Berkunjung ke Jogja, tidak terlepas dari berbagai produk kuliner yang siap menjadi souvenir bagi pendatangnya. Sebagai kota pariwisata, Jogja sudah banyak dikenal dengan kuliner khas seperti gudeg, bakpia, geplak maupun jadah tempe. Namun siapa sangka, Jogja yang dikenal sebagai kota heritage akhirnya memiliki souvenir khas berupa coklat.
Ide ini diawali oleh seorang warga negara Belgia, Thierry Detournay. Saat itu, ia kesulitan untuk mencari produk coklat yang enak di Indonesia, terutama di Jogja. Lahir di negara yang terkenal dengan coklatnya, membuat lidahnya tajam untuk merasakan jenis-jenis coklat yang ada di pasaran Indonesia.
Berawal dari kegelisahan itulah, pria yang semula hanya ingin back packer-an di Indonesia ini kemudian membuat coklat versinya sendiri. Mengandalkan resep-resep yang dipelajari dari negara kelahirannya, Thierry pun sering bereksperimen dengan biji kakao yang ada di Indonesia.
Hasil coba-cobanya ini disuguhkan kepada teman-temannya untuk mendapatkan masukan. Tak disangka-sangka, coklat perdananya berupa coklat truffle mendapatkan tanggapan positif dari teman-teman dekatnya.
Tidak hanya menyukai coklat ciptaan Thierry, teman-temannya juga menyarankan agar ia juga menjualnya di Jogja. Sebagai seorang petualang, ayah satu anak ini menjawabnya sebagai sebuah tantangan.
Disulaplah vespa tua bercat pink miliknya menjadi tempat berjualan. Momen Sunday Morning di UGM dan kawasan Gereja Kota Baru menjadi lokasi target operasinya yang pertama. Pada awalnya ia belum berniat berjualan, hanya ingin mencari mencari tanggapan dari masyarakat.
Namun respon yang didapatnya justru di luar dugaan. Rupanya, coklatnya banyak diserbu masyarakat di Jogja. Di lokasi-lokasi yang strategis inilah, coklatnya banyak diburu oleh mahasiswa hingga orang tua yang penasaran dengan keberadaan “bule” ber-Vespa pink ini.
Sejarah Monggo
Kemudian, mulai terbesit di pikirannya untuk mendirikan sebuah toko sebagai media penjualan. Namun karena modal dan sumber daya yang terbatas, niat tersebut diurungkannya. Kemudian pada tahun 2005, Thierry pun menggandeng perusahaan Anugerah Mulia sebagai rekanan dan mulai total berbisnis coklat dengan label Chocolate Monggo.
Mengawali langkah berbisnisnya, ia pun meluncurkan produk perdana bernama Cacaomania, coklat praline yang ditujukan bagi orang-orang muda. Namun nama tersebut ditinggalkannya karena nama tersebut terlalu umum dan mereka membutuhkan nama yang khusus untuk dapat diluncurkan di pasaran.
Melihat potensi yang sangat besar, ia pun semakin sering berinovasi, bahkan saat ini sudah banyak varian produk yang diciptakannya. Saat ini pelanggannya sudah bisa menikmati 15 varian coklat yang dikemas dengan 30 kemasan yang berbeda.
Chocolate Monggo memanjakan penikmat coklat dengan varian dark chocolate, white chocolate, strawberry, durian, praline, caramello, marzipan, ginger, hingga red chili. Hingga saat ini, dark chocolate menjadi produk yang paling diburu para pelanggannya. Produk strawberry dan mint juga sangat populer di pasaran. Namun, tidak sedikit yang penasaran dengan red chili serta ginger.
Memulai dari sebuah vespa tua, kini bisnis Chocolate Monggo melesat hingga memiliki dua outlet yang bisa disinggahi di daerah Kotagede dan Jalan Tirtodipuran. Produk-produknya pun semakin banyak dijumpai di supermarket ritel. Tidak hanya di Yogyakarta, saat ini produknya sedang menjelajahi pulau Jawa hingga Bali, diantaranya Jakarta, Jawa Tengah, Surabaya dan Bali.
Namun, hingga kini Chocolate Monggo belum siap untuk ekspor produknya. Ini dikarenakan manajemen sudah cukup kewalahan menyediakan permintaan lokal. Setiap hari dibutuhkan bahan baku coklat sekitar 200 kilogram yang nantinya bisa dibentuk menjadi empat ribuan bar coklat, baik dalam bentuk kepingan maupun tablet.
Chocolate Monggo Website, Via: Tribun Jogja
monggo mas....