di sana.
Calabai merupakan sebuah desa di ujung teluk Saleh. Dari Calabai biasanya turis menyeberang ke Pulau Moyo yang terkenal keindahannya dan Pulau Satonda, pulau kecil yang unik dengan danau air asin di tengahnya. Dermaga di Calabai ternyata sangat indah, airnya luar biasa jernih, terlihat pulau Moyo dan pulau Satonda di kejauhan, akhirnya kami menyewa sebuah kapal motor untuk jalan-jalan sore di laut. Di bagian tengah perairan terdapat terumbu karang yang terlihat sangat jelas di dalam air yang sejernih kaca, dan berwarna biru kehijauan.
Duh, bening banget airnya
Ternyata generasi muda di Calabai ini bukan hanya pencinta alam yang pendaki gunung, mereka juga pencinta lautan dan memiliki kelompok yang disebut KOMPPAK (Komunitas Pencinta Penyu dan Karang) yang kegiatannya antara lain menyelamatkan penyu dengan mencoba menetaskan telurnya kemudian melepaskannya kembali dan melakukan transplantasi terumbu karang.
Bang Edi mengajak kami ke tempat dimana mereka melakukan rehabilitasi terumbu karang. Usaha ini tentunya bukan usaha yang instan terlihat hasilnya, perlu waktu puluhan tahun untuk menumbuhkan kembali terumbu karang yang rusak, sehingga kami terkagum-kagum dengan niat dan tekad mereka
Setelah puas berjalan-jalan dengan boat bahkan Otong sempat snorkeling segala, kami kembali ke rumah Bang Arifin untuk beristirahat. Bang Edi dan Onci, adiknya, yang akan menjadi pemandu kami berjanji menjemput kami jam 08:00 untuk memulai petualangan ke kaldera
Sunset di Calabai
Petualangan yang sesungguhnya
HARI 1, Kamis, 6 Desember 2012
Pukul 08:00 teng, Bang Edi muncul membawa carrier, setelah mengurus ini itu, belanja itu ini, makan pagi, berkenalan dengan Onci dan berpamitan akhirnya kami bertujuh berangkat menuju desa Pancasila dengan menggunakan pick up. Perjalanan ke desa Pancasila kira-kira 40menit. Di sana kami menemui Bang Ipul di sekretariat KPATA, mengisi buku tamu dan langsung memulai perjalanan dengan jalan kaki.
Perjalanan dari desa Pancasila menuju Pintu Rimba melalui kebun kopi, ada juga sih kebun papaya … malah kita sempat dibekali papaya oleh seorang petani. Lama perjalanan dari Pancasila ke Pintu Rimba sekitar 1 jam 20 menit, jalan tanah cukup menanjak, rusak namun cukup lebar karena sering dilalui kendaraan.
Bak Penampungan Pintu Rimba
Tiba di Pos Pintu Rimba sekitar pukul 11:30, di sini terdapat sebuah shelter, kami beristirahat sejenak dan menengok tempat penampungan air yang bentuknya unik melalui jalur di sebelah kanan pos.
Pos1
Setelah itu kita langsung belok kiri menuju ke Pos 1, melewati jalur yang sedikit lebih landai tapi rimbun dengan semak-semak. Dari Pos Pintu Rimba ke Pos 1 memakan waktu 1 jam 10 menit. Di Pos 1 juga terdapat sebuah shelter dengan tempat duduk yang nyaman, air juga mengalir melalui pipa di drum plastik penampungan air di sebelah kiri pos, kami memutuskan untuk makan siang di sini.
Bak Penampungan di Pos 1
Siang itu panas cukup terik, sehingga jalan menuju ke Pos 2 yang mulai banyak ditumbuhi pohon-pohon yang agak tinggi rasanya lebih nyaman dilalui, sayangnya kenyamanan itu harus dibayar dengan banyaknya pacet yang minta ikut ke Pos 2. Pos 1 ke Pos 2 ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Di Pos 2 juga terdapat shelter dengan bangku panjang seperti di halte bis yang kemudian kami sadari bahwa itu memang halte tempat pemberhentian pacet, tempat kami melepaskan pacet yang menempel di kaki dan di sela-sela sepatu, masing-masing mendapatkan sekitar 20-30 ekor pacet yang sebagian sudah gendut-gendut.
Sekitar 10m dari Pos 2 kami melewati sebuah sungai kecil, airnya bisa diminum meskipun rasanya kurang enak, katanya sih karena mengandung sedikit belerang.
Lokasi Camp di Pos 3
Jalur dari Pos 2 ke Pos 3 mulai menanjak, banyak melewati pohon-pohon tumbang, bahkan menyeberangi pohon raksasa yang membujur di jalan. Lama perjalanan sekitar 2 jam, Pos 3 merupakan tempat untuk nge-camp, karena cukup datar dan lebar. Terdapat sebuah shelter di sini. Mata air terdapat di jalur di sebelah kanan pos, cukup jauh juga. Mata airnya terdapat di sebuah ceruk dan sangat kecil debit nya, Tidak seperti biasanya saat itu airnya tidak terlalu jernih.
Hari mulai gelap ketika kami membangun tenda, namun udaranya tidak dingin, dan begitulah, kami memasak makan malam, beristirahat dan bersantai sambil menikmati bintang terang yang bertaburan
HARI 2, Jumat, 7 Desember 2012
Tujuan kami hari ini adalah camp di tebing dekat puncak, karena mata air terakhir yang akan kami lalui ada di Pos 5 yang letaknya tidak terlalu jauh, maka kami berangkat lebih siang, agar tiba di tebing sebelum maghrib demi menghemat air.
Tumbuhan Jelatang yang berduri
Pukul 10:00 barulah kami memulai perjalanan ke Pos 4. Jalurnya ditumbuhi tanaman Jelatang atau Snip Snap yang daunnya berduri, rasanya sakit seperti tersengat apabila tersentuh durinya. Ke Pos 4 hanya memakan waktu sekitar 45menit, tidak ada shelter di sini, hanya sebuah tempat yang lapang dan miring di tengah kebun Snip Snap, dan juga dipenuhi cemara. Kami beristirahat di Pos 4 cukup lama, disini ada signal sehingga para pencari signal terpuaskan hasrat nya untuk bertelepon ria.
Sekitar pukul 13:00 kami melanjutkan pendakian ke Pos 5, meskipun jalur mulai menanjak, namun bisa dicapai dalam waktu sekitar 1 jam. Di Pos 5 tidak terdapat shelter, hanya sebidang tempat datar yang tidak terlalu luas, hanya cukup untuk 2 tenda.
Air di Pos 5
Terdapat tempat penampungan air alami di jalur turun di sebelah kanan pos, yang berupa ceruk yang terisi air di bekas aliran lava. Airnya berwarna agak hijau kekuningan dan berbau agak-agak aneh, tapi masih bisa diminum. Di sini kami memenuhi semua kantong air dan botol, total sekitar 38-40 liter karena tidak akan ada mata air lagi sampai di dasar kaldera.
Pukul 15:00 kami melanjutkan perjalanan ke tebing tempat kami akan bermalam, vegetasi mulai berubah dari semula cemara menjadi semak-semak, jalan tanahnya pun mulai berpasir, sampai akhirnya kita bisa melihat Puncak Tambora dengan jelas.
Pukul 15:00 kami melanjutkan perjalanan ke tebing tempat kami akan bermalam, vegetasi mulai berubah dari semula cemara menjadi semak-semak, jalan tanahnya pun mulai berpasir, sampai akhirnya kita bisa melihat Puncak Tambora dengan jelas.
L O V E
Di cemara terakhir kami berfoto-foto ria sambil menyaksikan matahari mulai tenggelam, sementara angin mulai bertiup dengan kencang mendorong kami segera menuju ke tebing yang terletak tidak jauh dari sana.
Ternyata angin kurang bersahabat senja itu, bertiup dengan sadisnya ketika kami mulai membangun tenda, dan tidak juga berhenti sampai pagi. Api unggun yang dibuat Onci hanya memancarkan sedikit kehangatan diterpa angin kencang sehingga akhirnya kami memilih untuk berlindung di tenda yang untungnya terpasak dengan baik dan benar
HARI 3, Sabtu, 8 Desember 2012
Angin masih bertiup dengan kencang ketika alarm berbunyi pukul 04:30 sehingga diputuskan untuk muncak lebih siang menunggu angin reda. Tapi ternyata angin tidak juga reda ketika kami mulai bergegas menuju puncak pukul 06:00, dan sampai di puncak sekitar 40 menit kemudian. Matahari juga tertutup kabut tebal dan sejauh-jauh mata memandang hanya warna putih yang terlihat. Sekitar 45 menit kami menunggu di Puncak Tambora, kabut sempat menipis beberapa menit dan kemudian kembali tebal sehingga musnah lah harapan untuk narsis di puncak ,,, so sad ,,,
Puncak Tambora
… tapi tujuan utama kami hari ini bukanlah puncak Tambora melainkan turun ke dasar kalderanya, maka akhirnya kami meninggalkan puncak Tambora yang putih diselimuti kabut, kembali ke tenda untuk bersiap menuruni kaldera
Setelah sarapan pagi ala kadarnya, kami membongkar tenda, dan mulai bersiap. Pukul 10:00 kami mulai berjalan menuju titik turun di sebelah kiri puncak, sebagian perlengkapan dan air kami tinggal di sebuah ceruk untuk meringankan beban.
Perjalanan turun diawali dengan menuruni tiga buah tebing, tebing pertama dan kedua dilalui dengan sukses, carrier diturunkan dengan webbing, disusul pemiliknya. Tebing ketiga agak lebih sulit, berhasil dilalui dengan metode tarik celana … LOL …
Setelah itu kami menyusuri batuan yang sangat besar-besar. Angin yang semula bertiup dengan dahsyatnya menghilang digantikan panas terik luar biasa, yang ditambah medan yang agak berpasir menghasilkan rasa kering di tenggorokan mendorong untuk terus menerus minum. Air yang kami bawa sekitar 25 liter, kami tinggalkan 3 liter di bawah batuan besar yang membentuk gua untuk persediaan pulang.
Setelah melewati batuan besar kami berjalan melintasi batuan yang lebih kecil dan rapuh, mudah longsor di sini, Agak ngeri juga apalagi setelah melihat tebing di sebelah kanan kami longsor. Perjalanan turun agak lambat karena ada jalur yang longsor,
Sedianya kami akan bergerak menuju ke Doro Afi To’I namun terpaksa bergeser ke kiri sedikit. Medan yang dilalui juga makin lama makin curam saja rasanya, makin berpasir, batuannya juga makin rapuh sehingga terpaksa berjalan agak merunduk-runduk agar tidak terpeleset.
Jam menunjukkan pukul 17:30, ketika jalur menjadi sangat curam dan sulit dilalui sehingga kami terus bergeser ke arah kiri, mencari jalur yang lebih memungkinkan
. Akhirnya sesaat sebelum gelap Edy dan Otong menemukan jalur yang ‘benar’. Jalur ini melalui tebing belerang yang asli ‘PANAS GILA !!’ dan sulit dipegang untuk climb down sehingga Otong merosot turun ke bawah sementara Joni main perosotan. Akhirnya yang lain memilih memutari tebing tersebut.
Setelah tebing, tersisa 20 meter lagi menuju dasar kaldera, tapi jalurnya melalui belerang panas yang berasap tebal.
Satu persatu mulai berlarian sambil berteriak-teriak kepanasan tapi akhirnya kami bertujuh menginjakkan kaki di dasar kaldera Tambora, 9 jam setelah mulai menuruni tebing! WOW !! What a Feeling …
Keceriaan kami sempat terganggu rasa cemas juga, soalnya persediaan air sudah sangat menipis, sedangkan posisi aliran sungai di dasar kaldera berubah-ubah sehingga harus dicari terlebih dahulu, padahal hari sudah gelap. Akhirnya kami memutuskan membangun camp sekitar 1km dari tebing tempat kami turun, air yang tersisa dikumpulkan dan ternyata hanya tersisa sekitar 5-6 liter, Bang Edi dan Onci memutuskan untuk mencari air terlebih dahulu sementara kami membangun tenda. Kami semua didera keletihan, kehausan dan kelaparan sehingga malas bergerak, tenda pun dibangun ala kadarnya saja, sambil berharap semoga malam itu tidak hujan. Bang Edi dan Onci yang mencari air pun sudah kelelahan sehingga akhirnya kami memutuskan akan mencari air esok pagi saja, malam itu kami hanya makan biscuit dan sedikit air. Untungnya ada soda kaleng yang dibikin Lemonade oleh Yuyun, satu kaleng dibagi bertujuh dan rasanya segerr banget !!
HARI 4, Minggu 9 Desember 2012
Pagi-pagi benar kami sudah bangun dan melihat-lihat kondisi di dasar kaldera. Hamparan yang dilihat dari atas seperti pasir yang lembut ternyata terdiri dari batu-batu besar dengan diameter sekitar 50cm ke atas memenuhi dasar kaldera. Tebing belerang yang kami lalui semalam juga terlihat menyeramkan, kuning, panas, berasap dan mengeluarkan suara mendesis … Dengan GPS kami mencoba mengira-ira mana jalur untuk naik, tapi dengan kondisi rawan longsor, susah juga memprediksi jalur sendiri, lebih baik tanya saja kepada ahlinya hehehe …
Kembali ke tenda, ternyata Bang Edi dan Onci sudah kembali dari mengambil air, airnya jernih meski rasanya agak aneh, hangat dan kurang menghilangkan haus meski sudah diminum banyak-banyak. Tapi yang paling penting ada air, Yuyun Queen segera main masak-masakan, bau harum pun semerbak di udara membuat lapar. Jam baru menunjukkan pukul 7:30 pagi ketika kami sarapan tapi panasnya seakan-akan sudah tengah hari saja, sehingga selesai makan kami memutuskan untuk segera membongkar tenda dan pindah ke dekat aliran sungai sebelum hari menjadi lebih panas lagi.
Berjalan santai ke arah sungai yang bermata air di sekumpulan cemara di antara dua buah tebing nun jauh di atas sana memakan waktu sekitar 40menit, dan betapa senangnya kami melihat air … segera Onci membangun bathtub di pasir dan mulai mandi-mandi, yang lain mencuci muka dan rambut, tanpa sabun tentunya, dan menelusuri sungai.
Sayangnya panas sangat terik sehingga akhirnya kami semua hanya bisa duduk di pinggir tebing yang agak sedikit teduh sampai akhirnya Yuyun merasa bosan dan mengajak mendirikan tenda.
Saat sedang mendirikan tenda, tiba-tiba cuaca berubah drastis, angin bertiup kencang dan hujan mendadak turun diiringi badai pasir yang untungnya hanya sesaat saja. Setelah tenda berdiri dan kami semua basah kuyup, hujan mendadak pergi, menyisakan selembar tipis kabut saja … udara pun menjadi agak sejuk sementara air sungai menjadi keruh, untungnya semua kantong air dan botol sudah terisi penuh.
Mumpung udaranya cukup sejuk, kami memutuskan untuk segera menjelajahi kaldera. Tempat pertama yang kami tuju tentunya Doro Afi To’i.
Doro Afi To'i
Untuk mencapainya kami harus melalui 2 aliran sungai yang tepiannya sangat berlumpur. Doro Afi To’i tingginya sekitar 15m, dan buat saya yang tidak paham geologi, gunung berapi baru ini berupa gundukan batu panas dan belerang, batuannya cukup padat, bisa didaki sampai ke puncaknya. Di puncaknya tidak ada yang berbeda, tetap batuan panas dan belerang yang berasap tebal, haha … tadinya saya pikir akan melihat lava atau sejenisnya, tapi rupanya tidak ada hal-hal seperti itu …xixixi …
Tidak jauh dari Doro Afi To’i ada lagi dua buah gundukan serupa yang ukurannya jauh lebih kecil. Adik-adik Doro Afi To’i itu baru terbentuk saat Gunung Tambora dalam keadaan siaga tahun 2011 yang lalu.
Danau Motilahalo
Dari Doro Afi To’i kami menyeberangi Danau Motilahalo yang saat itu dalam kondisi kering. Tanah di dasar danau yang tadinya berlumpur sampai mongering dan pecah-pecah, mirip tanah di negeri dongeng membuat kami semangat berfoto ria. Setelah itu kami menuju ke sekumpulan cemara yang kalau dilihat dari puncak kaldera sangat teduh dan indah. Ternyata sekumpulan cemara itu juga terletak di dalam danau yang posisinya lebih tinggi sedikit, mungkin apabila danau Motilahalo sedang penuh maka cemara-cemara tersebut akan terendam sebagian.
Di bawah pohon cemara tersebut kami menikmati kudapan Mak Icih level 10 sampai semuanya kepedesan hehehe dan setelah itu kembali ke camp karena hari mulai beranjak petang
Kami mengambil jalan potong menuju camp, melalui rumput-rumput yang terlihat lembut indah dari puncak kaldera dan ternyata adalah padang ilalang yang tingginya sekitar 2m. Susah juga berjalan di tengah ilalang yang makin lama makin rapat, untungnya tebing tempat camp kami mudah dijadikan patokan, kalau tersesat di tengah ilalang kan gak lucu
Setelah makan malam, kami beristirahat, menyiapkan tenaga untuk mendaki 1200m esok hari. Ternyata tanah di bawah kami panas juga lho, tidak tahan panas di dalam tenda, sebagian dari kami tidur di luar tenda, dan ternyata lucu juga rasanya, di bagian bawah amat panas, di atasnya berangin dingin
HARI 5, Senin 10 Desember 2012 : THE ONLY WAY IS UP !
Meskipun persediaan air melimpah dan masih ada seperempat bagian kaldera yang belum kami singgahi, hari ini kami harus kembali ke bibir kaldera, karena kendala waktu dan juga persediaan logistik yang menipis. Satu-satunya jalan adalah kembali mendaki tebing menuju bibir kaldera. Agak aneh rasanya karena biasanya pada saat mendaki gunung, kalau capek masih bisa turun lagi, tapi kali ini berbeda, tidak ada jalan lain kecuali naik dan naik terus.
Pukul 07:30 pagi kami mulai bergerak menuju tebing yang dinamakan tebing Aduduh, yang merupakan jalur untuk naik dan curamnya memang Aduduh. Pukul 08:00 kami mulai bergerak naik. Awalnya kami mendaki punggungan berumput yang curam, lalu pindah punggungan menuju bagian yang berbatu. Perjalanan naik relatif lebih cepat dari perjalanan turun, namun sama sekali tidak lebih mudah.
Setelah mendaki batu-batu besar dan kembali menyaksikan longsor di tebing sebelah kiri kami, yang mesih saja membuat deg-deg an, akhirnya kami sampai juga di tempat kami menyimpan 3 liter air kemarin dan makan siang disana. Menunya indomie, dibuat secepat mungkin sekedar pengisi perut, masih setengah perjuangan lagi menuju ke bibir kaldera.
Kembali kami menanjaki batu-batu besar dengan perlahan. Batunya sih cukup kokoh posisinya, tapi tetap saja ada beberapa batu yang kurang stabil posisinya. Tidak terbayangkan kalau satu saja batu lepas, bisa menjadi pemicu teman-temannya untuk mulai berguguran. Namun kami berhasil mencapai puncak batuan dengan selamat, dan akhirnya mecapai tebing ketiga. Tebing ketiga ini paling sulit didaki, karena posisinya vertikal tanpa adanya pijakan yang cukup kuat. Dibantu Bang Edi kami semua berhasil memanjat tebing ini, disusul carrier yang dikatrol satu persatu lalu memasuki jalur yang sempit memutar tebing. Selanjutnya tebing kedua dan pertama relatif mudah dilalui dengan bantuan webbing dan akhirnya 7 jam setelah mulai mendaki, kami mencapai bibir kaldera.
Perjalanan hari itu belum selesai, karena kami masih harus mencapai Pos 5 dimana terdapat sumber air dan bermalam di sana. Maka setelah repacking barang-barang yang ditinggal di ceruk dekat tebing, kami pun melayangkan pandangan terakhir ke arah kaldera dan bergegas bergerak menuju Pos 5
HARI 6, Selasa, 11 Desember 2012
Hari ini jadwal kami agak santai karena perjalanan turun dari Pos 5 ke Pos Pintu Rimba diperkirakan hanya memakan waktu sekitar 5 jam, beban juga sudah berkurang jauh. Sampai di Pos 2, hujan mulai turun cukup deras kemudian mereda sedikit dan akhirnya berhenti ketika kami mencapai Pos Pintu Rimba. Kira-kira 100m sebelum Pos Pintu Rimba kami bertemu dengan Bang Chris, Ade dan Chandra yang rupanya sudah menantikan kedatangan kami. Segera mereka membantu membawakan carrier dengan motor menuju desa Pancasila dimana sebuah pick up telah menantikan kedatangan kami
Kami berjalan santai melintasi kebun kopi dan sempat mampir di salah satu kebun milik Pak Sunaryo yang ternyata berasal dari Pati, Jawa Tengah, sempat disuguhi Jeruk Bali lagi, hehehe …
Ternyata kawan-kawan bermotor yang tadinya membawakan carrier kami ke desa Pancasila kembali lagi menjemput kami, akhirnya diboncengin juga sampai ke desa Pancasila, Di Sekretariat KPATA kami berpamitan dengan Bang Ipul dan langsung kembali ke Calabai …
Malam itu kami dijamu di rumah Bang Arifin, menunya mie tumis pakis yang so yummy, (pakis banyak dijumpai di sekitar Pos 1), ikan goreng yang nyam nyam dan ikan kuah asam yang seger banget … duh, yang ke sini harus coba menu ini :P
Setelah bertukar cerita, kamipun melihat foto-foto dan bercanda, sayangnya Hung-Hung harus pulang malam ini juga karena pekerjaan sudah menanti, akhirnya sekitar jam 01:00 subuh, Hung-Hung berangkat ke Bima dengan mobil carteran ditemani oleh Bang Chris, dan kami pun beristirahat supaya besok bisa berangkat ke Pulau Satonda …
Farewell
Onci
Edi
Hari ini tanggal cantik, Rabu 12.12.12, kami bertamasya ke Satonda, dan malamnya ngerumpi di rumah Edy dan Onci. Kami sempat memvideokan mereka menyanyikan lagu gotong royong Bima, Dambe Dambe …
Kamis, 13 Desember 2012 pagi, dengan diantar oleh Bang Arifin dan isterinya serta Bang Edi dan Onci, kami naik bus menuju Dompu sambil bertanya-tanya dalam hati, kapankah bisa kembali mengunjungi Calabai yang indah
Kamis, 13 Desember 2012 pagi, dengan diantar oleh Bang Arifin dan isterinya serta Bang Edi dan Onci, kami naik bus menuju Dompu sambil bertanya-tanya dalam hati, kapankah bisa kembali mengunjungi Calabai yang indah
Catatan :
Jalur menuruni kaldera Tambora masih berupa jalur rintisan tanpa tanda. Apabila berminat untuk menuruni kaldera Tambora sebaiknya menghubungi GAMMPING di Calabai karena sementara ini hanya mereka yang punya patokan jalurnya.
Contact Person GAMMPING :
Bang Edi – 082342697272 – FB: Edi Pandawa Lima
Onci – 082341360175 – FB: Onci Rastafara Tambora
Bang Chris – 081353690008
Sebaiknya membawa webbing dengan panjang minimal 5m
Biaya untuk turun ke kaldera tidak murah untuk ukuran kantong saya, tapi ini lebih disebabkan karena harga-harga di Sumbawa pada umumnya jauh lebih tinggi daripada di Jawa, jadi ini wajar. Sebaiknya kontak dulu dengan pemandu sehingga biayanya bisa diperkirakan.
Follow @wisbenbae
Post a Comment Blogger Facebook