Pada November 1996 2006, saya menulis tentang sarung di sini, dengan merujuk survei Femina. Hanya sembilan persen dari responden yang tidur bersarung.
Tidak, tidak. Saya tak akan bicara metodologi. Saya kembali akan membicarakan sarung karena setelah menanya beberapa kawan pria ternyata di rumah mereka tak bersarung. Mereka lebih sering bercelana kolor saat tidur. Yang pakai piyama malah ndak ada — “Kayak pasien rumah sakit, pakai piyama, ” kata seorang teman.
Memang masih banyak yang bersarung, tapi hanya saat salat. Di luar itu tidak. Kolor is the best.
Sarung: longgar, nyaman, isis
Saya tanya beberapa teman perempuan tentang suaminya dan abang maupun adik lelakinya. Ternyata tak bersarung. Bahkan ada yang hanya bersarung saat Salat Ied.
Saya sendiri masih bersarung hampir saban hari. Bahkan di kantor pun kadang bersarung. Rasanya nyaman. Maka ada sarung batik saya yang sudah 15 tahun lebih.
Iya, untuk baju batik saya hanya punya dua, dan salah satunya saya pakai tiga tahun setelah pemakaian terakhir pada 2007. Saya memakai baju itu untuk menghadiri midodarèni seorang kawan, Oktober tahun lalu. Satu lagi baju batik masih utuh dalam plastik, selama setahun lebih. Tapi sarung batik saya melebihi jumlah baju. Supaya bisa setiap hari ganti.
Sarung batik itu adem, isis, murah merakyat (sebagian besar saya beli di pasar), dan tidak licin sehingga tak mudah terurai. Maklumlah cara saya bersarung salah; bukannya menangkupkan lipatan melainkan melipat secara zig-zag mengikuti huruf Z. :D
Sejak kecil, itulah cara yang saya kenal dalam bersarung. Bapak saya bersarung, berselang-seling dengan piyama. Saudara yang lain tidak begitu gemar bersarung, kecuali kakak dan adik yang keduanya sudah almarhum. Saya dulu, waktu kuliah sampai awal kerja, kadang juga berpiyama, tetapi karena udara kian gerah lagi pula dianggap aneh untuk generasi saya maka tak saya lakukan lagi. :D
Saat kecil saya melihat teman-teman sebaya bersarung, terutama yang mengaji ke langgar (musala). Anak-anak penjual kayu bakar (maksud saya, anak-anak itu penjualnya) yang melintasi rumah saya, di Sinoman, Salatiga, selalu berselempang sarung. Salah satunya bernama Sabar, dia selalu berpeci — mirip ilustrasi buku anak-anak zaman dulu. Bahkan beberapa teman maupun orang dewasa keturunan Cina yang saya kenal pun di rumahnya bersarung. Waktu masih SMA, kalau menginap di rumah seorang kawan pasti saya dipinjami sarung bersih.
Lalu kolor pun menggantikannya…
Sampai saya kuliah di Yogyakarta, banyak teman di pondokannya bersarung. Perubahan mulai terasa pertengahan 80-an ketika saya masih mahasiswa. Celana kolor kian banyak ragamnya, tak hanya celana voli dan sepakbola seperti yang umumnya dipakai anak indekosan.
Dengan merujuk Yogyakarta, saya menduga celana kolor Malioboro — dari yang mori celup, batik, sampai celana selancar gaya Bali — telah menepiskan sarung sebagai busana harian di rumah. Memang sih, kolor lebih nyaman ketimbang sarung tenun halus yang mengkilap itu.
Ketika bersarung ke luar rumah, tapi bukan ke masjid, saya merasa dianggap aneh. Beberapa kali saya sudah membuktikan, misalnya ke warung dan minimarket. Siang hari bersarung, ke luar rumah, kok seperti pengangguran. :D Padahal di pedesaan itu biasa. Bahkan orang bersarung naik motor, terutama skuter, pun dulu biasa — kalau Bali sih masih.
Melihat gambar dan foto lama, banyak banget orang Indonesia yang dulu bersarung — lihatlah gambar header blog ini yang diambil dari kemasan tembakau Javaansche Jongens bikinan Belanda. :D Juga banyak orang Indonesia yang dulu bercelana pendek (lihatlah foto Tan Malaka di sini). Sekarang tidak. :D
Sarung, sebagai istilah pada era “politik aliran”, pernah menjadi label untuk kalangan Islam “konservatif”. Misalnya “politik sarungan” dan “kaum sarungan”. Padahal sarung tak ada hubungannya dengan agama, kan?
Apakah Anda, atau pasangan Anda, masih bersarung? :) Sarung diperjodohkan dengan kaos babah, oh alangkah nyamannya. Nggak fashionable sih, hehehe…
http://blogombal.org/2011/01/17/korban-persepsi-dan-salah-sangka/
Post a Comment Blogger Facebook