GuidePedia

Perempuan berambut ikal sebahu dan berkulit gelap terlihat tertatih menyusuri Sungai Kalibendo di Dusun Kopencungking, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah. Sesekali dia membungkukkan punggungnya untuk mengambil batu-batu kecil yang berada di dasar sungai yang sedalam lututnya. Sambil tertatih-tatih, karena berjalan dengan satu kaki, ia kembali ke pinggir sungai. Timba kecil yang telah penuh dengan batu dipegangnya erat.

"Suka kalau habis hujan seperti ini. Biasanya banyak batu yang terbawa ke bawah sini jadi enggak susah carinya. Biasanya saya kumpulkan dulu di pinggir sungai, kalau sudah terkumpul banyak baru saya pecah," kata Saijah (39), sambil menunjukkan tumpukan batu dengan ukuran terkecil sebesar telur bebek.

Saijah kehilangan kaki kanannya sejak tiga tahun yang lalu, ketika mengalami kecelakaan lalu lintas di jalan raya wilayah Karangtekok, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo.

"Sepeda motor saya ditabrak mobil silinder saat menjenguk anak saya yang tinggal sama mantan suami di Situbondo. Saya terpaksa menitipkan anak saya di sana agar bisa sekolah dan hidup layaknya remaja seperti teman-temannya yang lain. Kalau tinggal dengan saya belum tentu dia bahagia," kata Saijah.

Saijah menikah tiga kali dan memiliki tiga anak. "Setiap suami saya punya satu anak, tapi suami saya yang pertama dan kedua cerai mati. Suami yang ketiga dia sudah menikah lagi sebelum saya kecelakaan," ungkap Saijah.

Sebelum menjadi pemecah batu, Saijah yang tinggal seorang diri di rumah bambu pinjaman keluarganya memilih menjadi buruh tani. Namun, setelah kecelakaan tidak ada lagi tetangganya yang menggunakan tenaganya sebagai buruh.

Tak punya pilihan "Tidak tahu harus kerja apa lagi, ya akhirnya saya memutuskan menjadi pemecah batu. Rumah saya enggak begitu jauh dari sini. Enggak sampai setengah kilo. Saya enggak mau menggantungkan hidup sama keluarga saya yang lain. Mereka sama susahnya dengan saya," kata dia sambil tersenyum.

Kondisi dua anak Saijah dari pernikahan yang pertama dan kedua tidak jauh berbeda dengan Saijah. Mereka hanya menemui Saijah setahun sekali saat Lebaran.

"Itu pun kalau mereka ada uang buat pulang. Saya enggak pernah maksa mereka buat ke Banyuwangi buat jenguk saya. Satu tinggal di Madura, satu lagi tinggal di Malang. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga sendiri saja mereka kesusahan," ungkap nenek dua cucu tersebut.

Setiap hari, Saijah berangkat ke sungai mulai pukul 07.00. Biasanya ia memulai dengan mengumpulkan batu-batu dari dasar sungai lantas ia memecah batu dengan palu serta alat bantu dari karet ban.

"Karet ban ini buat nahan agar batunya enggak terlempar terus kena orang atau wajah saya. Biasanya saya gini ini sampe sore. Setelah Ashar saya baru pulang ke rumah," kata dia.

Untuk makan sehari-hari, Saijah membawa bekal yang ia masak sendiri. "Masaknya apa aja yang ada yang penting kenyang," kata dia.

"Warisan" orangtua Saijah juga bercerita kemampuannya ia dapatkan karena terbiasa membantu orangtuanya yang dulu juga menjadi pemecah batu. "Saat tidak ada pilihan pekerjaan lain, ya akhirnya balik ke kerjaan bapak saya dulu. Saat masih kecil saya sering ikut bapak keliling dari satu sungai ke sungai lain buat cari batu dan baru tua seperti ini dipraktikkan," katanya sambil tertawa.

"Banyak yang bilang ini pekerjaan laki-laki. Cari batu, bawa ke pinggir sungai, terus dipecahin. Kalau ditanya capek ya saya bilang capek, tapi ini bukan perbuatan dosa kan? yang penting pekerjaan saya halal," jelasnya.

Saat hujan, penghasilan Saijah menurun drastis. Biasanya dalam sepekan ia berhasil mengumpulkan satu mobil pikap yang dihargai Rp 300.000. "Tapi kalau hujan seperti ini, satu bulan hanya mengumpulkan satu pikap ya harus disyukuri," katanya.

Untuk mencukupi kebutuhannya, Saijah sering berutang pada warung tetangganya dan dibayar jika batu pecahannya laku. "Sebenarnya malu jika berutang terus, tapi ya gimana lagi. Tapi saya selalu berusaha bayar utang-utang saya di warung, kasihan mereka juga kan kalau saya utang terus-terusan," kata Saijah.

Saijah mengaku dia sedikit terbantu dengan beberapa bantuan dari pemerintah seperti beras miskin dan BLSM. "Tapi saya enggak mau tergantung pada siapa pun. Selama saya masih bisa bekerja memecah batu, saya akan tetap bekerja. Saya pasrahkan hidup saya sama kuasa Tuhan. Dia yang akan ngatur bagaimana masa depan saya nanti," ujarnya. 


Dapatkan Wisbenbae versi Android,GRATIS di SINI !Lihat yg lebih 'seru' di sini !

Beli yuk ?

 
Top