Para siswa Korea Selatan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi yang sangat penting pekan ini. Di saat yang sama, keluarga di Korea Selatan terbelit utang akibat besarnya pengeluaran untuk pendidikan swasta.
Ketika Cheon Sun-kyoung dan suaminya mengambil pinjaman sebesar $100 ribu (setara Rp960 juta) dan pindah dari pinggir kota ke salah satu daerah permukiman paling bergengsi di kota Seoul, ia berharap kepindahannya itu akan jadi awal tangga sosial yang sangat kompetitif di Korea Selatan.
Dia ingin mendaftarkan putrinya yang sudah remaja ke salah satu bimbingan tes yang mahal, agar putrinya mendapat nilai yang tinggi untuk bisa masuk ke universitas bergengsi, dan pada akhirnya, mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi.
Tetapi untuk sekarang, Nyonya Cheon mengatakan bahwa keluarganya harus membuang jauh-jauh impian itu.
"Hidup di sini benar-benar mahal, saya bahkan harus membeli bahan makanan di tempat lain, di daerah permukiman yang lebih murah," kata Cheon, seorang guru paruh waktu. "Tidak mungkin kami menghemat uang sekarang ini, karena kami harus melunasi pinjaman yang kami gunakan untuk membeli apartemen ini."
Semakin banyak keluarga Korea Selatan seperti Cheons semakin terlilit utang.
Pada Agustus, Bank of Korea merilis data bahwa rumah tangga di sana memiliki rasio utang dan pendapatan sekitar 160 persen tahun ini, naik dari sekitar 123 persen pada 2010. Pinjaman tersebut didapat dari sebagian besar pemberi pinjaman sekunder yang memberikan tingkat bunga tinggi berjumlah hampir $600 miliar (setara Rp6 kuadriliun) Pada akhir Juli, utang rumah tangga mencapai $573,25 miliar (setara Rp5,5 kuadriliun).
Menurut LG Economic Research Institute, 28 persen keluarga di Korea Selatan tidak bisa mencicil utang setiap bulan, dan tidak dapat menutupi biaya bulanan dengan pendapatan mereka saat ini.
Bagi beberapa pengamat, angka tersebut menunjukkan bahaya. Menjelang krisis keuangan di AS pada 2008, Amerika Serikat memiliki rasio utang dan pendapatan sekitar 130 persen.
Menurut Chosun Ilbo, para orangtua di Korea Selatan menghabiskan rata-rata $1.000 per anak untuk pendidikan setiap bulan. Pada 2009, Korea Selatan mengucurkan total $19 miliar untuk les privat dan bimbingan tes. Lebih dari setengah jumlah tersebut dihabiskan untuk pendidikan negeri.
Beberapa laporan mengatakan, tingginya biaya pendidikan adalah alasan utama warga Korea memutuskan untuk punya anak lebih sedikit. Pada 2011, Korea Selatan menghabiskan sekitar $17,7 miliar untuk pendidikan swasta, turun dua tahun berturut-turut karena angka kelahiran di Korea Selatan juga menurun.
Jeong Young-sik adalah seorang analis di Samsung Economic Research Institute di Seoul. Dia memperkirakan 70 persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk pendidikan swasta. Jeong mengatakan bahwa, akibat pasar real estate yang merosot, badai besar telah tercipta.
"Ada mitos yang punya andil dalam masalah utang rumah tangga di Korea Selatan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa harga real estate akan selalu naik. Sedangkan hal yang lainnya adalah pendidikan akan meningkatkan posisi sosial keluarga," katanya.
Gagasan peningkatan status sosial berbasis pendidikan tersebut mengakar dalam kepercayaan publik setelah Perang Korea. Bangsa tersebut hancur akibat perang dengan sedikit sumber daya alam. Satu-satunya cara bagi para keluarga untuk mengangkat diri mereka dari kemiskinan adalah "sumber daya manusia." Dan itu dimulai dengan memastikan anak mereka mendapat pendidikan terbaik yang tersedia, tidak peduli seberapa besar pengorbanan atau biaya yang akan dikeluarkan.
"Orangtua masih ingin mendidik anak-anak mereka sehingga mereka dapat mencapai status yang lebih baik," kata Jeong. Dan orangtua semakin bersedia melakukan apa pun yang diperlukan agar anak-anak mereka mau bersekolah, bahkan jika itu berarti harus kehilangan status dalam jangka pendek.
Siapa yang diuntungkan?
Meningkatkan status sosial berhubungan erat dengan skor siswa di ujian masuk perguruan tinggi Korea Selatan. Banyak yang menganggap, itu adalah ujian paling penting dalam hidup mereka.
Les sepulang sekolah dan pendidikan swasta di Korea Selatan memfokuskan pada usaha persiapan siswa untuk lulus gemilang dalam ujian. Ini industri bernilai miliaran dolar yang melayani mimpi para keluarga untuk menyekolahkan anak mereka ke salah satu dari empat universitas terbaik. Pemilik bimbingan tes, yang dikenal di Korea sebagai hagwon, mendapatkan banyak keuntungan.
"Orang-orang ingin bisa masuk ke universitas terbaik. Mereka berpikir bahwa sekolah yang lebih baik akan membuat Anda semakin sukses," kata Kim Dong-young, direktur Highest Hagwon di Seoul. "Namun sistem sekolah negeri tidak memberikan pendidikan cukup untuk mewujudkan harapan tersebut. Inilah sebabnya mengapa para keluarga mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah swasta.â??
Kim mengatakan bahwa setiap tahun, sekolahnya mendapatkan sekitar $9 juta (setara Rp87 miliar).
Tidak ada cukup kursi di perguruan tinggi
Tapi tidak semua mahasiswa Korea Selatan yang mendapat nilai ujian tinggi dapat menggapai sukses. Jumlah kursi yang tersedia lebih sedikit dari jumlah siswa yang mendaftar, dan beberapa pengamat mengatakan bahwa budaya pendidikan Korea yang berbasis peningkatan status tersebut telah menciptakan reaksi ekonomi.
"Masalahnya adalah kita memiliki kelas pekerja yang terlalu berpendidikan," kata Jasper Kim, yang memimpin Asia Pacific Global Research Group. "Ada orang-orang yang berkualitas tinggi yang bersedia bekerja di beberapa perusahaan dengan posisi rendah, seperti LG dan Samsung."
Kim menunjukkan, tingkat pengangguran pemuda di Korea Selatan, yang berada di sekitar angka 7 persen, adalah lebih dari dua kali rata-rata nasional. Perusahaan terus meningkatkan syarat untuk mempekerjakan lulusan yang terbaik. Dan rasa â??ingin terlihat sama dengan orang yang suksesâ?? di Korea merupakan penyebab dari rasa malu bagi banyak pemuda Korea Selatan.
"Apa yang terjadi dengan mereka yang tidak terpilih? Bagi mereka, itu adalah tantangan dan kesulitan yang nyata," kata Kim.
Ingin bunuh diri
Beberapa ahli kesehatan mental mengatakan bahwa tekanan untuk memenuhi harapan keluarga telah membuat beberapa pemuda Korea menjadi sangat tertekan.
"Jika mereka sedang di bawah tekanan, merasa cemas tentang nilai ujian dan tidak memiliki sistem pendukung yang memadai, maka hal tersebut bisa membuat mereka berpikir bunuh diri," kata Kim Hyun-chung, seorang psikiater di National Medical Center di Seoul. "Bunuh diri adalah penyebab utama kematian para pemuda."
Pemerintah Korea Selatan sedang mencoba untuk mengurangi beban emosional dan ekonomi terhadap keluarga yang merupakan hasil dari persaingan tersebut. Baru-baru ini, Presiden Lee Myung-bak mendorong para lulusan SMA agar tidak kuliah dan langsung bekerja.
Tahun lalu, pemerintah membuka 21 sekolah perdagangan khusus sebagai alternatif untuk pendidikan universitas. Pemerintah juga memprakarsai keringanan pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan orang berijazah SMA. Langkah tersebut juga ditujukan untuk menurunkan jumlah pengangguran kaum muda yang tinggi di Korea.
Namun insentif pemerintah tidak bisa menyelesaikan semua masalah Korea, kata Kim Hyun-chung. Psikiater mengatakan bahwa akan ada pergeseran generasi dalam cara orang menganggap pendidikan dan lapangan kerja untuk membuat perbedaan yang nyata. Tapi untuk saat ini, Korea perlu untuk memperlambatnya, ujarnya.
"Setiap orang menjadi sangat tertekan," katanya. "Kita perlu lebih bercermin pada diri sendiri dan mengambil langkah mundur. Semua orang bergegas untuk mencoba menyesuaikan diri."
Kim menambahkan bahwa para ibu di Korea dapat memulainya dengan mengurangi tekanan pada anak-anak mereka agar lulus ujian masuk universitas.
Cheon, wanita yang mengambil pinjaman besar dengan suaminya untuk memberikan peluang yang lebih baik kepada putrinya, mengatakan bahwa langkah keluarganya dan semua uang yang dihabiskan untuk pendidikan merupakan hal yang layak. Putrinya memiliki waktu satu tahun lagi untuk belajar sebelum ia mengikuti tes, dan banyak waktu untuk les privat yang menantinya.
"Kami memberikan kesempatan yang lebih banyak kepadanya," kata Cheon. "Untuk para ibu di Korea, hal tersebut merupakan sesuatu yang paling penting yang dapat kita lakukan untuk anak-anak kita."
Jangan