Kemal Jufri berencana mencetak buku fotografi yang hasil penjualannya disumbangkan kepada para korban bencana. Bagi dia, karya jurnalis foto semestinya bisa menggugah kesadaran sosial.
SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jakarta
MULAI tsunami Aceh hingga letusan Gunung Merapi di Jogjakarta. Mulai tragedi Trisakti di Jakarta sampai bom Bali di Kuta. Itulah sebagian kejadian besar yang disaksikan langsung oleh Kemal Jufri selama bertugas sebagai jurnalis foto yang akhirnya menggugah kesadarannya.
Pemenang kedua World Press Photo 2011 untuk kategori People in the News Stories itu pun tergerak untuk berbuat lebih: Dia tidak ingin karyanya sekadar diabadikan. Mantan fotografer kantor berita Prancis, AFP (Agence France-Presse), tersebut ingin berbagi.
Keinginan itu segera diwujudkan melalui buku fotografi perdananya, Aftermath: Indonesia in the Midst of Catastrophes. Buku tersebut memuat karya-karya fotonya dalam sejumlah peristiwa bencana besar di Indonesia.
Saat ini Kemal tengah menggalang dana dari sponsor untuk membantu menerbitkan bukunya. Rencananya, buku tersebut dicetak 1.000 eksemplar. Jika tidak ada halangan, buku itu dirilis sebelum akhir tahun ini.
Nanti hasil penjualannya saya sumbangkan kepada beberapa korban bencana. Tapi, saya pengin-nya menyumbang secara personal. Jadi, saya mau bantu secara langsung, walaupun orangnya sedikit, kata fotografer freelance yang karyanya telah dimuat di berbagai media besar luar negeri tersebut ketika ditemui Jawa Pos di Mal Grand Indonesia pada Jumat (29/6) malam lalu.
Pameran foto dengan tajuk sama di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pertengahan Mei lalu merupakan langkah pembuka bagi putra jurnalis senior Fikri Jufri tersebut untuk mewujudkan keinginan besarnya itu. Yang pasti, saya ingin berbuat lebih dari sekadar foto jurnalistik, tegas pria 38 tahun tersebut.
Foto-foto Kemal memang dikenal sangat kuat bercerita. Sebagaimana ditulis Rustikah Herlambang dalam blog-nya, Oscar Motuloh -yang selain Yudhi Soerjoatmodjo dianggap Kemal sebagai sosok yang paling berjasa mengembangkan potensinya- menganggap bekas muridnya itu sudah masuk taraf kematangan seorang jurnalis foto. Kemal, puji direktur Galeri Foto Jurnalistik Kantor Berita Antara itu, sudah sangat menguasai kemampuan pembacaan terhadap sebuah pemberitaan.
Delapan belas tahun berkiprah sebagai foto jurnalis, suami Dina Purita Antonio tersebut memang kenyang ditempa pengalaman. Para koleganya sesama fotografer memuji komitmen Kemal yang dikenal cukup berani mengambil risiko. Dia berani mendekati objek foto meski kondisinya berbahaya.
Misalnya, ketika memotret insiden penyerangan kantor PDI pada 27 Juli 1996. Dalam insiden yang dikenal dengan peristiwa kuda tuli itu, Kemal dipukuli sejumlah anggota TNI. Meski tidak sampai masuk rumah sakit, dia menderita lebam dan memar di beberapa bagian tubuh.
Saya dipukuli dan kamera saya direbut, lalu dihancurkan. Beruntung, ada anggota polisi yang menyelamatkan, kenang dia.
Namun, Kemal tak pernah kendur. Bagi dia, itu adalah bagian dari prinsip kerja keras yang dipelajari langsung dari salah seorang fotografer idolanya, Sebastio Salgado.
Pada 1995, Kemal muda memang berkesempatan mendampingik Magazine Best Picture of the Year 1988 dan Time Magazine Best Picture of the Year 2005. Anugerah dari World Press Photo (WPP) 2011 lewat serial foto letusan Merapi 2010 juga menjadikan Kemal sebagai jurnalis foto pertama Indonesia yang memenangi penghargaan bergengsi tersebut.
Sebelum Kemal, memang ada dua pemenang World Press Photo dari Indonesia. Pertama, wartawan Jawa Pos Sholihuddin dan Tarmizi Harva dari kantor berita Reuters. Namun, Sholihuddin bukan jurnalis foto, melainkan reporter. Sementara itu, Tarmizi tidak masuk dalam deretan pemenang, namun mendapat penghargaan honorable mention.
Dia (Kemal) selalu mencari angle berbeda, momen beragam, menjajaki setiap peluang, meski untuk satu subjek yang sama sampai dia merasa mendapatkan yang diingink.
Itu pelajaran terbesar buat saya. Dia itu bisa dibilang dewanya fotografer dokumenter. Dan, ternyata orang besar seperti dia masih tetap harus bekerja keras.
Buah kerja keras tersebut, foto-fotonya mendapat pengakuan internasional lewat sederet penghargaan. Misalnya, Newsweek Magazine Best Picture of the Year 1988 dan Time Magazine Best Picture of the Year 2005. Anugerah dari World Press Photo (WPP) 2011 lewat serial foto letusan Merapi 2010 juga menjadikan Kemal sebagai jurnalis foto pertama Indonesia yang memenangi penghargaan bergengsi tersebut.
Sebelum Kemal, memang ada dua pemenang World Press Photo dari Indonesia. Pertama, wartawan Jawa Pos Sholihuddin dan Tarmizi Harva dari kantor berita Reuters. Namun, Sholihuddin bukan jurnalis foto, melainkan reporter. Sementara itu, Tarmizi tidak masuk dalam deretan pemenang, namun mendapat penghargaan honorable mention.
Dia (Kemal) selalu mencari angle berbeda, momen beragam, menjajaki setiap peluang, meski untuk satu subjek yang sama sampai dia merasa mendapatkan yang diinginkan, puji Oscar Motulloh seperti ditulis Rustikah Herlambang dalam blog-nya.
Tak heran kalau media-media ternama di dunia seperti Time, The New York Times, Business Week, Asiaweek, hingga Newsweek tertarik menyewa jasanya. Foto-foto letusan Merapi tersebut, misalnya, diawali penugasan oleh majalah Jerman, Stern.
Tapi, setelah menyelesaikan penugasan dari Stern, Kemal memilih tetap tinggal di sana karena merasa liputannya belum lengkap. Keputusannya ternyata tepat. Beberapa hari pasca letusan pertama, terjadi letusan kedua yang lebih dahsyat. Kemal pun tidak membuang waktu.
Dia mengabadikan setiap momen yang terjadi, termasuk proses pengungsian. Total yang saya kirim ada 12 foto, batas maksimum yang diperkenankan WPP untuk sebuah foto story, jelasnya.
Namun, Kemal menegaskan, dirinya tidak pernah sengaja membikin karya foto untuk diikutkan dalam lomba fotografi. Sebagai freelance photographer, dirinya memag kerap menerima penugasan terkait dengan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia yang menarik perhatian dunia internasional.
Namun, tidak jarang pula Kemal menugaskan diri sendiri jika terjadi peristiwa-peristiwa besar seperti tsunami Aceh. Jadi, kalau ternyata foto-foto yang saya ikutkan lomba menang, itu hanya bonus, tegasnya.
Menurut Kemal, memilih gaya freelance memang berisiko. Setidaknya, kondisi keuangannya tidak bisa terjamin aman. Sebab, penugasan memotret tidak datang setiap saat. Makanya, kita harus kreatif. Apalagi sekarang ini, persaingan makin ketat. Yang penting, kita pinter mempromosikan diri, ujarnya.
Namun, kelebihan status freelance memungkinkan Kemal untuk memilih penugasan yang disukai. Selain itu, hak cipta foto tetap menjadi miliknya. Kita bisa menentukan kapan kita bekerja dan kapan tidak bekerja, katanya.
Kemal pun terhindar menjadi mesin yang harus berproduksi tiap hari alasan yang membuat dirinya mundur dari AFP dulu. Bagi Kemal, seorang jurnalis foto tidak sekadar mengabadikan momen besar. Seorang jurnalis foto adalah juga seorang saksi sejarah. Namun, di atas semua itu, seorang jurnalis foto setidaknya harus membuat karya foto yang bisa meningkatkan kesadaran sosial.
Ada tujuan-tujuan lain dari itu seperti raising awareness, menggugah. Ya, syukur-syukur bisa membuat perubahan, ungkap Kemal. (*/c5/ttg)