Di saat Ramadhan dan Idul Fitri tingkat konsumsi masyarakat meningkat, bukan hanya untuk dikonsumsi sendiri juga untuk berbagi (bersedekah). Prilaku ini akan menggerakan sektor ekonomi secara nyata.
Namun disayangkan ulah spekulan menjadikan harga-harga melambung tinggi karena mereka menimbun barang atau mengalihkan tempat distribusi hingga harga merangkak naik barulah mereka melepas barang-barang yang dibutuhkan masyarakat. Meningkatnya permintaan barang konsumsi pada bulan Ramadhan dijadikan kesempatan bagi para spekulan untuk meraup keuntungan yang tinggi.
Imbasnya, inflasi di bulan yang penuh berkah ini terkadang di luar kendali dan perhitungan pemerintah. Bank Indonesia (BI) memperkirakan apabila inflasi di Juli ini berada di kisaran 0,5% - 0,7% maka jumlah tersebut dianggap BI cukup realistis khususnya karena memasuki bulan Ramadhan. Meskipun, faktanya harga-harga barang melonjak lebih dari perkiraan.
Secara teori, inflasi terjadi karena: pertama, melimpahnya uang yang beredar (kelebihan likuiditas/uang) dan kurangnya produksi atau distribusi barang. Membanjirnya likuiditas (uang) di pasar ditentukan oleh kemampuan Bank Sentral (Bank Indonesia) dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga, dan aksi para pemain (spekulan) di pasar uang.
Negara yang menerapkan sistem fiat money(sistem mata uang yang tidak disandarkan kepada sesuatu yang berharga seperti logam mulia) akan mudah terkena inflasi karena ada perubahan nilai tukar mata uang dengan mata uang asing atau karena mencetak uang baru.
Kedua, penyebab inflasi karena kelangkaan barang sering terjadi bukan hanya karena produksinya yang kurang tetapi juga karena ketidaklancaran distribusi barang. Seringnya di bulan Ramadhan dijadikan kesempatan emas oleh para spekulan untuk menjadikan barang itu langka selain adanya permintaan yang meningkat demi mengambil keuntungan yang besar.
Di dalam sistem ekonomi Islam, inflasi karena sebab yang pertama tidak akan pernah terjadi karena Negara Islam menerapkan sistem mata uang emas (gold standard) sehingga tidak terpengaruh dengan nilai tukar, dan Bank sentral tidak akan mudah mencetak uang baru selama tidak memiliki tambahan persediaan logam mulia (emas dan perak).Sedangkan untuk mengatasi inflasi akibat penimbunan barang maka Islam telah menjelaskan bagaimana mencegah hal itu terjadi dengan mengharamkan penimbunan barang (ikhtikar).
Ulama mazhab Maliki mendefinisikan ikhtikar adalah penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar. sedangkan ulama Syafiiyah mendefinisaikannya menahan sesuatu yang dibeli pada waktu mahal supaya bisa dijual dengan harga yang lebih dari waktu membeli karena orang sangat membutuhkan.
Hukuman bagi pelaku penimbun barang yang menyengsarakan masyarakat ini haruslah dihukum setimpal oleh pemerintah karena perbuatan ini termasuk perbuatan yang haram. Sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.”(HR. Thabrani)
Pemerintah bisa menentukan hukuman penjara, denda dengan jumlah yang besar dan memaksa pemilik barang untuk menjual barangnya sesuai dengan harga normal pasar yang berlaku.
Jika sistem ekonomi Islam ini diterapkan maka terjadinya inflasi hanya disebabkan oleh kurangnya produksi semisal karena ada bencana alam atau paceklik kekeringan. Sedangkan inflasi karena faktor ketamakan manusia bisa dihilangkan. Pemerintah berkewajiban menjaga kestabilan dan kemudahan masyarkat mendapatkan distribusi barang tetapi tidak bisa memaksakan penetuann harga.
Dalam ekonomi Islam, harga sepenuhnya diberikan sesuai harga pasar (pertemuan antara permintaan dan penawaran). Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:, ”Harga barang dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu orang-orang pun berkata:”Wahai Rasulullah, harga barang melambung, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah lah al-Musa’ir (Yang Maha Menetapkan harga), al-Qabidh, al-Basith, dan ar-Raziq. Dan sungguh aku benar-benar berharap berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan kezhaliman dalam masalah darah (nyawa) dan harta” (HR. al-Khomsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Dengan sistem ekonomi Islam, pemerintah tidak perlu pusing mengeluarkan kebijakan penentuan harga yang faktanya tidak pernah bisa teraplikasikan di masyarkat. Pemerintah cukup berkewajiban menjamin ketersediaan barang dan kelancaran distribusi dengan memberlakukan hukum-hukum Islam berupa hukuman bagi pelaku penimbun barang (ikhtikar) dan kembali menggunakan sistem mata uang dinar dirham untuk menggantikan sistem fiat money agar terhindar dari inflasi akibat permainan spekulan uang di pasar uang yang berimbas di sektor ekonomi riil.
Oleh: Tri Wahyu Cahyono
*Penulis adalah Mahasiswa S2 di Graduate School of International Cooperation Studies-Kobe University-Japan
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !