GuidePedia

0

SOLO - Erupsi Gunung Merapi yang terus terjadi hingga saat ini seharusnya tidak perlu terjadi, bila Raja Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak melupakan tradisi leluhur nenek moyang.

Dalam hal ini tradisi turun temurun keturunan Mataram. Dalam kaca mata keluarga Keraton Surakarta, kemarahan Merapi terjadi disebabkan Raja Jogjakarta telah melupakan tradisi yang telah dibakukan pendiri Kerajaan Mataram, yaitu perjanjian Pariyan Negari.

"Jangan mengaku sebagai keturunan dari Mataram, bila tidak melaksanakan tradisi leluhur," jelas GKR Wandansari, saat ditemui di Bangsal Smarakata Keraton Surakarta, Minggu (07/10/2010).

Menurut GKR Wandansari atau yang biasa dikenal dengan Gusti Mung, sebagai seorang raja, Sri Sultan Hamengkubuwono X tidak bisa membedakan fungsinya sebagai seorang raja dan sebagai gubenur. Seharusnya, sebagai seorang raja, Sri Sultan Hamengkubuwono X wajib mengayomi dan melestarikan budaya leluhur.

Tetapi sebaliknya, pihaknya melihat Sri Sultan Hamengkubuwono X justru menganggap budaya leluhur tersebut sudah tidak layak lagi dijalani. Padahal, bila melihat berdirinya Keraton Jogjakarta dan Keraton Surakarta, tidak terlepas dari Perjanjian Pariyan Negari. Yang mana perjanjian tersebut langsung diucapkan Sultan Agung Mataram.

"Saya sebagai saudara yang memiliki garis keturunan yang sama dengan Raja Jogja, yaitu sama-sama keturunan Mataram, yang mana antara Keraton Surakarta dan Keraton Jogjakarta telah diberi tugas masing-masing. Yang mana, baik Jogjkarta maupun Surakarta untuk menjaga punden-punden (tempat nenek moyang yang dianggap memiliki kekuatan gaib) dan upacara adat yang mana untuk mengayomi Hamemayu Hayumi Bawono salah satu Tri Prasetya Sultan Agung Mataram yang telah dibubuhkan dalam perjanjian Pariyan Negari," paparnya lagi.

Perjanjian Pariyan Negari, menurut Gusti Mung, adalah perjanjian yang dibuat oleh pendiri Kerajaan Mataram, kepada penguasa empat penjuru. Saat mendirikan Kerajaan Mataram, selain dilakukan dengan cara lahiriah, juga dilakukan dengan cara batiniah. Yaitu, bekerja sama dengan yang gaib, untuk mendirikan dan mempertahankan keutuhan Kerajaan Mataram.

"Sewaktu mendirikan dan mempertahankan Kerajaan Mataram, selain dilakukan dengan cara lahirian melalui perjuangan, juga dilakukan dengan cara batiniah. Batiniah di sini yaitu dengan cara bekerja sama dengan yang gaib. Dan yang gaib ini memang ada. Sebagai wujud terima kasih, seluruh keturunan Keraton Mataram, wajib melaksanakannya, tidak kecuali Raja Jogja," ungkapnya.

Ditambahkan Gusti Mung, erupsi Gunung Merapi yang saat ini terjadi, merupakan puncak kedurharkahan dari seorang keturunan Mataram yang tidak melaksanakan tradisi leluhur.

Gunung Merapi, bagi keturunan Mataram merupakan salah satu unsur dari empat unsur yang masuk dalam perjanjian Pariyan Negari.

Konon, menurut kepercayaan keturunan Mataram, di bagian barat, tepatnya di puncak Gunung Merapi, bertahta Kanjeng Ratu Sekar Kedaton.

Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dipercaya sebagai anak kandung Kanjeng Ratu Kencono Hadisari atau yang lebih dikenal dengan Ratu Kidul, di bagian Selatan yang menjaga Samudera Selatan dan bertahta di Kerajaannya yang bernama Soko Dumas Balai Kencono. Di bagian utara, dipercaya bertahta Kanjeng Ratu Kolo Yuwarti dan di bagian timur dipercaya bertahta Sunan Lawu yang mendiami puncak Gunung Lawu.

"Keraton Surakarta dan Keraton Jogjakarta bertugas sendiri-sendiri. Keraton Surakarta memiliki tugas menjaga Gunung Lawu dan Keraton Jogjakarta bertugas menjaga Gunung Merapi. Memang yang paling berkuasa menjaga gunung bukan manusia, tapi Allah. Tapi ini kebudayaan dari leluhur yang wajib kami jaga," ungkapnya.

Menurut Gusti Mung, dari keempat unsur tersebut yang paling utama adalah selatan. Sehingga, setiap kenaikan tahta raja, selalu digelar tarian bedoyo ketawang, sebagai wujud syukur ritual Sinuhun dengan kerabat keraton dan para abdi dalam keraton kepada Allah.

Selanjutnya seusai upacara kenaikan tahta, dilanjutkan dengan menggelar sesaji di Mahesalawung, yang berlokasi di Krendowahono, Gondangrejo, Karanganyar, Jawa Tengah, salah satu lokasi yang dibebankan leluhur pendiri kerajaan Mataram kepada Keraton Surakarta untuk dijaga.

Gusti Mung melihat, saat ini Keraton Jogjakarta sudah tidak lagi melaksanakan ritual yang dibebankan leluhur Mataram kepadanya, dalam hal ini menjaga Gunung Merapi. Menurut Gusti Mung, dengan sikap Raja Jogjakarta yang sudah melupakan tradisi para pendiri Kerajaan Mataram, tak heran, bila erupsi merapi yang saat ini terjadi, ada kaitannya dengan perjanjian yang dilupakan.

Padahal aliran mahma Gunung Merapi, baik secara kepercayaan maupun secara ilmiah, mengarah ke selatan. Sehingga kemarahan Gunung merapi,sama dengan kemarahaan penguasa laut selatan, yang tidak terima anaknya disia-siakan oleh keturunan Mataram.(Bramantyo/Trijaya/ram)

Post a Comment Blogger

Beli yuk ?

 
Top