Ini bukan peristiwa ganjil pertama yang simbah alami. Tentu sampeyan inget pigimanah simbah menghadapi kasus kuntilanak yang nimbrung taklim. Atawa kasus kesurupan yang berulang simbah tandangi. Nah kali ini kasusnya berkaitan dengan seorang anak kecil berumur 3 tahunan yang menurut pengakuan warga disunat oleh jin.
Ceritanya begini:
Pagi itu simbah diserbu oleh serombongan orang yang berduyun nggrudug ke klinik. Di wajah salah seorang ibu tergambar mimik wajah khawatir sambil menggendong anak laki-lakinya yang masih berumur 3 tahunan. Setelah masup ke ruang praktek sang ibu bercerita:
Pagi itu simbah diserbu oleh serombongan orang yang berduyun nggrudug ke klinik. Di wajah salah seorang ibu tergambar mimik wajah khawatir sambil menggendong anak laki-lakinya yang masih berumur 3 tahunan. Setelah masup ke ruang praktek sang ibu bercerita:
“Mbah ini anak laki-laki saya, kata tetangga disunat jin,” kata sang ibu sambil mlotrokne celana anaknya. “Coba mbah, tolong dilihat apa betul ini hasil kerja jin?”
Hwarakadah, begitu simbah melihat manuknya si thole, simbah terkagum-kagum dengan kondisinya. Manuk itu benar-benar sudah tampak seperti disunat dengan rapi. Bahkan alat sunat paling mutakhirpun belum tentu menghasilkan adikarya mantabh seperti itu. Kulup sang manuk sudah sangat rapi terbuka sebagaimana layaknya seorang anak yang sudah disunat oleh seorang Maestro Supit. Wah, jin alam mana yang bisa nyunat serapi itu?
Sejenak simbah bingung mau nggedabrus apa. Lha kasus ini belum pernah simbah temui dulu saat koas. Memang pas kuliah dulu simbah jarang masup, kalopun masup hampir selalu terngowoh-ngowoh karena ngantuk. Tapi memang kasus satu ini masup dalam jajaran disiplin ilmu apa juga masih menjadi misteri buat simbah saat itu.
Agar suasana tidak tambah panik, simbah pasang tampang sok tahu agar para pengantar pasien dan ibunya menjadi tenang. Maka keluarlah gedabrusan ala simbah yang ternyata cukup ampuh meredam keributan:
“Begini bu, ini mah bukan disunat jin,” kata simbah seakan biasa menghadapi kasus kayak begituan. “Itu kulupnya si thole sebenarnya kena iritasi bahan kimia hingga tampang nglunthung begitu. Coba sampeyan perhatikan, bagian ujung kulupnya keras kan? Ini ciri khas kena racun kimia. Nah yang perlu dicari adalah racun kimia darimana ini?”
“Mosok sih mbah?” nada bicara sang ibu gak begitu yakin dengan uraian simbah. “Bahan kimia darimana mbah?”
“Kemungkinan besar dari serangga, ceremende, kecoa atau dari bahan kain yang dipakai anaknya. Akibatnya kulup si anak mengkeret rata, sehingga tampak nglunthung kayak sudah disunat.” Terus terang simbah heran, kok bisa-bisanya menyusun kata-kata pating tirik yang sebenarnya sekedar menenangkan rombongan orang panic itu.
“Trus ini obatnya apa mbah? Apa masih bisa kembali ke posisi semula lagi?”
Gedubrak… inilah pertanyaan yang simbah khawatirkan akan muncul, karena akan membutuhkan uraian panjang lebar. Coba kalo dijawab, “Ooo ini bener disunat jin bu. Jin nya yang mbaurekso pohon ciplukan depan komplek itu bu. Sudahlah sekarang tinggal bikin bancakan saja…” kalimat ini lebih selamat, soalnya simbah pasti nggak dikejar pertanyaan baru. Dan tentu saja sorenya sekotak sego genduren (nasi kenduren) pasti terkirim dengan sentausa. Akhirnya pertanyaan si ibu simbah jawab:
“Ini simbah kasih salep tolong dioles ke seluruh permukaan kulup dan manuk si thole. Kalau belum kasep insya Allah masih bisa mbalik kulupnya. Tapi kalo nggak balik ya sudah, wong sudah rapi begitu mau diapain lagi,” kata simbah diplomatis agak beraroma ngeles sambil menyerahkan salep berisi kortikosteroid dosis menengah yang merupakan kesimpulan spekulatif simbah terhadap kasus medis yang masih hung liwang-liwung ini.
Tak dinyana, tak lebih dari sepeminum teh dan sepemakan sego aking, si ibu sudah bisa tersenyum saat melihat anaknya bangun tidur sore dan kulupnya sudah kembali nutup dengan sempurna. Simbah yang mendengar kisah si ibu juga gembira campur kaget, ha wong tadinya simbah juga gak yakin kalo resep simbah tersebut benar-benar bisa bekerja. Di status si anak itu simbah juga belum menulis diagnosanya apa. Namun memang simbah putuskan itu adalah kasus akibat reaksi kimia, makanya simbah kasih krim kortikosteroid.
Yang lebih menggembirakan simbah adalah simbah bisa membungkam mulut para penggemar klenik dan tahayul yang saat itu ngoceh kalo itu adalah hasil hasta karya jin. Memang sudah menjadi kebiasaan orang negeri ini, jika ada peristiwa yang tak masup akal lantas dihubung-hubungkan dengan alam jin. Simbah bukan tak percaya jin. Tapi mengaitkan sesuatu yang tak dipahami lalu divonis itu adalah hasil kerja jin, gendruwo, wewe gombel, kuntilanak ataupun makhluk alien dari alas setan kobar adalah terlalu tergesa-gesa.Jika kasus simbah tersebut terjadi di pedalaman, simbah yakin gak bakalan dibawa ke dokter, melainkan ke dukun klenik. Lalu sang dukun memutuskan dengan kaca mata kleniknya bahwa sang anak benar-benar disunat jin. Tentu saja setelah akting secukupnya, sembar-sembur sekedarnya dan diakhiri kalimat penutup kalo sang dukun tak kuasa melawan tuah sang jin. Dan ujung-ujungnya: sego genduren, selembar amplop, ketenaran dan tentu saja… bodoh persisten.
Post a Comment Blogger Facebook