Setelah kegagalan di Gunung Salak, sebenarnya agak ragu jadinya mengajak banyak teman. Sempat terfikir untuk jalan dengan tim inti saja (Saya, istri, Yurdian, Amri), tapi setelah difikir-fikir, gak enak juga sama anggota lain yang sudah membeli peralatan mahal-mahal (lebih mahal dari peralatan saya :D ), kalo tidak digunakan. Jadilah saya akhirnya mengajak yang lain juga (yang ikut pendakian Gunung Salak). Tapi pada final moment, akhirnya saya memutuskan (setelah diskusi dengan Yurdian) untuk membroadcast undangan ke seluruh teman kantor. Walaupun ternyata yang ikut tetap saja sebagian anggota yang ikut waktu ke Gunung Salak (Yurdian, Amri, Imron, Wahyudi). Istri saya malah tidak ikut dengan alasan ribet ke kantor saya :D :D :D (padahal saya tiap hari ke kantor, gak ngerasa ribet tuh :P )
Jumat, 3 Juni 2011, akhirnya kami berangkat ke arah Garut dari Menara Thamrin after office hour. Setelah mempertimbangkan berbagai alternatif, akhirnya kami menaiki patas dari seberang Sarinah, langsung menuju Kp Rambutan. Dari situ, kami naik bus Primajasa (35.000) ke arah Garut. Spoiler sebentar, pulangnya kami naik bus Karunia Bakti yang eksekutif. Harga beda tipis (45.000), tapi waktu tempuh jauh berbeda (6 jam dibanding 3 jam setengah). Jadi, saya sarankan naik Karunia Bakti saja biar cepat.
Dari Kp Rambutan sekitar pukul 19.00, sampai di Terminal Guntur pukul 01.00. Alias persis 6 jam! :D di jalan, ada yang jualan headlamp seharga 15.000! tergoda banget untuk beli, tapi entah kenapa gak jadi. Amri dan Imron beli satu-satu. Nih headlamp bakal jadi isu panas di pendakian nanti :D
Sampai di terminal, kami makan malam dulu di jongko seberang terminal, terus langsung sholat + istirahat di masjid yang ada di terminal, termasuk MCK di sekitar situ juga :D lumayan lengkap lah, fasilitasnya.
Waktu sedang makan, kami bertemu dengan Pak Abraham, anggota TNI di Garut, yang menawarkan tumpangan kepada kami. Awalnya naik ojek 50.000 dari terminal ke pemancar, akhirnya disepakati sewa mobil kijang 200.000 dari terminal ke pemancar dengan opsi pulangnya dijemput di pemancar ke terminal dengan ongkos 250.000. Deal tercapai. Pak Abraham berjanji untuk menjemput kami di masjid tempat kami menginap sekitar pukul 05.00 after subuh. Kami pun beranjak tidur. Sebelum tidur, saya mengisi stock air sekalian nyoba water bladder yang baru dibeli berbarengan dengan rompi tentara di Cilandak. Sayangnya, tutup water bladder tersebut bocor… jadinya gak bisa dipake deh :( Amri, yang juga baru beli water bladder, ngetawain saya sambil bilang, “harga gak bakal bohong…” (berhubung sebelumnya saya ngetawain Amri yang beli water bladder saja seharga 150.000 sementara saya beli rompi + water bladder seharga 125.000). Nih soal water bladder juga bakal jadi isu panas lainnya pada saat pendakian.
Setelah tidur + sholat subuh, saya memaksakan diri untuk mandi di MCK umum di terminal. Selain untuk membersihkan keringat + daki yang mulai mengubur saya, juga untuk berdamai dengan dinginnya kota Garut (logikanya, agar tubuh tidak terus menerus kedinginan, dihajar saja dengan dinginnya air mandi, nantinya dingin udara terasa lebih hangat ketimbang dingin air mandi :D it’s work…. So, try it : )
Beres semua, pukul 05.30 kami mulai berangkat dengan menggunakan mobil kijang Pak Abraham. Dari awal kami sudah menanyakan apakah mobil tersebut kuat mencapai pemancar yang dari catper2 yang kami baca, jalurnya bisa bikin rantai motor ojek putus! Pak Abraham meyakinkan kami bahwa dia sering ke sana, jadi kami percaya mobil tersebut memang seperti iklannya, “Kijang, memang tiada duanya” :D
Sampai di PT Perkebunan Nusantara VIII di Dayeuhmanggung sekitar pukul 07.00.
Dari sejak belokan jalan raya, jalan menuju perkebunan sudah hancur lebur! Naik mobil sudah seperti naik kuda liar, melonjak dan menanjak, membuat kami tersentak… Tidak berapa lama (terasanya sih lama, karena kualitas jalannya), kami sampai di pos satpam perkebunan. Di situ, saya disuruh mendaftar serta bayar 5000 rupiah (3000 untuk kendaraan, dan 2000 untuk orang).
Pertigaan pertama setelah pos satpam, tindakan Pak Abraham sudah mulai mencurigakan, beliau menanyakan arah menuju pemancar ke anak-anak sekitar situ. Lah? Katanya sudah sering ke pemancar, pak? Benar saja, sepanjang jalan, kita akhirnya bertanya-tanya ke tukang teh yang berkeliaran di perkebunan teh ( :D ) mengenai arah menuju pemancar. Jalannya itu lho! Jurang, jalan hancur, tikungan tajam, sempit (Cuma muat satu mobil), dan semua kualitas negatif yang bisa difikirkan oleh sebuah jalan untuk bisa dilekatkan pada dirinya…
untungnya, pemandangan perkebunan teh yang menghampar di tengah perbukitan dan kaki Gunung Cikuray sangat-sangat membantu untuk melupakan jalan yang sedang kami lewati. Sampai di sebuah tanjakan terakhir sebelum pemancar…
Secara mobil kijangnya pun mobil tahun 90an, jaman-jaman Air Supply sedang jaya-jayanya, akhirnya beliau pun menghembuskan nafas terakhirnya di tanjakan tersebut. Sudah didorong, diberi nafas buatan, si mobil tetap ngotot untuk mati. Gak mau hidup lagi untuk kemudian di-abuse seperti kisah hidupnya selama ini. Akhirnya kami pun turun di sekitar 2 kilo sebelum pemancar. Secepatnya bayar ongkos biar kami bisa secepatnya lepas tangan dan tidak ikutan dorong-dorongan mobil lagi, kami melepas kepergian Pak Abraham dengan pemikiran bahwa mungkin ini kali terakhir kami melihat beliau :D
Sampai di pemancar pukul 07.30 dengan kondisi sudah rebutan oksigen plus pegel dorong mobil seberat 1 ton (bener gak sih, kijang beratnya 1 ton?), kami memutuskan untuk istirahat dulu tepat sebelum jalur pendakian yang membelah perkebunan teh. Sementara Imron memutuskan untuk bertindak lebih, ia memutuskan untuk meninggalkan oleh-oleh berupa pupuk alami di sekitar situ (habis satu botol aqua sendiri untuk keperluan beliau tersebut :( ). Dengan bayangan tidak ada lagi sumber air di sepanjang pendakian, habisnya satu botol aqua untuk sebuah kegiatan yang sebenarnya bisa dilakukan di MCK umum sebelum pergi, seperti melihat orang yang menggunakan lembaran uang jutaan rupiah untuk bakar rokok :D
Pukul 08.00, kami memulai pendakian. Pukul 08.10 kami sudah istirahat lagi wkwkwkwkwk. Saya dengan Yurdian berdiskusi panjang lebar (sekitar 1 menit) mengenai alasan kenapa bisa sejelek ini staminanya, akhirnya kami simpulkan bahwa mungkin karena kami memang sudah tua, sudah saatnya mewariskan semua ini ke anak-anak kami :D alternatif selanjutnya, adalah kemiringan yang lumayan tinggi plus badan yang belum beradaptasi.
Sekitar 1 jam kami menikmati hamparan perkebunan teh yang begitu indah. Sampai akhirnya tiba juga di perbatasan perkebunan dengan hutan. Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada peradaban, tekhnologi, dan semua jenis kehidupan yang kami tahu (alay dikit :D ).
Vegetasi awal hutan adalah semak. Pukul 10an kami memutuskan bahwa makan sedikit mungkin bisa menambah stamina yang mulai mirip aki-aki begini. Kebetulan ada ruang lapang yang mengundang, jadilah kami sarapan/makan siang di situ. Nasi bungkus plus telor asin yang dibeli di terminal pun dibuka.
Setelah makan siang/sarapan, kami meneruskan perjalanan. Jalurnya itu lho… konsisten banget nanjaknya! Dengan kemiringan sekitar 40 derajat dan akar yang melintang kesana kemari, kami akhirnya membagi 2 kelompok. Kelompok pertama (yurdian + amri) jalan duluan, kelompok kedua (imron, wahyudi, dan saya sebagai sweeper) jalan belakangan. Komunikasi dijaga oleh walkie talkie motorola saya, hasil bonus terakhir :D
Kirim Artikel anda yg lebih menarik di sini !
Post a Comment Blogger Facebook