Oleh Imam Cahyono
Tanggal 19 Oktober 2004 seorang anak telah lahir. Namun, hingga hari ini anak itu tak kunjung bisa berjalan. Bukan lantaran mengidap kelainan bawaan, tetapi karena dibuat cacat oleh mereka yang menentang keberadaannya.
Pada ulang tahunnya ke-6 dia berkata, ”Bapak, Ibu sekalian. Tolong bantu aku agar bisa menjalankan tugasku untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Anak itu bernama Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada pengujung kepemimpinan Megawati, Indonesia akhirnya menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, yang mengatur Sistem Jaminan Sosial Nasional. SJSN bukan sekadar payung hukum, melainkan merupakan inti, tujuan, dan sekaligus alat negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, meliputi (i) jaminan kesehatan, (ii) kecelakaan kerja, (iii) jaminan hari tua, dan (iv) jaminan kematian.
Mandat SJSN untuk membentuk peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan dalam lima tahun pemerintahan Yudhoyono tak kunjung terwujud. Bahkan hingga periode kedua kepemimpinan Yudhoyono, SJSN masih lumpuh.
Berbagai apologi dilontarkan pemerintah demi menutupi keengganannya (unwillingness) dalam menjalankan SJSN, seperti keterbatasan anggaran, kontraproduktif dengan investasi, dan masih banyak lagi lainnya. Debat kusir seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) tak pernah mampu mengimbangi desakan kebutuhan hak dasar warga.
Toh, negara miskin seperti Sri Lanka dan Gabon mampu. Vietnam, yang 10 tahun lalu belajar asuransi sosial dari Indonesia, pun telah melaksanakannya. Di negara maju seperti Korea Selatan terbukti bahwa negara yang menjalankan jaminan sosial menjadi semakin kuat. Bahkan Amerika Serikat, saka guru haluan kapitalis-liberal pun tak mau ketinggalan.
Politik kesejahteraan
Lain Indonesia, lain pula dengan Paman Sam. Presiden Obama menempatkan reformasi jaminan kesehatan (Obamacare) sebagai agenda prioritas kebijakan domestik. Biaya kesehatan, jika tidak direformasi, bisa menjadi ancaman ekonomi, membebani keluarga dan bisnis, bahkan diprediksi menjadi bom waktu anggaran negara dan kelangsungan AS.
Ia yakin bahwa sistem jaminan kesehatan yang lebih baik sangat esensial dalam pemulihan ekonomi sehingga reformasi tidak boleh menunggu lebih lama. ”Health reform will not wait another year,” tandas Obama.
Bukan hal aneh jika Obama menunda kunjungan ke Indonesia bulan Maret lalu, untuk fokus pada legislasi Undang-Undang Reformasi Jaminan Kesehatan yang tak lain adalah pertaruhan janji, komitmen, dan citranya di dalam negeri.
Meski banyak ditentang oleh sebagian besar politisi di Kongres dan kalangan industri, Undang-Undang Reformasi Jaminan Kesehatan akhirnya disetujui parlemen lewat kemenangan tipis atas voting dengan skor 219-212. Keberhasilan legislasi tersebut merupakan prestasi besar yang memberikan perubahan bersejarah bagi Paman Sam.
Betapa tidak? Sebagai empu penganut sejati haluan kapitalis- liberal, reformasi jaminan kesehatan tentu sangat bertentangan dengan spirit individualisme. Bagi kubu konservatif—Partai Republik—yang merupakan penentang utama, negara diharamkan mencampuri urusan privat.
Layanan kesehatan diserahkan sepenuhnya kepada warga melalui sistem asuransi swasta, sementara mereka yang miskin mendapat bantuan minimal. Hukum pasar mewartakan, yang kaya, yang mampu bayar, berhak mendapat pengobatan.
Yang miskin, dilarang sakit atau mati saja. The rich get medical care, the poor stay sick or die. Namun, bagi Obama, Reformasi Jaminan Kesehatan jadi agenda utama untuk memberikan jaminan kesehatan kepada 32 juta rakyat Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
Kebijakan progresif ini merupakan tonggak perubahan penting yang tidak akan dilupakan warga AS. Setelah menanti 45 tahun sejak Roosevelt, Obama berhasil menorehkan tinta emas dalam sejarah. (Tentang obsesi negara kesejahteraan Roosevelt ini diangkat dengan apik oleh sutradara kontroversial Michael Moore dalam film terakhirnya, Capitalism).
Bill Clinton pun tidak mampu mengegolkan upaya ini karena pertarungan politik yang kuat. Realisasi reformasi merupakan komitmen pemenuhan janji politik yang harus ditepati saat kampanye kepada rakyatnya.
Lumpuh total
Serupa, tapi tak sama dengan Indonesia. Kendati berkampanye soal kesejahteraan, mempercepat pelaksanaan SJSN, dan jaminan kesehatan, reformasi jaminan kesehatan (Yudhoyonocare) di republik ini tidak pernah menjadi prioritas kebijakan yang harus dituntaskan. Meski sudah disahkan DPR enam tahun silam, hingga sekarang SJSN masih lumpuh total, apalagi bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Kendati berbagai roadmap dan studi telah dibuat, implementasinya bak penantian panjang dalam kegelapan.
Jika dihitung, tidak sedikit kerugian yang harus ditanggung akibat kemandekan SJSN, terutama kegagalan menjalankan reformasi jaminan kesehatan.
Pertama, biaya kesehatan. Tahun 2009 terdapat sekitar 134,9 juta jiwa penduduk yang harus membiayai kesehatannya sendiri, alias tidak punya asuransi kesehatan, karena belum tercakup dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan asuransi lainnya.
Dengan belanja kesehatan per kapita penduduk rata-rata Rp 40.000 setiap bulan, kerugian yang harus ditanggung secara nasional mencapai Rp 5,4 triliun per bulan. Kerugian secara nasional per tahun mencapai Rp 64,7 triliun. Dalam lima tahun, total kerugian Indonesia mencapai Rp 323,8 triliun. Angka ini jauh lebih fantastis dari skandal bailout Bank Century.
Kedua, produktivitas ekonomi. Jika 175 juta penduduk usia produktif sakit 12 hari dalam setahun dan kehilangan pendapatan rata-rata Rp 25.000 per hari, kerugian ekonomi secara nasional Rp 52,5 triliun. Dengan kata lain, Indonesia kehilangan potensi besar untuk menggerakkan perekonomian bangsa dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Padahal, biaya untuk mewujudkan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat—universal—tak seberapa jika dibandingkan uang di APBN yang menganggur setiap tahunnya.
Akankah Indonesia membiarkan sosok SJSN lumpuh selamanya? Obamacare atau Yudhoyonocare, dilihat dari mana pun, berujung pada bukti komitmen dan kemauan politik. Sejauh mana upaya Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, seperti diamanatkan konstitusi dan SJSN, juga tak lepas dari faktor kepemimpinan.
Kecuali, Indonesia menanti lahirnya lebih banyak Ponari, dukun cilik yang bisa menyembuhkan ribuan orang dari segala penyakit, dengan batu ajaib. (Sumber: Kompas, 20 Nopember 2010)
Tentang penulis:
Imam Cahyono, Aktivis Lingkar Muda Indonesia, Fellow pada Paramadina Graduate School of Diplomacy
Post a Comment Blogger Facebook